Headlines
Loading...
Oleh. Ratih FN

Satu tahun berlalu sejak Safia menikah. Andara masih intensif mengikuti kajian bersama Safia. Bahkan, sekarang sudah mulai rutin satu pekan sekali. Jadi, meski jarang bertemu di kampus, mereka sering berjumpa di kajian. 

Belakangan Andara mulai belajar menggunakan jilbab (baca : gamis) plus kerudung lebar, setiap kali keluar dari kamar kost. Kecuali saat bekerja, dia masih khawatir jika bosnya, Bu Widya, tak mengijinkannya. Ada rasa sungkan untuk meminta ijin ke Bu Widya. 

Namun, semakin kesini, perang batin dalam kalbunya semakin memuncak. Karena, meski hanya saat bekerja dia tak berhijab syar'i, tetap saja itu artinya dia melanggar syari'at Allah. Tekadnya semakin kuat, Andara harus berani mencoba dan menyampaikan kebenaran ini kepada Bu Widya. 

Apalagi jika ia mengingat ucapan Safia, "Dara, jika di hadapan manusia saja kamu takut atau sungkan, apa kamu enggak takut jika tiba-tiba, ajal datang memanggil dan kamu harus menghadap Allah Sang Pemilik kehidupan? Apa kira-kira yang akan kamu jawab, jika Allah bertanya?"

Membayangkan saja membuat lemas otot-otot lutut, dan bergidik bulu kuduk. Apalagi jika betul kejadian, datang kematian dan dirinya belum menutup aurat secara sempurna sesuai syariat-Nya. Na'udzubillahi min dzalik.

"Assalamu'alaikum, Bu Widya," Andara  menyapa bosnya yang baru saja datang. 

"Wa'alaikumussalam, Dara? Yaa ampuun... makin cantik kamu pakai gamis gitu." 

"Alhamdulillah, masya Allah. Ibu enggak masalah kan, jika saya memakai gamis seperti ini saat bekerja?" 

"Ofcourse, not, you look so beautiful with that dress. Lagipula, hasil kerja kamu selama ini sudah membuktikan, bahwa pakaian tak lagi penting, yang utama itu kwalitas kerja. Asal pegawai saya enggak pakai bikini aja, bisa rusak keimanan karyawan laki-laki di sini, termasuk pak bos kita, hehehe." 

Mereka terkekeh bersama, bersyukur sekali Andara memiliki atasan dengan pemikiran luas dan terbuka. Keraguannya terjawab, ternyata hanya bisikan seetan semata. Andara sungguh menyesal, kenapa tidak dari dulu ia mencoba. 

"Yaa Allah, ampuni hamba..." Batin Andara mengucap istighfar berulangkali. Namun, ia bersyukur bahwa Allah masih memberikannya waktu untuk berbenah diri. 

"Oh ya, Dara. Weekend ini kamu ada acara enggak? Kalo enggak, aku mau minta kamu temenin saya chek dan test drive mobil." 

Andara dan Bu Widya memang sangat dekat, meski mereka bos dan karyawan, namun Bu Widya sudah menganggap Andara seperti adiknya. Jadi, mereka sering hangout berdua. Terutama jika suami Bu Widya, yang juga merupakan pemilik perusahaan tempat Andara bekerja, sedang keluar kota. 

"Masyaallah, alhamdulillah. Ibu mau beli mobil baru? Insyaallah saya enggak ada acara, Bu. Tapi, kenapa tidak sama bapak aja, Bu?" 

"Bapak ada acara keluar kota selama satu pekan. Alhamdulillah tabungan dah kumpul untuk beli mobil second, Dara. Enggak baru sich, tapi kemarin aku lihat dari video dan foto di lapak otomotif second, ada yang cocok. Baik model maupun harga yang ditawarkan, jadi aku mau coba chek langsung. Dan kayaknya banyak yang minat sama mobil itu, jadi aku mau cepetan chek. Kali aja pas jodoh di aku, ya, enggak?"

"Aamiin, ya udah besok insya Allah saya temenin, Bu."

Sabtu pagi yang cerah, senarai burung pipit menghapus jiwa yang gundah. Raut wajah Andara tampak ikut sumringah, padahal bosnya yang akan membeli mobil baru. 

Setelah 30 menit perjalanan, membelah lalu lintas ibukota yang tak terasa panas, karena Andara dan bosnya, Bu Widya, memilih naik taksi online menuju alamat pemilik mobil. Akhirnya mereka sampai juga ke alamat yang dituju.

Sebuah perumahan cluster tingkat menengah. Tak terlalu elit, namun juga tak terlalu padat. Taksi mereka berhenti di depan rumah minimalis, yang tampak asri dengan berbagai tanaman hias di depannya. Rumah dengan gaya barat yang tanpa pagar di halamannya. Sebuah mobil hitam yang memang sedang diincar Bu Widya, tampak terparkir manis di carport rumah tersebut. 

Bu Widya langsung saja memencet bel rumah, yang tertempel di pinggir pintu. Karena beliau memang sudah janjian dengan pemilik mobil untuk chek kondisi. 

"Wa'alaikumussalam, ya, tunggu sebentar." Sebuah suara terdengar menyahut dari dalam rumah. 

Tiba-tiba ponsel Andara berbunyi, rupanya Meganita yang menghubunginya. 

"Bu', saya angkat telfon sebentar ya, teman kuliah saya menelepon." 

"Oke, Dara." 

Si pemilik rumah keluar menemui Bu Widya, dan tanpa basa basi mereka langsung mendekat ke arah mobil yang dimaksud. Laki-laki muda berbadan tegap, alis tebal, hidung mancung, dengan jenggot tipis itu, sedang menjelaskan ke Bu Widya terkait kondisi mobil. Saat Andara berjalan kembali menuju mereka, usai menerima telfon dari Meganita. 

Andara masih asyik dengan ponselnya, berjalan setengah menunduk sembari membuka email, ia penasaran dengan nilai UAS semester ganjil ini, yang menurut Meganita, sudah dikirim lewat link kampus. 

"Awas, Dara!" Sebuah peringatan dari Bu Widya terlambat Andara dengar. Dan, "Duuugh..!! Innalilahi...!!" Kepala Andara menabrak sudut body belakang mobil. Ia meringis menahan nyeri, sembari mengelus-elus keningnya.

"Ya ampun, Dara. Sakit banget, ya?" Bu Widya tampak khawatir dan berjalan mendekati Andara. 

"Enggak, kok, Bu. Hanya sedikit nyeri dan kaget aja ta...di..." Suara Andara melemah saat netranya beradu pandang dengan laki-laki muda pemilik mobil, yang sejak tadi terpaku menatap wanita di depannya. Tak menduga, bahwa teman dari calon pembeli mobilnya, adalah seseorang yang ia kenal. 

Bersambung....

Cilacap, 28 Oktober 2022

Baca juga:

0 Comments: