Headlines
Loading...
Oleh. Vivi Nurwida 
(Aktivis Dakwah)

Guruku tersayang
Guruku tercinta
Tanpamu apa jadinya aku
Tak bisa baca tulis
Mengerti banyak hal
Guruku terima kasihku......

Penggalan lirik lagu karangan Melly Goeslaw di atas seharusnya sudah mewakili bagaimana kita menyayangi guru. Kita bisa membaca, menulis, mendapatkan banyak ilmu pengetahuan, mengerti banyak hal, dari sosok yang dikenal sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa" ini.

Di Indonesia, setiap tanggal 25 diperingati sebagai Hari Guru. Secara historis, penetapan ini dimulai dari tahun 1994. Lantas, apakah peringatan hari guru sudah cukup dikatakan memuliakan guru di negeri ini?

Problem Tiada Akhir 

Tidak dipungkiri, jasa guru sangat berarti. Namun, berbagai problem terus mewarnai hidup sosok mulia ini dan tak kunjung berakhir. Guru juga berpengaruh terhadap baik buruknya sebuah generasi. Tidak sepatutnya hidupnya merana, jauh dari kata sejahtera. 

Saat ini, kesejahteraan guru, lebih-lebih guru honorer, belum terjamin. Ketidakadilan terus menyertai mereka. Nasib guru honorer terkatung-katung. Mereka seperti guru kelas dua, harus rela digaji Rp300.000/bulan. Tak jarang mereka harus menunggu hingga 3-4 bulan baru menerimanya. Bahkan, ada berita seorang honorer yang  sudah 11 bulan tidak digaji. 

Wajar jika banyak guru hari ini tidak bisa memusatkan konsentrasi dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya.
Hal ini lantaran gaji mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat. Bahkan, banyak dari guru honorer tersebut harus bekerja keras mencari pekerjaan tambahan untuk bertahan hidup.

Nasib guru honorer jauh berbeda jika dibandingkan dengan guru PNS. Oleh sebab itu, banyak orang yang berlomba-lomba menjadi guru PNS. Namun, pada tahun 2021, berdasarkan keputusan BKN, pemerintah menghentikan pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi guru menjadi seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). 

Masih banyak kendala terkait status guru PPPK, di antaranya seleksi dan kebijakan tentang siapa dan dari mana pendanaan untuk gaji yang akan diberikan. Padahal negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Akan tetapi,  penerapan sistem ekonomi Kapitalisme telah menyebabkan kekayaan alam dikeruk oleh asing. Akibatnya kesejahteraan masyarakat pun tergadaikan, termasuk para guru. 

Selain itu, berdasarkan data Kemendikbudristek, pada tahun 2022 kekurangan guru di Indonesia diprediksi 1.167.802 orang. Hingga 2024, kekurangan guru diprediksi meningkat hingga 1.312.759 orang. Di sisi lain, pada 2020 jumlah guru bukan ASN di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus sebagai guru honorer sekolah.

Guru adalah salah satu dari  komponen penting dalam dunia pendidikan. Jika pemerintah menganggap pendidikan itu penting, pemerintah seharusnya bisa memerhatikan semua komponen untuk mewujudkan pendidikan berkualitas dan unggul, termasuk tenaga pengajar dan pendidiknya.

Guru Dimuliakan Hanya dalam Sistem Islam

Sistem Islam memperlakukan guru secara jauh berbeda jika  dibandingkan dengan sistem saat ini. Hal ini berawal dari  paradigma bahwa pendidikan adalah kebutuhan pokok publik (masyarakat) di samping kesehatan dan keamanan. Pendidikan adalah hak seluruh warga negara baik kaya maupun miskin, muslim maupun kafir, di desa maupun di kota. Maka dari itu, negara akan berupaya untuk memenuhi hak ini. Berbagai fasilitas pendidikan akan disediakan oleh negara secara cuma-cuma dan berkualitas.

Negara juga mempunyai kewajiban untuk menyediakan tenaga pengajar dan pendidik  yang berkualitas. Mereka juga akan digaji secara layak. Dalam negara berideologi Islam, tidak ada perbedaan status di antara guru. Semua guru adalah pegawai negara. Mereka akan mendapatkan gaji dan tunjangan dari negara. Tunjangan dan gaji mereka akan diambilkan dari kas Baitulmal. 

Dalam pandangan sistem kapitalis, pendidikan yang berkualitas harus berani membayar mahal. Tapi hal ini tidak berlaku dalam Islam. Idealnya, guru memainkan perannya bukan hanya sebagai pengajar tapi juga pendidik. Jadi negara lah yang bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan pendidikan tanpa memungut biaya.

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, masing-masing guru digaji 15 dinar per bulan (1 dinar= 4,25 gram emas). Ini artinya setara 63,75 gram emas. Jika harga emas per gram Rp900.000, maka gaji guru pada masa itu mencapai 57 juta rupiah. Guru digaji fantastis  tanpa memandang statusnya sebagai PNS atau honorer, bersertifikasi atau tidak. 

Kesejahteraan guru dalam Islam sangat terjamin, bahkan derajatnya dimuliakan, salah satunya dengan gaji yang tidak sedikit. Selain itu, para guru juga diberikan kesempatan untuk meningkatkan kualitas mereka untuk mendidik generasi dengan fasilitas yang memadai sekaligus gratis. Jangan heran jika di kemudian hari, lahir figur generasi berkualitas, cerdas dan saleh. Mereka siap menyongsong peradaban yang gemilang.

Guru hanya akan mendapatkan mendapatkan kemuliaannya dalam sistem (aturan hidup) yang memuliakannya. Dialah sistem yang menerapkan Islam secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. 

Sudah saatnya kita memperjuangkan agar sistem ini bisa diterapkan, agar para guru mendapatkan kemuliaan dan kesejahteraan. Dengannya, akan lahir generasi cemerlang, calon pemimpin masa depan.

Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: