OPINI
Di Balik Mental Ilness yang Melanda Generasi Muda
Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep., Ns (Perawat)
Sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia mengalami gangguan jiwa. Sungguh sebuah data yang mengejutkan dan menyayat hati, mengingat pemuda merupakan aset berharga bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa di masa depan. Sebuah survei kesehatan mental nasional yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada remaja Indonesia di rentang usia 10-15 tahun, menyebutkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia (atau setara dengan 15,5 juta jiwa) memiliki masalah kesehatan mental, sementara 1 dari 20 remaja Indonesia (2,45 juta jiwa) menyandang gangguan mental selama 12 bulan terakhir (ugm.ac.id, 24/10/22).
Sementara itu, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan angka gangguan mental pada remaja di bawah 15 tahun, sebanyak 6,1 % atau setara dengan 12 juta jiwa. Angka ini meningkat drastis di tahun 2022 menjadi 9,8 % atau sebanyak 20 juta jiwa (sehatnegeriku.kemenkes.go.id, 10/10/22).
Masalah kesehatan mental telah menjadi perhatian serius tidak hanya bagi Indonesia, namun juga dunia. Data WHO 2019 menyebutkan bahwa 1 dari 8 orang (atau setara 970 juta jiwa) penduduk dunia mengalami mental disorder. Lebih lanjut, keprihatinan ini menurut kepala BKKBN, Dr. (HC) dr. Hasto Wardoyo,Sp.Og, menjadi ancaman yang serius bagi Indonesia dalam mewujudkan generasi unggul. Menurut beliau ancaman tersebut adalah problem stunting, mental emosional disorder, serta difabilitas dan narkotika (bkkbn.go.id, 12/07/22).
Di antara faktor resiko terjadinya mental illness pada remaja yang ditemukan oleh I-NAMHS, antara lain kasus bulliying, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan. Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menetapkan 3 langkah strategis untuk menanggulangi problem ini, yaitu advokasi, kemitraan dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga langkah ini harus dikolaborasikan secara pentahelix antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, swasta, organisasi profesi, media massa, serta donor agensi, organisasi masa, juga para LSM yang melakukan upaya kesehatan jiwa secara terpadu dan terintegrasi (sehatnegeriku.kemenkes.go.id, 10/10/22).
Jika kita mau jujur menilai akar masalah mental disorder yang kian mewabah pada generasi muda hari ini, maka kita dapat katakan bahwa ini bukan sekadar problem individu. Juga tidak bisa dikatakan jika persoalan ini tidak ada hubungannya dengan tata aturan yang menaungi kehidupan kita sekarang. Sistem Kapitalisme sekuler yang diadopsi negeri ini, secara tidak langsung namun sistematis telah menciptakan mental para pemuda kosong dari nilai-nilai spiritual. Agama hanya sebatas ibadah ritual, tanpa memberikan pengaruh terhadap amalan hidup yang lainnya.
Diperparah dengan orientasi pendidikan yang hanya menjadikan nilai materiil sebagai tolok ukur keberhasilan, serta mengabaikan terbentuknya kepribadian Islam yang kokoh. Dampaknya, output hasil pendidikan sekuler semacam ini, melahirkan generasi-generasi dengan mental rapuh yang tidak siap menghadapi realita kehidupan yang tak selalu mudah. Perkembangan dan kecanggihan teknologi tanpa dibarengi dengan visi hidup yang benar, telah memanjakan generasi muda hari ini, sehingga mengakibatkan minimnya daya juang mereka dalam menghadapi setiap problematika kehidupan.
Sistem Kapitalisme yang menggurita di negeri ini tidak saja gagal dalam mengarahkan visi pendidikan. Namun juga telah menciptakan kemiskinan sistemik akibat penerapan sistem ekonomi yang rusak. Belum lagi gempuran gaya hidup hedonis yang melingkupi keseharian remaja. Ketidakseimbangan antara daya beli akibat kemiskinan dengan tuntutan gaya hidup oleh lingkungan mereka, tentu menjadi tekanan mental tersendiri. Ditambah lagi dengan kesibukan para orang tua yang berjuang demi ekonomi keluarga, menjadikan pengasuhan dan perhatian kepada anak pun minim dari kata layak.
Sekularisme yang mengizinkan standar manusia sebagai penentu baik buruk, telah melahirkan bibit-bibit liberalisme. Menjadikan pergaulan anak-anak remaja hari ini lekat dengan segala bentuk kemaksiatan, bullying, free sex, pornografi-pornoaksi, dll. Semua ter dengan lemahnya mental individu remaja akibat kesalahan orientasi pendidikan, abainya peran keluarga karena jerat kemiskinan, kesalahan-kesalahan regulasi yang harusnya menjadi kewenangan negara, telah menggempur dan melemahkan mental pemuda dari segala penjuru.
Maka hari ini, solusi semacam advokasi maupun pemberdayaan masyarakat, tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan mental disorder pada remaja. Karena akar masalah yang sesungguhnya lebih kompleks dan fundamental dari itu.
Hanya sistem Islam yang mampu secara tuntas menjawab persoalan ini. Dari sisi pendidikan, orientasi pendidikan Islam tidak hanya fokus untuk mencetak generasi unggul dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi juga menanamkan kepribadian Islam tangguh yang berlandaskan keimanan dan ketakwaan yang paripurna, serta memiliki tsaqofah Islam yang mumpuni. Sehingga mereka mampu menghadapi kesulitan hidup, ujian, musibah, dll dengan sikap dan solusi yang tepat sesuai aturan syariat. Mereka akan mampu menempatkan posisi diri dan perannya.
Bagi para orang tua, output pendidikan dalam sistem Islam, akan mencetak mereka untuk siap mengemban tugas pengasuhan. Sehingga hal ini menjadi benteng pertama yang akan mencegah terjadinya mental disorder pada generasi keturunannya.
Pada aspek ekonomi, Islam memiliki konsep kepemilikan yang luar biasa. Kemiskinan bukanlah hal yang sulit untuk diatasi. Negara dalam sistem Islam memiliki sumber pemasukan APBN dari beragam jenis pemasukan dan dalam jumlah yang besar. Sehingga bukan hal yang mustahil, negara akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya, baik kebutuhan dasar personal maupun kebutuhan komunal. Untuk menjamin kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, negara akan menjaminnya melalui mekanisme tidak langsung. Yakni dengan mewajibkan para laki-laki yang memiliki tanggung jawab nafkah untuk bekerja, tentu didukung oleh negara dengan ketersediaan lapangan kerja yang luas. Bagi yang ingin memulai bisnis, negara akan memberikan suntikan modal non ribawi. Melalui mekanisme ini, maka Insya Allah akan muncul ketenangan di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan untuk kebutuhan komunal seperti pendidikan, keamanan, kesehatan negara akan menjaminnya secara langsung. Seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses kebutuhan-kebutuhan ini secara murah bahkan gratis. Persebaran dan kualitasnya akan sama di berbagai wilayah. Negara melalui sistem pendidikannya juga akan mencetak tenaga-tenaga medis dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka dengan begini, tidak ada lagi alasan kurangnya tenaga kesehatan yang mumpuni untuk memberikan pengobatan mental pada masyarakat yang membutuhkan.
Demikianlah gambaran kesempurnaan solusi Islam di dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan manusia, termasuk di dalamnya menjawab persoalan mental disorder pada generasi muda. Wallahu ‘alam bishawab. [ ]
0 Comments: