Headlines
Loading...
Oleh. Ratih FN

Alvaro Prayoga, mahasiswa muda, tampan, gaul, dan sudah pandai mencari penghasilan sendiri. Meski diawali dengan membantu usaha ayahnya, yang kebetulan punya usaha jual beli mobil second kecil-kecilan. Tak banyak stock dagangan ayahnya, hanya 2-3 mobil saja. Karenanya, beliau jalankan sendiri usahanya. Dan sejak Alvaro lulus SMU, ia mulai membantu usaha ayahnya. Bahkan, belakangan Alvaro lebih sering closing pembeli. Karena strategi marketingnya lebih mengena dibanding ayahnya, juga ia melebarkan pangsa pasarnya melalui media online. 

Alvaro sedang bersiap hendak ke kampus, mengajukan skripsinya. Saat sebuah pesan masuk, ternyata dari calon pembeli mobil yang akan chek kondisi mobilnya. Pagi ini ia akan datang, jadi Alvaro menunda niatnya pergi ke kampus. 

Bel rumahnya berbunyi, usai menjawab salam, Alvaro segera keluar menemui tamunya, benar dugaannya. Si calon pembeli datang, seorang wanita paruh baya, dengan kerudung biru muda, dan atasan tunik biru dongker. Juga ada seorang wanita dengan gamis merah maroon dan kerudung dusty pink, yang tampak sedang menerima panggilan seluler di pinggir trotoar rumahnya. Yang kemudian ia ketahui, ternyata adalah teman dari calon pembeli mobilnya. 

Alvaro dan si ibu calon pembeli mendekat ke arah mobil. Ia menjelaskan detail spesifikasi mobilnya, saat si wanita berkerudung pink membalik badan, dan berjalan ke arahnya. Alvaro terpaku, melihat sosok yang semakin mendekat ke arahnya. Seseorang yang ia kenal, bahkan, beberapa bulan terakhir ini sangat ingin ia kenal lebih dekat. Bukan untuk dijadikan pacar, namun ia berniat ingin meminangnya. 

Terutama sejak sekitar dua bulan lepas, saat pertama kali Alvaro melihat dari kejauhan, Andara memakai jilbab dan khimar. Waktu itu, Alvaro keluar dari masjid kampus usai salat Maghrib. Dan dalam perjalanan menuju ruang kelas, ia melihat Andara berjalan menuju kantin. Belakangan, mereka memang tidak satu kelas, karena Alvaro mengambil mata kuliah tambahan di kelas lain, ia berniat mengambil percepatan, untuk memenuhi syarat minimal SKS, agar bisa mengajukan skripsi. 

"Andara Khairunnisa?" 

"Eh, iyaa. Assalamualaikum, Alvaro."

Andara merasakan desiran aneh dalam dadanya, jantungnya serasa berpacu lebih kencang. Begitupun dengan Alvaro, tiba-tiba seperti salah tingkah, dan kehilangan kata-kata. Tersadar pandangannya masih menatap tajam ke arah Andara, ia segera menundukkan pandangannya. 

Alvaro merasakan, pandangan matanya semakin membuat rasa yang seharusnya masih harus ia jaga itu, berkeliaran tak menentu. Ia tak mengerti kenapa bisa jantungnya jadi berdetak lebih cepat. Namun ia mulai paham bahwa seorang laki-laki haruslah menjaga pandangannya. Dalil perintahnya jelas dalam Al Qur'an, ia mengetahui hal ini dari Mas Dika, ustadz muda di kajian yang ia ikuti. 

Ya, sudah sekitar 4 bulan belakangan ini, Alvaro rutin ikut kajian di masjid kompleksnya. Berawal saat ia salat Jumat di sana, ia melihat ada buletin dakwah yang tergeletak di atas kotak amal masjid. Saat akan pulang, ia mengambil satu lembar, dan sengaja langsung ia baca sembari menyelonjorkan kakinya di serambi masjid. 

Seorang laki-laki muda dengan peci putih dan baju koko hitam mendekatinya, mengajaknya diskusi terkait masalah yang dibahas dalam buletin yang sedang dibacanya. Obrolannya dengan Mas Dika, siang itu, entah kenapa membuat pikirannya galau. Rasanya, ia jadi tersadar bahwa selama ini, ia sungguh egois hanya memikirkan diri sendiri. 

Faktanya, sebagian besar umat Islam hidup dalam himpitan ekonomi, belum lagi para pemudanya yang tergerus pergaulan bebas, dan segudang masalah umat lainnya. Dan itu semua terjadi bahkan mungkin kepada orang-orang di sekitarnya. 

"Yaa Allah, ampuni hamba... Kemana saja hamba selama ini?" 

Alvaro bertekad, untuk mempelajari Islam lebih dalam. Karenanya, mulai pekan berikutnya hingga saat ini, setiap Sabtu ba'da subuh, ia ikut kajian yang di isi oleh Mas Dika. Pikirannya semakin terbuka, semua yang Mas Dika sampaikan, seperti menjawab pertanyaan besar dalam kehidupannya selama ini. 

Perubahan pola pikir dan pemahaman Alvaro tentang kehidupan, membuat sikapnya berubah, ayah bundanya yang sangat merasakannya. Orangtuanya begitu senang dengan perubahan sikap Alvaro. Bahkan, ayahnya jadi tertarik ikut kajian pekanan yang Alvaro ikuti. 

"Lhoo? Kalian saling kenal?" Pertanyaan Bu Widya membuyarkan lamunan Alvaro, dan mencairkan suasana kaku diantara Andara dan Alvaro. 

"Iya, kami teman satu kampus." Andara menjawab singkat pertanyaan bosnya.

"Dara, apa kabar? Kamu kelihatan beda dengan jilbab dan khimar lebar begitu." Sebuah kalimat pujian, yang tanpa sadar meluncur begitu saja dari mulutnya. 

"Ya Allah, ampuuun... Kenapa aku bilang gitu ke Andara." Batin Alvaro berdialog sendiri menyesal kenapa ia tidak bisa mengendalikan ucapannya. 

"Alhamdulillah, baik. Ehm, jazakallah." 

"Halooo... Boleh enggak kita fokus ke mobil dulu? Kalo sudah selesai urusan mobilnya, baru dech kalian lanjutkan urusan yang belum kelar tadi." 

Bu Widya menangkap gelagat kecanggungan diantara kedua muda mudi itu, mencium aroma-aroma virus merah jambu, yang mencoba mereka sembunyikan. Tapi sayang, Bu Widya cukup pengalaman untuk bisa menangkap sinyal-sinyal itu. 

"Eh, iya maaf, Bu. Jadi, bagaimana? Apakah Ibu cocok dengan mobil saya ini?" 

"Secara spesifikasi saya cocok, tapi saya test drive dulu, bisa kah? Seputaran kompleks aja." 

"Iya, boleh, Bu." 

Andara mengikuti Bu Widya untuk test drive mobil Alvaro yang hendak dijualnya. Sekitar 10 menit mereka keliling kompleks perumahan itu, dan rupanya Bu Widya cocok dengan spesifikasi, kondisi, maupun harga yang mereka sepakati. 

Andara dan Bu Widya pamit pulang, langsung mengendarai mobil yang kini sudah berpindah kepemilikan itu. Dan sesuai kesepakatan, Alvaro yang akan mengurus terkait pengalihan surat-surat mobil, beserta akta jual belinya. 

[Assalamualaikum, Andara. Ini aku, Alvaro. Maaf, tiba-tiba mengubungi kamu. Ada yang ingin aku tanyakan, kalo boleh.]

Sebuah pesan masuk ke ponsel Andara, sekitar seminggu setelah pertemuannya dengan Alvaro. Andara kembali merasakan desiran aneh dalam dadanya. Padahal, ia tak menatap langsung si pengirim pesan. Ia menduga-duga, kira-kira apa yang ingin Alvaro tanyakan padanya. 

[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, ya, ada apa?] 

[Mau kah kamu menikah denganku?] 

"Ya Allah! Uhuuk-uhuuk..." Andara yang sedang menegak es teh manis di kantin kampus bersama Meganita, mendadak tersedak membaca chat dari Alvaro.

"Kenapa, Ra? Dapat pesan apa, kok sampai tersedak gitu?" Meganita panik dan berusaha menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu. 

"Eh, ini, anu, enggak kok, enggak apa-apa." Andara gelagapan, bingung harus menjelaskan apa ke Meganita. Dia memang belum menceritakan pertemuannya dengan Alvaro pekan lalu. 

Pikiran Andara melayang, tak pernah terbayang bahwa seorang Alvaro Prayoga tiba-tiba meminangnya. Rasanya aneh dan hampir tidak mungkin. Apalagi, bila melihat gaya Alvaro di awal-awal kuliah dulu. Dalam pikirannya, dia bukan laki-laki yang ia dambakan untuk menjadi imamnya. Apalagi, dengan pemahamannya saat ini. Namun, yang Andara lihat seminggu lalu, benar-benar seperti sosok Alvaro Prayoga yang sudah bermetamorfosis. Bukan hanya penampilan fisiknya, gaya bicaranya juga berbeda. 

Andara terlarut dalam pikirannya sendiri, hingga tak menyadari sebuah chat kembali masuk ke ponselnya. 

[Kamu enggak harus menjawab sekarang, Dara. Istikharah saja dulu.]

"Jawab apa, Ra? Kenapa harus istikharah? Ada yang ngelamar kamu?" Pertanyaan Meganita mengembalikan kesadaran Andara. 

"Heeh? Kamu baca pesanku?" Dalam hati Andara bersyukur karena nomor Alvaro sudah lama ia hapus, jadi Meganita tidak langsung mengetahui siapa pengirim pesan tersebut.

"Enggak sengaja, itu muncul di notifikasi ponsel kamu, Dara. Lagipula, biasanya kamu enggak se-sensi ini kalo ada chat yang  enggak sengaja kebaca sama aku. Curiga dech jadinya, hayooo... Apa yang kamu sembunyikan? Cerita, Daraaa..." Meganita menggoyang-goyang bahu Andara. 

"Aduuh, ini anak. Besok aku ceritain kalo udah jelas." 

"Diiih... Mulai rahasia-rahasiaan yaa... Hemm, oke lah.. aku tunggu besok."

Esok harinya, Andara mengirim pesan ke Alvaro. Setelah semalam dia berkonsultasi dengan ustadzah Fatiya, musyrifahnya. 

[Assalamualaikum, Alvaro. Maaf, aku rasa kita harus takaruf dulu. Aku enggak bisa menjawab tanpa mengetahui dulu visi misi kamu untuk membina rumah tangga. Jika kamu bersedia, temui ustadz Dika, di jl. Melawai Barat, no.185, beliau suami dari musyrifahku. Beliau berdua yang akan menjadi perantara kita.]

[Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh, oke, insya Allah.] 

Sebuah senyum terkembang di bibir seorang Alvaro Prayoga, batinnya bertahmid berulang kali. Seperti merasa pinangannya sudah diterima. Tak ada yang mustahil bagi Allah dan tak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. 

Allah sebagai Al Mudabbir sudah mengatur segalanya. Termasuk bagaimana Allah mengatur, hingga musyrifahnya Andara, ternyata adalah istri dari musyrifnya selama ini. 

"Yang penting yakin sama Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Penyayang, kalo jodoh nggak akan kemana." Ucap Mas Dika kala itu, saat Alvaro menceritakan kegalauannya terkait Andara. 

The End

Baca juga:

0 Comments: