OPINI
Tuduhan yang Salah Arah, Masalah pun Kian Parah
Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
Sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Peribahasa di atas kiranya layak disematkan pada kondisi masyarakat di negeri ini. Apa pasal? Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat di negeri gugusan pulau ini berada dalam ancaman kemiskinan yang nyata. Kondisi inilah yang mengantarkan kehidupan dalam masyarakat berada dalam level tinggi aspek emosinya. Sehingga muncul masalah sedikit saja imbasnya adalah kekerasan. Parahnya lagi kekerasan yang menimpa wanita dan anak-anak ini lalu dikaitkan dengan masalah gender.
Sebagaimana yang dilansir oleh republika.co.id pada Ahad (6/11/2022), Kasus penganiayaan terhadap istri dan anak di Depok, Jawa Barat, yang berujung pada kematian anak merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. Hal ini diungkapkan Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat.
"Komnas Perempuan memandang pembunuhan terhadap anak perempuan merupakan kekerasan berbasis gender yang ekstrem sebagai puncak dari kekerasan dalam rumah tangga," kata Rainy Hutabarat kepada Antara di Jakarta, Sabtu (5/11/2022).
Alhasil, kesetaraan gender kembali dipermasalahkan setelah mencuatnya beberapa kasus pembunuhan yang korbannya rata-rata wanita. Apalagi tingkat kekerasan yang dialami lebih parah. Fakta ini kian hari kian santer didengungkan oleh para pegiat gender.
Di dalam sistem kehidupan yang serba permisif ini, apa yang tidak akan diaruskan? Selagi itu mengarah pada kemanfaatan maka pastilah akan diupayakan. Sebaliknya, jika itu mengarah pada kerugian maka akan diperjuangkan hingga mendatangkan hasil sesuai yang diinginkan. Akhirnya sekularisme berhasil menggiring masyarakat untuk bersuara dan berkiprah di arena serba bebas ini.
Termasuk kekerasan yang menimpa banyak wanita tersebut. Pegiat gender selalu mengarahkan peristiwa semacam ini disebabkan oleh adanya ketidaksetaraan gender.
Terlebih menurut logika mereka, fakta ini terjadi akibat adanya budaya patriarki yakni budaya yang menempatkan laki-laki lebih berkuasa dibandingkan perempuan. Dalam kacamata mereka, penataan peran yang seperti itu mengakibatkan ketimpangan alias ketidaksetaraan posisi antara perempuan dan laki-laki. Bahkan para pegiat ini menganggap telah terjadi penindasan laki-laki terhadap perempuan.
Dari sinilah para pegiat gender ini memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya, berbagai agenda pengarusutamaan gender pun dirancang di berbagai lini kehidupan. Mulai dari masalah kemiskinan, kesehatan, sosial hingga anak-anak. Di antaranya untuk mengatasi perempuan yang miskin dibuatlah Lembaga Khusus Perempuan (LKP) sampai tingkat kabupaten. Mereka juga melakukan advokasi terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Mereka melakukan pembelaam terhadap PSK (Pekerja Seks Komersial) yang menjadi korban kekerasan aparat. Mereka melakukan pembelajaran bagi para wanita yang buta huruf dan pelatihan keterampilan kepada para perempuan. Mereka juga menunjukkan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan perdagangan perempuan dan anak-anak serta persoalan krusial lainnya.
Sekilas, apa yang mereka perjuangkan tampak mulia dan sangat perhatian pada perempuan dan anak-anak. Apalagi sebagian masyarakat, khususnya yang awam cukup merasakan perhatian ini. Padahal ini merupakan bagian dari upaya untuk menipu masyarakat agar mendukung program kesetaraan gender.
Dalam program ini para pegiatnya menyodorkan bahwa harus ada kesamaan atau kesetaraan antara lelaki dan perempuan, baik di ranah keluarga maupun di ranah umum. Mereka berpendapat bahwa program inilah satu-satunya solusi atas persoalan yang menimpa perempuan dan anak-anak. Pada kenyataannya kesetaraan gender hanyalah ilusi.
Demikianlah yang terjadi di masyarakat yang menganut paham kebebasan. Sebagai anak asuh kapitalisme maka sekularisme akan terus mengekor ke mana induk semangnya pergi. Yang penting ada hasil dari setiap moment yang terjadi. Istilahnya _no free lunch_.
Tentu saja akan berbeda kejadian dan penanganannya pada masyarakat yang menganut dan mengemban sistem Islam. Di dalam Islam, kedudukan lelaki dan perempuan di hadapan Allah Swt. sama. Yakni sama-sama ciptaan Allah Swt. yang akan dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatannya di dunia. Sedangkan dalam kehidupan dunia maka lelaki dan perempuan memiliki kedudukan dan peran yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh kodrat penciptaannya yang berbeda. Perbedaan ini semata-mata hak prerogatif Allah Swt.
Realita juga tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan adalah bagian yang tak terpisahkan dari laki-laki. Dua jenis manusia ini hidup di tengah-tengah masyarakat dengan menjalankan peran dan fungsi yang sama sebagai manusia. Misalnya, laki-laki dan perempuan keduanya bisa menjalankan fungsi _amar makruf nahi mungkar_. Namun keduanya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda apabila dilihat dari jenis kelaminnya. Misalnya, hanya perempuan yang diberi kemampuan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui (sementara hal ini tidak terjadi pada laki-laki).
Tidak ada masyarakat laki-laki saja atau perempuan saja. Sehingga ketika memecahkan masalah yang muncul di tengah masyarakat akan diperlukan penyelesaian yang serempak dan harus melibatkan laki-laki dan perempuan.
Islam adalah agama yang paripurna, telah mengatur bagaimana peran dan fungsi perempuan maupun peran dan fungsi laki-laki. Masing-masing peran dan fungsi ini dipastikan akan membawa keharmonisan, ketenteraman, dan ketenangan baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki serta manusia pada umumnya. Terlebih dalam naungan sistem pemerintahan yang Islami.
Lalu, tunggu apa lagi? Mari kita campakkan sekularisme dan kapitalisme agar masalah tidak kian parah. Lalu kita perjuangkan penegakan sistem Islam kafah bersama-sama. Allahu Akbar.
Wallahu a'lam bishawab.
0 Comments: