Headlines
Loading...
Oleh. Ratih FN

Lima bulan berlalu, sejak malam itu, saat Safia ikut kelas malam bersama Andara dan Meganita. Mereka tak lagi bersua dalam kelas yang sama, namun Andara masih intens berhubungan dengan Safia. Bahkan Andara mulai tertarik ikut kajian bersama Safia dan teman-teman mengajinya. 

Sedangkan Meganita, belum satu kali pun ia berkenan ikut kajian bersama, ada saja alasannya. Meski begitu, Andara dan Meganita tetap akrab seperti biasa. Hanya saja, obrolan Andara mulai agak berbeda. Andara mulai membicarakan masalah-masalah keumatan, masalah pemerintahan, dan berbagai issue aktual negeri. 

Dan si narsis Alvaro Prayoga, beberapa bulan belakangan sudah tak lagi menanyakan Safia ke Andara. Bahkan, sikapnya agak berubah. Belakangan dia lebih rajin masuk kelas dan terlihat serius menyimak materi yang disampaikan dosen. 

"Dara, kamu merhatiin enggak? Belakangan Alvaro jadi rajin masuk kuliah ya?" Ujar Meganita suatu hari. 

"Iyaa kah? Kamu masih aja merhatiin dia, Mega? Jangan-jangan naksir kamu sama dia?" Andara mulai usil ke sahabatnya itu. 

"Idiiih... Enggak lah, aneh aja gitu. Banyak yang ngomongin dia kemarin, pas aku ke kantin nungguin kamu datang." 

"Udahlah, enggak usah dilanjut. Ghibah kita jadinya nanti, btw, tugas Pak Naryo dah selesai belum, kamu?" 

"OMG, lupaaaa... Please, Dara, aku pinjem. Oke?" Meganita mendekapkan kedua tangannya dengan wajah memelas. 

"Kebiasaan! Niich..! Untung aja aku udah ngerjain." 

"Tengkyuuu, bestiekuuuh..." Mendadak sumringah wajah Meganita, didekapnya Andara dengan erat. 

"Iiiiih... Udah buruan kerjain, 15 menit lagi masuk." 

"Siap, Bu Andara!" Sembari terkekeh Meganita mengambil buku Andara. Andara hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu, yang terkadang memang masih kekanak-kanakan. 

Dari kejauhan, sepasang netra beralis lebat, dengan hidung mancung, memperhatikan dua sahabat itu. Senyum tipis tampak tersungging di atas bibirnya, dialog dalam hatinya serasa berucap, "Semakin diperhatikan, kamu kelihatan semakin cantik, Andara Khairunnisa." 

Tak terasa UAS sudah menjelang, selama dua hari Andara akan bersua kembali dengan sahabat barunya, Safia, meski tak tahu apakah mereka akan satu ruangan atau tidak. 

"Assalamualaikum, Dara, Mega..." Safia mengucap salam sembari mengulurkan tangannya saat melihat Andara duduk bersama Meganita di bangku kantin kampus. Dan seperti biasa, nasi uduk adalah pilihan sarapan mereka menjelang ujian. 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh." Andara dan Meganita menjawab salam Safia bersamaan.

"Sumringah banget kamu, Safia? Kayaknya udah yakin banget nich bakalan bisa menaklukkan ujian hari ini? Ehya, semalam kamu bilang ada yang mau kamu ceritain, apa itu?" 

"Pastilah, Safia gitu...," Meganita turut menimpali ucapan Andara. 

"Masyaallah, Dara, Mega. Kalo masalah ujian, yang penting sudah ikhtiar belajar, dan berdoa semoga Allah memudahkan. Dan tentang yang semalam..." 

Safia sejenak berhenti bicara, sembari mengeluarkan kertas tebal berwarna merah hati, yang terbungkus rapi oleh sampul plastik. 

"Tradaaaa... Ini kejutannya. Mohon doanya yaa..." 

"Masyaallah... Safia, kamu mau nikah?" Andara sontak memeluk sahabat barunya itu. 

"Wait... Sebelum aku ngucapin selamat, aku kepo, sama siapa nich, kamu nikah?" Meganita serta merta membuka undangan pernikahan yang disodorkan Safia. 

"Adam...?? Siapa dia? Dikira sama..." Ucapan Meganita terhenti demi melihat sosok yang akan ia sebutkan namanya melintas melewati kantin, seperti hendak menuju ruang administrasi.

"Kamu kira sama yang barusan lewat, Mega?" Rupanya Andara bisa menebak jelas arah pemikiran Meganita. 

"Hehehe, iyaa... Tapi, aku tetep kepo, Saf. Siapa itu Adam?"

Rasa keingintahuan Meganita memang tinggi, terkhusus untuk berita-berita update, yang berpotensi tinggi menimbulkan kontroversi seperti ini. 

"Adam itu sahabat dari suaminya musyrifahku. Ehmm, musyrifah itu guru ngaji. Jadi, sebulan lalu, kami takaruf lewat musyrifahku dan suaminya." 

"Ooh, yaya... Eh, tapi, itu si mister narsis, emang sudah enggak ngejar-ngejar kamu?" Masih belum puas juga Meganita dengan jawaban singkat Safia. Tetap mencari celah untuk menimba bahan gosip.

"Yaa Allah, ampuuun dech aku sama kamu, Mega. Masih aja kepo, dan kenapa juga disangkut-sangkutin ke dia lagi, dia lagi." Andara akhirnya nggak tahan ingin turut berkomentar atas sikap sohibnya. 

"Hihi, sudah-sudah, enggak usah membahas yang enggak ada hubungannya dengan berita utama. Tapi, mungkin perlu juga itu aku jawab pertanyaan Mega, supaya enggak menimbulkan fitnah. Dia, yang tadi Mega maksud, alhamdulillah udah lama enggak ngejar aku kok." 

"Oh, syukurlah kalo begitu. Semoga acaranya lancar dan barakah ya, Saf. Yaa Allah, happy banget aku dengernya. Btw, kalo ada hal-hal yang bisa aku dan Mega bantu, jangan sungkan bilang ya, Saf."

Andara tampak begitu tulus, turut berbahagia atas rencana pernikahan Safia.

"Tapi, Saf. Tadi kamu bilang sebulan yang lalu? Kok kamu mau sich, tiba-tiba nikah sama orang yang baru kamu kenal? Nggak khawatir gitu kalo ternyata dia laki-laki yang nggak baik." 

"Megaaa. Insyaallah nggak lah! kan musyrifahnya Safia, insyaallah enggak akan sembarangan ngenalin. Ya, kan, Saf?" 

"Yups, betul sekali, apa yang Dara bilang. Bismillah, insya Allah ditunjukkan yang terbaik." 

"Aamiin..." Mereka bertiga mengamini bersama ucapan Safia. 

"Hemm, tapi, buatku tetap aneh, semacam menikah dengan sosok misterius. Ditambah juga, belakangan ini, kamu tuch, Dara, juga ikutan agak aneh, kayak Safia. Meskiii... tambah baik, lembut, dan cantik." 

"Allahu Rabbi.. makanya, ikut kajian, Mega. Biar pemikiran kamu lebih terbuka, dan enggak ngerasa kami berdua aneh." Andara menimpali ucapan Meganita. 

"Betuuul tuch kata, Dara. Yuuk, ngaji!" 

Meganita hanya tersenyum simpul, sembari menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

Bersambung...

Cilacap, 27 Oktober 2022

Baca juga:

0 Comments: