
OPINI
Awas! Pay Later Mengintai Generasi!
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)
Pesatnya kemajuan teknologi digital, termasuk di sektor keuangan tampaknya tak selalu membawa dampak positif. Sejumlah aplikasi penyedia layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau beli sekarang bayar belakangan pada akhirnya hanya membawa petaka. Berawal dari kemudahan mengakses pinjaman untuk membeli barang secara cepat, tak sedikit pengguna yang mengaku kebablasan sampai aakhirnya masuk ke dalam lingkaran utang/jebakan finansial.
Institute for Development of Economic Studies (Indef) mengatakan bahwa fitur ini menjadi alternatif bagi orang orang yang tidak bankable untuk mengakses kredit. Karenanya saat ini makin banyak gen z berusia dibawah 19 tahun yang belum berpenghasilan tersandung kasus gagal bayar kredit alias kredit macet. Hal ini tak luput dari fakta bahwa gen z adalah generasi yang paling adaptif terhadap teknologi. Juga teknik promosi menggiurkan yang nyatanya tak sebanding dengan edukasi soal resiko nya.
Berdasarkan riset KataData Insight Center, dari 5.204 responden yang di survei, sebanyak 16,5 persen pengguna fitur Paylater adalah gen Y atau milenial. Sementara dari gen Z jumlahnya berkisar di angka 9,7 persen.
Di akhir jaman, segala bentuk kemudahan memang kerap melenakan. Apalagi di tengah gempuran gaya hidup hedonisme dan konsumerisme, makin hilanglah kontrol diri yang harusnya dimiliki. Konsumerisme sendiri adalah gaya hidup dan mentalitas yang boros. Sementara hedonisme merupakan paham yang menganggap kenikmatan sebagai tujuan hidup. Kedua hal ini kemudian dinilai sebagai peluang oleh pasar untuk mengeruk sebesar-besar keuntungan. Dan e-commerce dengan layanan pay later adalah salah satu fasilitas yang memberi ruang bagi aktualisasi dua gaya hidup tersebut. Tak hanya meraup untung dari segi penjualan, rentenir gaya baru tersebut juga akan menjerat mangsa dengan bunga dan denda bila terjadi terlambat bayar.
Inilah akibatnya ketika sekulerisme makin mengganas membakar jiwa jiwa pemuda. Mengosongkan mereka dari ruh agama yang mestinya bisa menjadi alat kontrol ketika hendak memutuskan sesuatu. Membelokkan mereka dari tugas utamanya sebagai manusia berupa ibadah kepada sang Pemilik Kehidupan. Hal ini kemudian merubah orientasi hidup dari yang harusnya mengejar pahala, menjadi mengejar kesenangan duniawi seperti penampilan fisik, dan lain-lain.
Harus disadari betul, bahwa sebenarnya budaya konsumerisme dan hedonisme memiliki pengaruh besar terhadap sikap generasi, seperti tabiat untuk menuntut hak tanpa menyelesaikan kewajibannya lebih dulu. Mereka terbiasa mendapatkan sesuatu secara instan tanpa mau melewati fase berproses. Akibatnya potensi pemuda terblokade. Mereka kehilangan hasrat untuk berinovasi, dan hanya ingin menikmati produk jadi hasil industri.
Bahaya lain yang juga harus diwaspadai adalah munculnya bibit bibit rusak yang menyelimuti jiwa para pemuda seperti perasaan mudah putus asa. Bukankah sering kita jumpai kasus bocah bunuh diri atau anak aniaya orangtua hanya karena keinginan tak dituruti?
Sungguh, bahaya seperti inilah yang harusnya tak luput dari perhatian. Menjadi konsern negara karena mau bagaimanapun juga, negara adalah induk dengan benteng terkokoh yang paling bertanggungjawab atas keberlangsungan nasib generasi. Lagi pun, estafet kepemimpinan juga akan beralih ke tangan mereka. Mau dibawa kemana kedaulatan sebuah negara besar jika pemimpinnya bermental ciut dan hobi berhutang?
Tapi sayangnya, negara penganut sekuler liberal justru terlibat dalam memfasilitasi jerat haram ini dengan berbagai dalih. Seperti diantaranya melegalkan fintech terkait karena terdaftar di OJK, suku bunga rendah yang dengannya tidak membebani masyarakat dan juga tanpa banyak syarat sehingga memudahkan. Padahal, konsep pinjaman semacam ini hanyalah solusi pragmatis bagi masyarakat yang kekurangan ekonomi untuk membeli sesuatu. Manfaatnya pun sesaat, ketika barang ditangan, tapi efeknya tentu saja menjerat. Pada posisi inilah sebenarnya negara telah kehilangan perannya sebagai pelindung rakyat. Negara hanya sebatas regulator yang mengeluarkan suatu aturan namun berlepas tangan akan resiko yang ditanggung rakyatnya setelah aturan tersebut dirilis. Yang ada dipikiran mereka, hanya untung dan bagaimana bisa memberi keuntungan pada para kapitalis.
Sungguh, mental konsumtif generasi sejatinya tidak terbentuk secara instan. Melainkan terbangun melalui proses pembiasaan yang berlangsung lama. Lantas bagaimana membiasakan generasi berhenti dari hal yang demikian?
Pertama, generasi termasuk juga para orangtua harus paham, bahwa perilaku konsumerisme dan hedonisme bukanlah perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sehingga siapapun yang mengaku dirinya sebagai umat beliau, maka ia harus sadar bahwa ia pun dituntut untuk berkhidmat pada Sang Suri Tauladan terbaik sebagai konsekuensi keimanannya.
Kedua, negara harus mewujudkan pendidikan berbasis islam yang bisa menghantarkan para pemuda menjadi insan mulia. Menjadi insan yang bisa menyaring perkara haq dan batil serta mampu membentengi diri dari godaan budaya Barat. Langkah awal yang mungkin bisa ditempuh agar selamat dari jebakan konsumerisme ini adalah dengan belajar bijak dalam memilih dan memilah antara kebutuhan dan keinginan. Kemudian kesampingkan lebih dulu nafsu dan segera susun daftar prioritas, baik kebutuhan maupun aktivitas. Dengan begitu, para pemuda bisa memanfaatkan potensi materi dan waktu untuk hal positif seperti memperluas jaringan dakwah.
Selanjutnya, negara juga harus paham betul bagaimana Islam mengatur masalah muamalah sehingga tidak sembarang melegalkan sesuatu yang bersebrangan. Oleh karenanya, asas manfaat atau keuntungan tidak boleh diunggulkan atas yang lain. Bagaimanapun keadaannya, hukum syariat harus tetap menduduki posisi tertinggi.
Hanya saja, setiap upaya ini harus terhubung satu sama lain dan berdiri diatas satu simpul dasar yaitu Islam dengan negara sebagai pelaksananya.
Baca juga:

0 Comments: