Headlines
Loading...
Tergerusnya Fungsi Kepemimpinan Suami, Butuh Solusi Hakiki

Tergerusnya Fungsi Kepemimpinan Suami, Butuh Solusi Hakiki


Oleh: Vivi Nurwida (Aktivis Dakwah)

Lagi-lagi publik disuguhi berita tidak menyenangkan terkait kekerasan dalam rumah tangga. Dilansir dari liputan6.com, 01/10/2022, seorang suami melakukan aksi kejam dan biadab kepada istri dan anaknya di sebuah rumah di Kelurahan Jatijajar, Kecamatan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat. Pelaku berinisial RN (31) tega menganiaya istrinya berinisial NI (31) dan membunuh anak perempuannya berinisial KPC (13) menggunakan parang.

Masih di kota yang sama, diberitakan oleh beritasatu.com, 6/10/2022, tanpa belas kasihan, seorang suami tega memukul sang istri berkali-kali. Ironisnya, penganiayaan tersebut dilakukan sang suami di pinggir jalan di Pangkalan Jati, Cinere disaksikan sang anak yang masih balita dan warga sekitar.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga semacam ini bukanlah kasus yang baru-baru ini saja terjadi. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, selama 17 tahun, yaitu sepanjang 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau ranah personal (Kompas.com, 28/09/2022)

Meski kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi bukan hanya menimpa istri. Namun, dengan berkaca dari banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan seorang suami kepada istrinya membuat kita seharusnya bertanya, kemana perginya fungsi kepemimpinan suami kepada istrinya?

Faktor Tergerusnya Fungsi Kepemimpinan Suami

Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Ia bertanggungjawab penuh kepada istri dan anak-anaknya dalam urusan nafkah dan ketaatan kepada Allah. Selain itu, seorang suami juga berkewajiban memperlakukan sang istri dengan baik.

Hubungan suami dan istri adalah hubungan persahabatan, bukan seperti hubungan atasan dan bawahan. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dan dijalankan. Keduanya harus berjalan beriringan untuk menjadi keluarga yang diridhoi Allah dan kelak dimasukan ke dalam surgaNya.

Namun dalam perjalanan kehidupan keluarga, banyak kemungkinan yang bisa terjadi, suami bisa saja melalaikan tanggung jawabnya. Alih-alih bisa menjadi pemimpin, justru hari ini banyak terjadi suami yang sekedar menjalankan ibadah mahdhah yang wajib seperti salat 5 waktu, berpuasa di bulan ramadan saja tidak, bekerja untuk menafkahi istri dan anak-anak malas dan enggan, lebih parahnya lagi perlakuan tidak menyenangkan justru diberikan.

Tergerusnya fungsi kepemimpinan ini dapat terjadi karena 2 faktor, yakni fakor individu dan faktor sistem. Dari sisi individu bisa saja seorang suami kehilangan fungsi kepemimpinannya karena lemahnya pemahaman agama dan miskin iman. Dia hidup hanya untuk menuruti hawa nafsu belaka. Ketika ia menikah tidak paham akan hal dan kewajibannya sebagai seorang suami, yang kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Meski begitu faktor individu yang lemah pemahamannya ini bisa terjadi karena kehidupan hari ini bersandar pada ideologi kapitalisme. Yang mana pemisahan agama dari kehidupan adalah asasnya (sekularisme), menjadikan manusia jauh dari pemahaman agama yang benar.

Lebih lanjut sistem hari ini membuat kehidupan serba sulit. Banyak suami dan istri yang stres karena ekonomi yang menghimpit. Tidak dapat dimungkiri, pemutusan hubungan kerja justru terjadi pada ayah atau suami (kepala keluarga). Di sisi lain, lapangan pekerjaan justru lebih berpihak kepada kaum perempuan. Tentu berat bagi seorang suami menjalankan peran kepemimpinannya karena himpitan ekonomi, tidak memiliki pekerjaan, dan sebagainya. Sistemlah yang memaksa mereka tidak bisa menjalankan perannya dengan optimal.

Solusi Hakiki Mengembalikan Kepemimpinan Suami

Syariat Islam telah menetapkan suami sebagai pemimpin, nahkoda dalam rumah tangga. Rasulullah sebagai sebaik-baik suri tauladan telah mencontohkan bagaimana seharusnya pemimpin rumah tangga itu bersikap kepada istrinya. Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”

Istri juga mempunyai kewajiban untuk taat kepada suami dalam rangka ketaatan kepada Allah. Dengan mengetahui kewajiban dan hak masing-masing, dengannya akan terwujud rasa cinta, kasih sayang dan ketenangan. Suami yang menyakiti istri artinya tidak mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah.

Seorang suami harus tahu perannya dalam rumah tangga, dari sisi individu ia wajib dipahamkan dengan aturan agama. Maka, sudah menjadi tugas bagi orang-orang disekitar untuk melakukan amar makruf nahi munkar dengan mendakwahinya. Memahamkannya, bagaimana perannya yang mulia menjadi nahkoda dalam rumah tangga.

Negara juga harus memastikan para suami sebagai kepala keluarga bisa menjalankan perannya dengan baik sebagai pemimpin. Negara berperan untuk memastikan seorang suami memiliki keahlian juga pekerjaan agar bisa menafkahi anak dan istrinya. Negara dengan serangkaian kebijakannya akan membuka lapangan pekerjaan yang memadai bagi para suami, ayah, dan kepala keluarga. Negara juga memberi pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan yang berkualitas dan gratis.  Dengan begitu seorang istri bisa fokus untuk menjalankan perannya sebagai istri dan pengatur rumah tangga, serta menjadi guru pertama dan utama bagi anak-anaknya, tanpa sibuk keluar rumah untuk membantu perekonomian keluarga. Negara semacam ini hanya terwujud ketika negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Inilah solusi Hakiki mengembalikan fungsi  kepemimpinan seorang suami.

Wallahu a'lam bisshowab.

Baca juga:

0 Comments: