
OPINI
RKUHP: Standar Ganda Demokrasi?
Oleh. Novita Tristyaningsih
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah menimbulkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan kemungkinan adanya pasal-pasal bermasalah yang rentan melahirkan cacat hukum. Penolakan muncul dari berbagai kalangan.
Seperti dilansir dari BBC.com (28/11/2022), Aliansi Nasional Reformasi KUHP melakukan aksi bentang spanduk menolak pengesahan RKUHP. Dalam aksi di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (27/11) itu, aliansi yang tergabung dari beberapa LSM itu juga melakukan sosialisasi dengan membagi-bagikan selebaran kepada warga yang melintas di area 'Car Free Day'.
Menurut anggota aliansi dari LBH Jakarta, Citra Referandum, RKUHP mengandung pasal-pasal anti Demokrasi yang akan menyempitkan kebebasan publik dalam berekspresi dan berkumpul. Di sisi lain, RKUHP memberikan kewenangan besar kepada negara, melalui aparat penegak hukum, dalam menekan masyarakat. Jika disahkan, akan membuat sistem hukum pidana semakin kacau balau.
Menurut Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, proses pembentukan dan pembahasan RKUHP cacat formil karena tidak menjalankan proses partisipasi yang bermakna (meaningful participation), dengan melibatkan masyarakat.
Standar Ganda Demokrasi
Pengesahan RKUHP seolah melanggar semboyan Demokrasi, “Dari rakyat dan untuk rakyat”. Demokrasi yang dianggap berpihak pada rakyat malah melahirkan kebijakan anti Demokrasi, anti kritik, dan membungkam suara rakyat atau pun pers. Ide yang lahir dari sekularisme ini merupakan paham barat yang memiliki standar ganda.
Tidak sedikitnya penolakan atas pengesahan RKUHP ini. Namun tetap saja dikatakan bahwa pembahasan sesuai dengan suara rakyat. Di saat rakyat menganggap bahwa pemerintah anti Demokrasi, dikatakan bahwa DPR telah menerima masukan dari masyarakat dan melakukan perubahan baik dalam bentuk penghapusan, reformulasi maupun penambahan pasal-pasal RKUHP.
Inilah potret Demokrasi yang penuh dengan standar ganda. Tidak ada standar yang tepat untuk mengukur benar dan salah. Rakyat menganggap pemerintah anti demokrasi. Sedangkan penguasa menilai RKUHP sudah sesuai dengan prinsip Demokrasi. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan dalam Demokrasi rentan akan kepentingan dalam penerapannya. Sistem ini tidak layak dijadikan aturan kehidupan, karena rentan melahirkan polemik yang bertentangan di tengah masyarakat.
Pandangan Islam tentang Mengoreksi Penguasa
Ketika sistem Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara, Islam mampu menciptakan nuansa Islami dan harmonis antara rakyat dan penguasa. Sistem Islam melahirkan individu-individu yang bertakwa; termasuk pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan takut berbuat zalim pada rakyatnya.
Dalam Islam, kebijakan yang dibuat oleh pemimpin melahirkan rasa aman, tenteram dan sejahtera. Hal ini karena semua kebijakan bersumber dari hukum Allah Swt. dan sunah Rasulullah saw. Syariat Allah akan menghilangkan segala kemungkinan kebijakan zalim penguasa.
Rasulullah saw bersabda, “Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim,” (HR. at-Tirmidzi).
Islam juga memberikan peluang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasa, ketika kebijakan-kebijakannya menzalimi rakyat serta bergeser dari syari'at Islam. Bahkan, mengoreksi penguasa merupakan bagian dari jihad yang utama. Rasulullah Saw, “Jihad yang paling utama adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Dailami).
Mengingat perintah ini bersumber dari syariat Islam, maka penguasa tidak boleh anti kritik ketika rakyat mengoreksinya. Dalam Islam, penguasa adalah pelayan dan pemimpin rakyat. Maka, mereka wajib mendengar aspirasi rakyat dan melindungi mereka dari segala kezaliman yang menimpanya.
Pada masa Khil4f4h Islam dahulu, kebijakan Khalifah Umar bin Khattab dikritik. Khususnya ketika Khalifah Umar mengeluarkan kebijakan pemberian mahar pada kaum perempuan. Di antara kaum perempuan saat itu, ada yang memberikan koreksi/kritik, karena mahar itu merupakan hak perempuan. Khalifah Umar menerima kritikan tersebut, bukannya murka terhadapnya. Keadilan dalam mengoreksi pemimpin hanya dapat terwujud ketika Sistem pemerintahan Islam diterapkan di seluruh aspek kehidupan manusia.
Wallahu a'lam bishawwab.
Baca juga:

0 Comments: