OPINI
Toleransi Beragama, Bukan Sumber Kedamaian Dunia
Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
Perayaan Hari Toleransi, yang jatuh setiap 16 November, selalu diperingati dengan berbagai agenda toleransi dan temu pemuka lintas agama. Agenda ini semakin "rajin" dilakukan baik skala nasional maupun internasional. Di Kota Bogor, peringatan Hari Toleransi diperingati dengan pawai dan gelar doa bersama di Tugu Kujang, Bogor. (radarbogor.id, 16/11/2022)
Di awal tahun 2022 lalu, Menteri Agama mencanangkan tahun 2022 sebagai Tahun Toleransi (kemenag.go.id, 8/8/2022). Pencanangan tersebut sebagai refleksi wujud komitmen merawat toleransi di berbagai bidang. Termasuk di dalamnya, toleransi sosial, agama dan politik.
Pencanangan tahun toleransi menunjukkan bahwa pemerintah serius menerapkan moderasi beragama seperti yang dirancang dalam RPJMN 2020-2024. Toleransi sebagai salah satu pilar moderasi beragama, yang mengharuskan diri untuk selalu menyiapkan diri dengan orang yang berbeda, berbeda agama, ras, dan suku bangsa. Sehingga butuh energi dan konsistensi kuat agar toleransi dan moderasi terwujud sempurna.
Bahkan event-event beraroma moderasi terus digiatkan, demi tercapainya pemahaman yang bulat tentang toleransi dan moderasi. Multaqa Ulama Al Qur'an salah satunya, yang baru saja diselenggarakan, 15-17 November 2022, di Pesantren Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta.
Hasil multaqa terdiri dari enam rekomendasi untuk pembelajaran Al Qur'an berbasis perguruan tinggi dan pesantren di Indonesia. Forum ini dihadiri 340 peserta dari berbagai kalangan, diantaranya akademisi, ulama, praktisi pendidikan, serta peneliti Al Quran.
Muhammad Ali Ramdhani, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama, menuturkan bahwa salah satu butir rekomendasi yang dihasilkan adalah pengarusutamaan Islam sebagai agama 'washatiyah', agama yang memiliki jalan tengah sebagai landasan metode berpikir, bersikap dan berperilaku. Di tengah keberagaman kehidupan masyarakat Indonesia, perlu adanya 'wasathiyah' sebagai metode berpikir, bersikap dan beraktivitas demi mewujudkan kehidupan yang toleran, ramah dan rahmah dalam kebhinekaan Indonesia. Demikian lanjut Muhammad Ali Ramdhani. (republika.co.id, 18/11/2022)
Kajian moderasi beragama dan toleransi antar umat beragama terus digaungkan. Tujuannya untuk mendamaikan setiap kegaduhan dan kekacauan yang menimpa dunia. Namun, betulkah narasi toleransi dapat menjadi sumber kedamaian bagi kehidupan?
Pertemuan ulama pasti memikirkan nasib umat Islam, yang kini tengah berada dalam keterpurukan, baik dalam pemahaman Islam, hingga dalam bidang ekonomi dan krisis multidimensi.
Keterpurukan akidah Islam.
Sebagian besar kaum muslimin, mengalami kesulitan belajar membaca dan memahami Al-Qur'an. Inilah salah satu masalah besar yang kita hadapi hingga kini. Belum ada solusi yang menuntaskannya. Seharusnya negara memfasilitasi segala kegiatan yang berbasis akidah Islam, dan berbagai ilmu terkait pemahaman syariat Islam secara menyeluruh. Namun, regulasi yang ada tidak menitikberatkan pada program edukasi akidah pendidikan umat, seperti bahasa Arab, fiqih, metode pembelajaran baca Al Qur'an, atau bidang lain yang berbasis pembelajaran Islam. Wajar saja jika saat ini masalah buta huruf Al-Qur'an menjadi kendala yang tak berujung solusi.
Miskinnya ilmu syariat Islam menciptakan matinya kesadaran umat terhadap pemahaman Islam. Parahnya, pandangan-pandangan Barat terus dijejali dalam benak umat. 'Wasathiyah' salah satunya. 'Wasathiyah' (moderasi beragama) dimaknai sebagai salah satu usaha untuk meredam perbedaan, dengan saling menerima perbedaan dan menyatukannya dalam panggung kebersamaan, dan mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemahaman ini mengacu pada satu makna. Moderat berarti tak terlalu ke kiri (komunis) dan tak terlalu ke kanan (fanatik dan radikal). Kemudian mengerucut pada keadaan muslim saat ini. Muslim yang berusaha menerapkan syariat Islam secara kafah (menyeluruh) dianggap sebagai kaum fanatik radikal. Tuduhan ini menyebabkan polarisasi dalam tubuh umat. Akhirnya terbentuklah pemikiran kaum muslim yang "mencari aman". Ya, 'wasathiyah' ini pilihannya. Padahal pilihan ini adalah pilihan yang tidak tepat.
Desain pemahaman inilah yang diinginkan Barat, yang jauh dari pemahaman syariat Islam secara utuh. Mereka memahami bahwa Islam yang utuh akan mengancam entitas negara-negara Barat.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Bagi setiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang (harus) mereka amalkan maka tidak sepantasnya mereka berbantahan dengan engkau dalam urusan (syariat) ini, dan serulah (mereka) kepada Tuhanmu. Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus."
(QS. Al-Hajj: 67)
Sumber kedamaian dunia selalu diindentikkan dengan toleransi dan moderasi beragama, padahal hal ini adalah pemahaman yang keliru. Sungguh, kehidupan penuh rahmat akan tercapai dalam kerangka ketaatan yang sempurna hanya kepada Allah Swt. Kedamaian dicapai jika syariat Islam dapat diterapkan secara menyeluruh
Ketika Daulah masih tegak, keharmonisan masyarakat senantiasa tergambar. Penerapan syariat Islam yang sempurna terbukti menjaga kerukunan antar umat.
Kekhilafahan mencerminkan kehidupan toleransi yang luar biasa. Sistem Islam memberikan batasan yang jelas dan baku tentang makna toleransi dalam kehidupan umat beragama. Sejarah menyebutkan, Spanyol sebagai salah satu cermin hidup toleransi antara muslim, Yahudi dan Kristen. Di India, sepanjang kekuasaan Abbasiyah dan Utsmaniyyah, muslim dan Hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Sistem Islam mempunyai tujuan yang jelas.
Sudah menjadi kewajiban kaum muslimin untuk menerapkan syariat Islam yang menyeluruh dan sempurna. Tak perlu ada narasi untuk membantah keberadaan syariat Islam kafah, apapun alasannya. Inilah perintah Allah Swt., Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang kita butuhkan.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: