Oleh. Ana Mujianah
"Apa-apaan ini!" teriak Pak Kusno sambil menggebrak meja. Seisi ruang keluarga tersentak. Mereka tak menyangka reaksi Pak Kusno akan semarah itu.
"Namanya nikah itu, lelakon seumur hidup sekali. Nggak boleh sembarangan. Harus diperhitungkan tanggal weton yang cocok," wejangan Pak Kusno panjang kali lebar. Semua anggota keluarga yang sedang berembug mengenai pernikahan Sekar itu pun terdiam. Tak terkecuali paklik dan bulik Sekar. Maklum, Pak Kusno merupakan anak tertua sehingga segala keputusannya dianggap sesuatu yang final.
"Sabar, Pak. Minum dulu." Seorang wanita yang duduk di sebelah Pak Kusno mencoba menenangkan laki-laki tersebut. Ia kemudian menyodorkan segelas air putih.
"Tapi ... Mas Aji sampun ambil cuti di hari itu, Pak." Sekar yang dari tadi diam memberanikan diri untuk bicara. Demi pernikahannya, Sekar mengambil resiko bahwa dia akan dianggap sebagai anak yang tidak mengerti unggah-ungguh atau sopan santun. Dalam tradisi keluarga Sekar, jika para orang tua sedang berembug, maka anak-anak muda cukup mendengarkan.
"Nggak bisa! Bapak tetep nggak setuju. Kalian anak muda hanya nuruti senengnya sendiri. Nggak mikir panjang." Pak Kusno kekeh ingin tanggal pernikahan Sekar dan Aji dihitung berdasarkan keyakinan adat Jawa.
"Tapi, Pak ...." Wanita di depan Sekar segera melebarkan mata ke arah Sekar. Sekar pun paham maksud wanita tersebut sehingga ia tak melanjutkan kata-katanya meski dalam hati sebenarnya dia masih belum menerima keputusan sang bapak.
Pak Kusno nampak serius mencorat-coret kalender. Mencari tanggal yang cocok untuk pernikahan putrinya.
"Ini wetonnya nggak pas. Pernikahannya harus ditunda tahun depan." Suara Pak Kusno memecah keheningan. Semua mata terbelalak. Tak terkecuali paklik dan buliknya Sekar. Ruang keluarga seketika riuh mirip suara tawon.
"Ngapunten, Mas. Coba diotak-atik lagi. Apa nggak ada jalan lain. Kalau ditunda setahun lagi ... kelamaan, Mas. Khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan." Harto, salah satu Pak Lik Sekar berurun rembug.
"Mau diotak-atik gimana lagi maksud kamu, Har! Kalau diteruskan akibatnya fatal. Rezekinya bisa seret bahkan mampet sama sekali."
"Rezeki itu yang ngatur Gusti Allah, Pak. Kalau kita mau bekerja keras dan berdoa, insya Allah rezekinya lancar." Semua mata menoleh ke arah Sekar. Lagi-lagi gadis itu tak bisa menahan diri.
"Kamu ngerti apa, anak kemaren sore. Baru belajar ngaji sudah mau nyeramahin bapak." Sekar langsung menunduk, menghindari tatapan marah bapaknya.
"Keputusan Bapak, pernikahan Sekar akan dilangsungkan tahun depan. Setelah lewat bulan Suro." Pak Kusno mengakhiri pertemuan keluarga itu dan beranjak pergi. Sementara, seluruh anggota keluarga yang lain hanya bisa menatap iba pada Sekar.
"Kamu sabar dulu, Nduk. Nanti ibu coba bicara lagi sama Bapakmu. Kamu banyak berdoa dan jangan membantah. Bapakmu paling tidak suka kalau digurui." Kata-kata wanita yang telah melahirkan Sekar itu bagai guyuran hujan di tengah kemarau panjang, selalu menyejukkan.
"Njih, Bu. Maafkan Sekar."
Sebenarnya Sekar menangis bukan semata pernikahannya harus ditunda setahun lagi. Namun, gadis itu bersedih karena adat kepercayaan yang masih dipegang erat bapaknya. Sekar takut bapaknya semakin jauh terbelenggu pada kesyirikan yang dimurkai Allah.
Tak henti-hentinya Sekar beristighfar dan berdoa. Memohon ampun untuk bapaknya dan memohon petunjuk agar sang bapak diberi hidayah.
**
"Pak, ngapunten. Soal ... pernikahan Sekar. Apa nggak sebaiknya Bapak pikirkan lagi." Lasmi, ibunya Sekar mengambil duduk dekat Pak Kusno yang sedang menonton televisi. Wanita itu kemudian meraih tangan suaminya dan memijit-mijitnya pelan.
"Mau dipikirkan apanya lagi, Bu? Sudah bapak hitung dengan matang wetonnya nggak ada yang cocok," sahut laki-laki itu datar tanpa menoleh kepada istrinya.
"Jodoh ... rezeki ... ajal. Sudah diatur Gusti Allah Kang Moho Agung." Pak Kusno masih fokus dengan berita pagi. Laki-laki itu belum menanggapi kata-kata sang istri.
"Dulu ... waktu lama belum ada Sekar. Kita berobat kemana-mana. Ternyata, kalau Gusti Allah belum berkehendak memberi, ya nggak jadi-jadi." Wanita itu diam sejenak.
"Begitupun rezeki, jodoh, hari baik. Kenapa nggak kita percayakan saja sama Gusti Allah, Pak."
"Maksud Ibu?" Pak Kusno menoleh ke arah istrinya.
"Pergaulan anak-anak sekarang, kadang di luar kendali kita. Sekali dua kali mungkin mereka masih bisa menjaga diri. Tapi, ibu khawatir, godaan setan diluaran sana lebih kuat, Pak."
"Apa nggak sebaiknya, pernikahan Sekar dan Aji segera dilangsungkan," kata Lasmi hati-hati khawatir menyinggung emosi suaminya.
"Soal rezeki, kita pasrahkan sama Gusti Allah. Hewan melata saja dijamin rezekinya, apalagi manusia, Pak."
"Yang penting anak-anak kita terjaga dari perbuatan yang mengundang azab Gusti Allah. Bapak juga nggak mau kan kalau Sekar berbuat yang macam-macam?" tanya Lasmi mencoba meyakinkan suaminya.
"Lagi pula, Nak Aji itu pemuda yang baik. Kalau ditunda terlalu lama nanti keburu dia nyari yang lain. Karena ibu yakin, Nak Aji juga berusaha menjauhi perbuatan yang bisa mengundang azab. Makanya, niatnya baik untuk segera menikahi Sekar." Pak Kusno manggut-manggut. Laki-laki itu mencoba mencerna kata-kata istrinya.
Lama tak ada jawaban. Lasmi pun tak memaksa suaminya untuk segera memberi keputusan. Wanita itu berniat meninggalkan suaminya sendiri. Memberi waktu agar bapaknya Sekar bisa berpikir dengan jernih dan mengambil keputusan yang bijak.
"Bu, tolong bilang sama Harto. Suruh ke rumah Pak Seno. Bapak mengundang Pak Seno sekeluarga untuk membicarakan rencana pernikahan Aji dan Sekar," pinta Pak Kusno sebelum Lasmi beranjak.
Tanpa mereka sadari, sesungging senyum terbit pada wajah gadis berkerudung yang tak sengaja mendengar obrolan kedua orang tuanya.
"Terimakasih banyak, Bu," ucap gadis itu lirih.
TAMAT
Baca juga:

0 Comments: