OPINI
Revisi UU IKN Sarat dengan Kepentingan Oligarki?
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Dikutip dari kompas.com, 12 Desember 2022, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly membenarkan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara (IKN) direvisi agar pemerintah bisa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun seluruh persiapan revisi UU IKN baru disahkan pada 15 Februari 2022.
Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adiwijaya mengatakan, revisi UU usulan pemerintah ini telah disetujui oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun depan (cnbc indonesia, 12/12/2022)
Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai DPR dan pemerintah sibuk mengurus RUU yang kepentingannya lebih banyak untuk mereka saja, sedangkan nasib RUU-RUU yang berurusan dengan kepentingan publik jadi merana (Kompas.com)
Sangat disesalkan, mengingat pembiayaan IKN melalui anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN sudah berjalan sejak 2022. Pemerintah memaksakan pembangunan IKN terburu-buru tanpa batasan yang jelas dan tegas berapa yang akan digunakan. Pernyataan Pak Yasona yang mengakui UU IKN direvisi agar pemerintah dapat menggunakan APBN untuk mendanai IKN membuktikan bahwa pemerintah tidak yakin IKN didukung investasi asing swasta apalagi dari investasi asing.
UU IKN termasuk undang-undang yang sangat cepat proses lahirnya yakni hanya 42 hari. Meski banyak ahli protes lahirnya undang-undang tersebut undang -undang ini tetap disahkan dan pemerintah menilai ini langkah pembangunan. Namun, kini DPR telah menetapkan revisi undang-undang IKN. Revisi ini menunjukkan ketidakmatangan proses pembuatan undang-undang termasuk proyek yang dituju oleh UU yang dibuat. Pembuatan undang-undang yang asal jadi, jelas menunjukkan lemahnya peran negara dan minimnya kapasitas wakil rakyat.
UU dalam sistem politik sekuler, atas nama kebebasan kepemilikan, penguasa memberi jalan bagi swasta atau asing untuk memperjualbelikan kekayaan negara demi melancarkan kepentingan asing (korporasi). Jika UU tidak sesuai, bisa diubah dengan usulan RUU atau revisi yang ada agar sejalan dengan kepentingan mereka.
Akan berbeda jauh dengan sistem Islam, dimana dalam sistem aturan Islam, UU harus selaras dengan sumber hukum Islam. Landasan keimanan menjadikan pembuatan UU dilakukan dengan penuh kesadaran akan pertanggungjawaban kepada Allah Swt bukan sekedar untuk kepentingan oligarki. Islam menegaskan bahwa manusia tidak layak membuat aturan hidup. Hanya Allah sajalah yang berhak membuat aturan hidup. Sebagaimana firmanNya, "Menetapkan hukum hanyalah hak Allah."(QS. Al An'am ayat 57)
UU dalam Islam harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Pendek kata, akidah Islam sejatinya menjadi dasar dalam menyusun UU tersebut. Dengan akidah Islam dijadikan sebagai dasar dan pondasinya, maka UU tersebut tidak akan mengandung pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Dalam masalah hukum syariat, Islam menetapkan bahwa UU harus bersumber dari wahyu yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, serta apa yang ditunjukkan kepada keduanya, ijma sahabat dan qiyas. Pasal per pasal di dalam UU ini disusun berdasarkan dalil yang paling kuat (rajih). Rancangan UU tersebut setelah terbukti dalilnya paling kuat diadopsi oleh Khalifah (kepala negara) yakni sebagai satu-satunya pihak yang memegang otoritas dalam mengadopsi hukum untuk dijadikan UU. Jika dikemudian hari terbukti ada kelemahan dalam pasal per pasal UU yang diadopsi oleh Khalifah, tugas untuk mengoreksinya ada di tangan Mahkamah Mazhalim.
Dalam hal ekonomi, Islam telah menetapkan jenis-jenis kepemilikan yang harus dijamin dapat terselenggara sebaik mungkin oleh negara Islam, mewajibkan negara untuk menjamin kepemilikan individu, kepemilikan bersama atau umum, dan milik negara. Jadi, tidak ditemukan adanya kebebasan dalam kepemilikan harta dalam Islam. Seluruhnya diatur dan dibatasi dengan hukum syariat yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.
Demikian pula dalam pembangunan dan penyediaan infrastruktur atau fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang, Islam menetapkannya sebagai kepemilikan umum (rakyat). Kepemilikan umum berupa fasilitas umum tidak boleh dikuasai atau dimonopoli oleh individu seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. Semua ini merupakan bagian dari infrastruktur sebagai kebutuhan seluruh manusia dan dalam hal ini negara wajib menyediakannya. Penggunaannya pun gratis bagi seluruh rakyat.
Dalam bangunan infrastruktur ini kepala negara harus menjalankan visi dan misi pelayanan untuk kesejahteraan rakyat bukan visi misi pelayanan untuk korporasi, swasta atau asing. Dalam pembiayaan infrastruktur, negara dapat memproteksi beberapa harta milik umum, seperti minyak, gas dan tambang. Negara juga dapat menarik dharibah atau pajak untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh terjadi ketika kas Baitul Mal benar-benar kosong. Itupun untuk membiayai sarana dan prasarana vital dan hanya mengambil dari kaum Muslim laki -laki dan mampu, selainnya tidak. Demikianlah Undang-Undang negara yang aturannya bersumber dari al Khaliq diterapkan di bawah kepemimpinan sistem Islam untuk kemaslahatan hidup umat manusia. Wallahu a'lam.
0 Comments: