Cerbung
Teman Kampus Misterius, Part 5
Oeh. Raih FN
Deru kendaraan berlalu lalang di tengah-tengah ibukota, memekikkan telinga setiap insan yang mengharap kedamaian. Diperlengkap oleh asap knalpot, yang menyesakkan rongga pernafasan.
Andara masih terpaku di pinggiran trotoar, menunggu motornya selesai di tambal. Entah karena apa, tiba-tiba tadi roda belakang motor maticnya gembes. Kata si Abang tukang tambal ban, "Bocor alus, Neng."
"Ya udah, ditambal aja, Bang."
Andara menjawab singkat. Dan melanjutkan aktivitasnya menyusuri laman medsosnya. Setelah sebelumnya, ijin kepada dosennya bahwa dia akan terlambat masuk kelas.
"Ban motornya gembes, Dara?"
Sebuah sapaan dari laki-laki, yang belakangan sering menghubungi Andara untuk menanyakan tentang Safia, sahabat baru Andara.
"Udah tahu, pakai nanya!" Andara menjawab ketus pertanyaan basa basi dari Alvaro.
"Mau bareng? Ke kampus kan?"
"Trus, motorku siapa yang nganter ke kampus, kalo aku nebeng kamu?"
Penolakan secara tidak langsung, terlontar dari mulut Andara. Padahal dalam hati penasaran juga dia, "Kapan lagi bisa naik mobil mewah Alvaro?"
"Aach, enggak boleh! Bukan mahram, kata Safia kita enggak boleh berdua-duaan dengan laki-laki non mahram." Benak Andara berkecamuk antara ingin dan tak ingin.
"Ya udah kalo enggak mau, aku duluan!" Mobil mewah dari perusahaan T0y0t4, yang belakangan sedang banyak digandrungi halayak ramai itu, berlalu meninggalkan Andara. Dan Andara hanya mengangguk.
"Kenapa enggak mau ditawarin nebeng temennya tadi, Neng?" Pertanyaan si Abang tukang tambal ban membuyarkan lamunan Andara.
"Enggak, Bang. Songong orangnya, males!" Andara menjawab singkat.
"Dah selesai nich, Neng."
"Ya, Bang. Ini uangnya, Bang. Makasih!" Andara menyodorkan uang 20 ribuan dan berlalu menuju kampusnya.
Sesampainya di kampus, Andara tak langsung masuk kelas. Dia berjalan cepat menuju kantin kampus, dilihatnya arloji ditangannya yang menunjukkan pukul 18.55, dan kantin biasanya tutup pukul 19.00 WIB. Tenggorokannya terasa kering, diterpa polusi ibukota yang semakin tak menentu.
"Bu', ini air mineral satu ya." Andara menyodorkan uang pas Rp 3000, sembari menyambar sebotol air mineral dengan tergesa-gesa.
Dan, "Bruuugh." Andara menabrak seseorang, karena berbalik sembari setengah berlari, air mineral yang ia bawa terjatuh.
"Maaf-maaf, enggak sengaja." Andara meminta maaf sembari berjongkok hendak mengambil botol air mineralnya.
"Iya, tak apa. Makanya, hati-hati, jangan buru-buru."
Suara yang tak asing di telinga Andara, "Alvaro??"
"Iyaa, aku. Kenapa? Takjub ngelihat aku?"
"What?!" Andara segera berlari ke ruang kelasnya, tak ingin tertinggal kelas terlalu lama. Mengingat mata kuliah Pak Slamet, si dosen killer, termasuk mata kuliah pokok.
"Assalamualaikum, Pak. Maaf saya terlambat, tadi saya yang ijin terlambat lewat ponsel, Pak."
"Ya, masuk."
"Assalamualaikum, Dara..." Sebuah salam setengah berbisik terdengar dari bangku di samping Andara.
"Haaaai, Safia? Wa'alaikumussalam."
Mereka saling berjabat tangan, dan tersenyum ceria. Hilang sudah kekesalan hati Andara akibat ulah cowok tajir yang sok ganteng dan super narsis itu. Meski memang asli gantengnya.
"Safia, apa kabar? Lama tak bersua, kok ikut kelas malam? Lagian, enggak bilang-bilang kalo mau ikut kelas malam?" Andara dan Safia saling berpelukan setelah sekitar dua bulan tak bertemu sejak terakhir Andara mampir ke rumah Safia.
"Yaa Allah, Andara. Sabar nanyanya satu persatu, hehe. Aku baik, Dara, alhamdulillah. Dan weekend kemarin ceritanya aku ada keperluan, jadi enggak bisa masuk kuliah, trus aku ijin Pak Slamet untuk ikut kuliah malam, alhamdulillah boleh."
"Ooh, gituu. Eeh, Mega, mau kemana? Sini ngobrol dulu." Andara menyapa sahabat yang tampak lebih pendiam malam ini.
"Maaf, Dara. Aku duluan ya, aku buru-buru. Nanti aku telfon kamu."
"Lhaa? Kenapa itu bocah? Aneh banget, kenapa yaa?" Andara bergumam sendiri.
"Ehmm, Dara. Maaf nich, aku juga ngerasa ada yang aneh dengan Mega. Tadi sewaktu aku ngucap salam ke dia, sebelum Pak Slamet datang, dia cuma balas salam singkat, trus kayak menghindar gitu."
"Iya kah? Hemm, nanti aku cari tahu lewat telfon dech!"
Andara dan Safia berjalan menuju parkir motor. Andara kembali mengajak Safia pulang bersama dia. Toh, rumah mereka searah. Dan seperti biasa, Alvaro sudah menunggu Safia.
"Safia, makasih ya sudah nolak aku. Karena, aku enggak mau juga ikut dicap radikal gara-gara deket sama kamu. Dara, kamu hati-hati lhoo! Jangan terlalu dekat dengan Safia, nanti kena paham radikal juga."
"Heeh..?! Radikal..??" Andara tampak kebingungan, dan menatap Safia dengan raut muka butuh penjelasan.
"Astaghfirullah... Nanti aku jelasin di perjalanan ya, Ra."
Andara mengangguk, dan mereka segera berlalu menuju motor Andara diparkir. Meninggalkan Alvaro yang masih berdiri tegak di depan mobilnya, menatap dua perempuan berkerudung itu berlalu.
Panjang lebar Safia menjelaskan tentang isu radikal radikul yang sedang menimpa dirinya. Entah kenapa, Andara merasa lebih percaya kepada Safia daripada Alvaro tentunya.
Dan ternyata, Meganita juga termakan isu tersebut. Andara meneruskan apa yang Safia jelaskan padanya tadi. Namun, Meganita merasa tak bisa percaya begitu saja.
"Enggak tahu dech, Ra. Aku kayak ngerasa Safia itu sosok misterius."
"Ah, kamu berlebihan, Mega. Mendingan kamu tabayyun langsung ke Safia, daripada cuma dengerin omongan orang, yang sebenarnya juga enggak kenal langsung dengan dia."
"Tapi, nanti kalo aku jadi terpengaruh gimana?"
"Jiaah, kamu mah. Itu, dekan kita dan Pak Slamet aja, percaya dengan penjelasan Safia kok, masak kamu malahan ragu? Pastinya dekan dan dosen lebih bisa menilai mahasiswanya daripada kita kan?"
"Gitu ya, Ra." Masih terdengar nada bimbang Meganita dari seberang telfon sana.
Bersambung...
Cilacap, 26 Oktober 2022
0 Comments: