Headlines
Loading...
Oleh. Umi Hafizha

Perbincangan soal tarif Kereta Rel Listrik (KRL) ramai di media sosial, usai Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, menyatakan tahun 2023 tarif kereta listrik Jabodetabek akan mengalami penyesuaian  bagi masyarakat berpenghasilan tinggi. Yang berdasi, yang kemapuan finansialnya tinggi mesti bayarnya lain, ujar Menhub Budi Karya dalam jumpa pers akhir tahun 2022 di Jakarta. 

Beberapa warganet juga mengkritik rencana ini, seperti yang disampaikan @lyndaibrahim, saya sepakat pajakin orang kaya, tapi caranya lewat pajak kendaraan pribadi karena mereka tidak pakai transportasi publik. KRL itu transportasi publik, orang kaya naik ga usah di pinalti lagi. 

Menurut pengamat transportasi, kebijakan ini dinilai blunder karena tidak memahami konsep transportasi publik. Direktur Eksekutif Institut Transportasi, Deddy Herlambang mengatakan, bahwa di negara manapun yang namanya transportasi publik tarifnya sama dan murah dengan harapan bisa menarik minat orang-orang mau berpindah dari kendaraan pribadi, sehingga bisa mengurangi kemacetan. 

Namun kritikan itu kemudian disanggah oleh  juru bicara Kemenhub Adita Irawati. Adita mengklaim belum ada rencana kenaikan tarif KRL dalam waktu dekat. Akan tetapi mereka sedang melakukan kajian tentang skema subsidi sehingga tepat sasaran (BBC.Com, 29/12/22).

Wajar jika masyarakat merespon negatif perbedaan tarif KRL ini. pada umumnya transportasi umum diukur berdasarkan jarak atau tarif bukan pada penghasilan. Akan tetapi kebijakan seperti ini wajar dibuat ketika sebuah negara menerapkan sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme adalah sistem yang hanya berorientasi pada materi semata, sehingga penguasa akan mengatur negaranya seperti perusahaan. 

Setiap kebijakan akan di ukur berdasarkan untung dan rugi. Masyarakat harus membayar jika ingin menikmati fasilitas publik. Padahal disisi lain rakyat sudah dibebani dengan berbagai jenis pajak. Maka bertambah sengsaralah  keuangan masyarakat karena diperas oleh penguasa kapitalisme hingga tidak tersisa. 

Sangat berbeda dengan transportasi yang dibangun oleh sistem Islam. Negara yang menerapkan sistem ini adalah negara pengurus, sehingga para penguasa akan optimal dalam menyiapkan kebutuhan warga negaranya. Rasulullah Saw. bersabda, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR.Ibn Majah dan Abi Nu'aim). 

Dalam Islam transportasi akan di bangun untuk membantu warga negara agar tidak menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, menuntut ilmu atau bekerja. Transportasi dalam Islam akan di bangun seefisien dan seefektif mungkin yang disesuaikan per wilayah. Karena bisa jadi ada daerah yang memang mengharuskan penduduknya memiliki kendaraan pribadi untuk mengakses berbagai tempat. 

Namun ada juga suatu daerah yang aktifitas sosial ekonominya dapat ditempuh dengan jalan kaki atau dapat ditempuh dengan kendaraan umum. Semisal di perkotaan dengan menggunakan KRL. Karena itu KRL akan bersifat sebagai sarana umum yang wajib disediakan oleh negara. Sebab termasuk dalam infrastruktur milik negara. 

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam buku Sistem Keuangan Negara Khilafah menjelaskan infrastruktur milik negara disebut dengan marafiq. Sedangkan sarana umum atau marafiq ammah adalah sarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, baik di pedesaan maupun di propinsi yang dibuat oleh negara. 

Oleh karena itu, negara akan bertanggungjawab secara mutlak untuk membangun fasilitas transportasi umum. Terlebih pada dasarnya pembangunan transportasi memerlukan biaya  besar dan tehnologi yang canggih. Negara akan mengalokasikan dana pos kepemilikan negara Baitul Mall untuk membangun infrastruktur tersebut. Dana pos ini berasal dari harta fa'i, Kharaj, ghanimah, ghulul dan lain sebagainya. Jumlah pemasukan dari pos ini sangat besar, sehingga negara mampu menggelola transportasi umum mulai dari pembangunan hingga operasionalnya secara mandiri. 

Karena transportasi umum tersebut infrastruktur milik negara, maka negara boleh mengambil pendapatan dengan menentukan tarif tertentu atas pelayanannya termasuk mengambil keuntungan. Pendapatan dan keuntungannya pun menjadi milik negara dan menjadi salah satu pemasukan Baitul Mall dan disimpan di pos fa'i dan kharaj. Dana itu digunakan sesuai peruntukannya, yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin termasuk gaji pegawai dan tentara serta santunan untuk orang-orang yang membutuhkan. 

Karena konsep pembangunan  transportasi umum dalam negara Islam adalah untuk melayani masyarakat dan di kelola negara bukan swasta.  Maka tidak akan terjadi monopoli komersialisasi transportasi, sehingga semua lapisan masyarakat memanfaatkannya dengan harga terjangkau bahkan gratis. 

Namun demikian, negara tidak akan melarang jika ada individu swasta yang membangun transportasi umum dan mengambil keuangan dari pelayanan yang diberikan. Negara akan mendorong mereka untuk membantu negara melayani kebutuhan masyarakat, sehingga mereka memiliki alternatif menikmati layanan negara dengan harga terjangkau bahkan gratis atau transportasi berbayar milik swasta. 

Salah satu keberhasilan negara  Khilafah dalam mengadakan layanan transportasi umum pada proyek Hijaz Railway yang dibangun pada masa Sultan Abdul  Hamid II pemimpin khilafah Utsmaniyah. Beliau menyediakan kereta ini  untuk transportasi masyarakat terutama untuk jamaah haji. 

Sebelum masa khilafah Utsmaniyah dan Abbasiyah  juga dibangun banyak pondok  gratis yang dilengkapi dengan  persediaan air, makanan dan tempat tinggal di sepanjang rute para pelancong  dari Irak dan negeri-negeri Syam. Fasilitas ini disediakan oleh khilafah untuk para musafir yang sedang dalam perjalan. 

Seperti inilah negara menyediakan pelayanan transportasi untuk warga negaranya, sebuah fasilitas yang tidak akan pernah bisa di wujudkan dalam sistem kapitalisme saat ini. 
Wallahu 'alam bishawab.

Baca juga:

0 Comments: