Oleh. Iis Nopiah Pasni
Selasa pagi yang indah, Abidzar sudah mandi dan berpakaian. Dik Hani si Bungsu masih tidur setelah tadi Subuh bangun minta dibuatkan sebotol air susu. Sedangkan si Sulung sudah berangkat pagi jalan santai bersama teman-teman SMA.
Bunda Isna masih berkutat di dapur menggoreng tempe mendoan dan membuat kopi kental manis untuk suaminya.
"Bun, hari ini kita jalan santai yuk," ajak Abidzar sambil meletakkan gelas yang berisi teh hangatnya.
"Iya, nanti dulu ya Bang," kata Bunda Isna sambil meletakkan kopi manis ke dekat suaminya duduk.
"Ini, kopinya," kata Bunda Isna pada suaminya.
"Makasih," kata Ayahnya Abidzar sambil mendekatkan gelas kopi itu padanya.
"Ayo Bun!" kata Abidzar yang kali ini sudah memakai sepatunya.
"Ayo, Bang, " jawab Bunda singkat.
"Yah, Bunda sama Abang Abidzar mau jalan santai dulu. Titip Adik Hani ya, Assalamualaikum," kata Bunda sambil mencium tangan suaminya.
"Assalamualaikum, Ayah," kata Abidzar sambil mencium tangan ayahnya.
Mereka berjalan santai pagi bersama mengelilingi perumahan saja, agar tak terlalu jauh dari rumah mereka.
Suasana pagi yang tenang, jalanan masih sepi. Ada beberapa orang yang lewat, saling sapa dan tersenyum.
"Mana Dik Hani, kok nggak diajak?" tanya seorang tetangga.
"Dik Hani masih tidur," jawab Bunda Isna lalu tersenyum.
"Sunatnya sudah sembuh Ya Abang Abidzar?" tanyanya lagi.
"Iya Bude, sudah sembuh," jawab Abidzar spontan lalu tersenyum manis.
"Alhamdulillah, eh ya ini Bude punya pisang goreng buat Abidzar," kata Bude lagi.
"Makasih, Bude," kata Abidzar sumringah sambil mengambil kantong kresek berisi tepak pisang goreng yang diberikan Bude.
"Alhamdulillah, matur nuwun ya Bude," kata Bunda Isna juga.
"Yuk ... Bude," kata Bunda Isna dengan senyum manis pamit meneruskan jalan santainya. Bude melambaikan tangannya.
"Bude baik banget ya Bun," kata Abidzar pada bundanya.
"Iya, Alhamdulillah ya Nak ar rizki minallah rizki itu dari Allah dari jalan yang tak kita sangka, selalu bangun pagi dan selalu ramah juga senyum, ya nak," kata bunda lagi.
"Kenapa Bunda selalu tersenyum ketika ketemu orang kayak ketemu Bude tadi," tanya Abidzar penasaran.
"Nah kalau Abidzar senyum pada temannya lalu temannya balas dengan muka yang cemberut, Abidzar mau nggak," tanya Bunda Isna ingin tahu jawaban anaknya.
"Ya Abang nggak mau," kata Abidzar lagi.
"Senyum itu termasuk ibadah, Bang," kata Bunda Isna menjelaskan pada anaknya.
"Ada hadits senyum, Bang. Artinya senyum mu di hadapan saudaramu adalah sedekah," kata Bunda Isna menjelaskan tentang hadits senyum.
"Ternyata senyum itu sedekah ya Bun?" kata Abidzar masih seperti biasa selalu antusias dan penasaran akan hal baru dalam hidupnya.
"Iya Sayang. Kalau Abang senyum maka di dunia akan dibalas juga dengan senyum dan nanti di akhirat mendapat pahala dari Allah Subhanahu Wata'ala," kata Bunda Isna lagi.
"Ternyata mudah ya Bun, dapat pahala. cuma dengan senyum," kata Abidzar lagi.
"Iya, mudah sekali, senyum ya Bang," kata Bunda Isna lalu memberikan senyum terbaiknya pada Abidzar. Tentu saja Abidzar langsung membalas senyum Bundanya.
Mereka terus berjalan santai sambil bergandengan tangan.
"Nggak kerasa sudah sampai ya Bun," kata Abidzar pada Bundanya ketika mereka sudah di depan rumah mereka.
"Assalamualaikum, Ayah, kata Abidzar dan Bunda Isna hampir berbarengan.
"Waalaikumsalam," jawab ayahnya Abidzar yang sedang menggendong si bungsu.
"Bun, Bun," kata dik Hani sambil meminta digendong Bundanya. Dengan gercep Bunda Isna langsung menggendong si Bungsu dan menciumnya.
"Anak saleha sudah bangun ya?" tanya Bunda Isna pada anaknya itu. Dik Hani menganggukkan kepalanya sambil terus minum sebotol susu.
"Dek Hani bangun tidurnya tadi nangis nggak?" tanya Bunda Isna lagi.
"Ais," jawab Hani masih digendongan bundanya.
"Huh, kasihan ya nggak ketemu Bunda ya tadi," kata Bunda Isna pada Dik Hani.
"Bun, Bun," kata Dik Hani sambil menunjuk bundanya.
"Oh, Dik Hani cari Bunda tapi nggak ada ya?" tanya Bunda mencoba menemukan arti bahasa dik Hani, dik Hani langsung mengangguk lagi dan tersenyum manis.
Melihat dik Hani tersenyum, Abidzar spontan langsung bilang dan bergaya seperti seorang guru.
"Dik Hani jangan lupa tersenyum ya, senyum itu sedekah," kata Abang Abidzar dengan penuh percaya diri.
"Senyum itu dihadapan saudaramu adalah sedekah," kata Abidzar membacakan arti hadits senyum tadi.
Dik Hani langsung tersenyum lagi, Bunda langsung menciumnya gemas.
"Masyaallah, Abang Abidzar pinter banget ya, sini Bunda mau peluk juga," kata Bunda Isna bahagia.
"Jangan lupa tersenyum, berkata ahsan, berakhlak mulia ya sayang," kata Bunda Isna dan kali ini memeluk kedua anaknya dengan penuh sayang.
"Bun, Bun," kata Dik Hani, kali ini menunjuk ayahnya.
"Oh, Dik Hani mau peluk ayah juga?" tanya Bunda pada Dik Hani. Ia langsung mengangguk dan tersenyum manis sehingga memperlihatkan giginya yang berbaris rapi.
Muara Enim, 27 Desember 2022
0 Comments: