Headlines
Loading...
Hipokrit PBB atas Nasib Pengungsi Rohingya di Aceh

Hipokrit PBB atas Nasib Pengungsi Rohingya di Aceh

Oleh. Setyo Rini
(Aktivis Muslimah Gempol)

Kedinginan, kelaparan, dihantam ombak, dan badai di lautan luas, tanpa arah tujuan pasti, adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh pengungsi Rohingya. Mereka meninggalkan kampung halaman tercinta untuk mencari kedamaian, keamanan, yang tak kunjung mereka dapatkan dari pemerintah Myanmar. Hak hidup sebagai manusia telah lama hilang bahkan penderitaan pun tak kunjung berhenti senantiasa menghampiri mereka. 

Terdamparnya mereka di Aceh dalam dua hari berturut-turut yaitu pada Ahad, (25/12/2022) di pesisir Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar dengan jumlah 57 orang pengungsi. Dan pada hari Senin, (26/12/2022) ada sekitar 174 orang pengungsi sampai di pesisir Desa Ujung Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.

Merupakan gambaran betapa menyedihkannya hidup mereka, hidup dalam tempat penampungan sementara dan tinggal di negeri orang tanpa kepastian adalah suatu hal yang menyesakkan dada.

PBB sebagai polisi dunia menutup mata terhadap nasib mereka hingga saat ini. Melalui perwakilan UNHCR di Indonesia, PBB menekankan kepada pemerintah Indonesia untuk segera memberikan pertolongan sebagai bentuk sikap menghormati hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup dan diperlakukan layaknya manusia.

Meskipun Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban menerima pengungsi yang masuk karena sampai saat ini belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protokol Relating to Status of Refugees (Protokol 1967).  Seharusnya PBB sebagai lembaga dunia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan juga perdamaian lebih mengambil peran penting untuk menyelesaikan pengungsi Rohingya. 

Bukan sekadar mendorong negara lainnya untuk membantu. Sesungguhnya lembaga dunia ini bisa memaksa dan menekan pemerintah asal pengungsi Rohingya yaitu Myanmar untuk menyelesaikan konflik dalam negeri yang membuat warga muslim Rohingya terusir dari negerinya sendiri.

Solusi pragmatis yang diberikan untuk menampung pengungsi Rohingya selain tidak akan menyelesaikan secara tuntas masalah pengungsi Rohingya dan perubahan nasib mereka, sejatinya PBB sedang menunjukan sikap hipokritnya kepada dunia.

Lembaga dunia yang tujuan berdirinya adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia serta memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antarbangsa melalui penghormatan hak asasi manusia nyatanya tidak berlaku untuk kaum muslimin.

Kaum muslimin seakan tak mempunyai hak hidup, hak sejahtera, hak hidup nyaman dan aman sekalipun di negeri kelahirannya sendiri. Bukti lain yang semisalnya adalah penjajahan Israel terhadap penduduk Palestina, atau nasib kaum muslimin yang minoritas di sebuah negara sering kali mendapatkan diskriminasi dalam menjalankan ajarannya.

Kehadiran PBB tak ada artinya bagi siapapun yang menginginkan keadilan dan keamanan. Bahkan hanya sebagai topeng untuk menutupi  kerusakan akibat keserakahan sekaligus kepanjangan tangan negara-negara penjajah.

Oleh karena itu, yang dibutuhkan bagi pengungsi Rohingya dan kaum muslimin di seluruh dunia adalah kehadiran seorang pemimpin yang taat dan takutnya hanya kepada Allah. Pemimpin seperti ini akan mampu melindungi dari segala macam diskriminasi, penganiayaan, penindasan, dan mengembalikan kemuliaan dan martabatnya sebagai manusia.

Ikatan akidah dan ukhuwah islamiah sebagai pemersatu di antara mereka. Hal inilah yang akan menghilangkan sekat bangsa, suku, ras ataupun golongan dan hal ini hanya akan terwujud ketika ada negara Kh!l4f4h. Keberadaan Kh!l4f4h akan mampu membebaskan semua manusia dari penjajahan dan ketertindasan. Berganti dengan keadilan dan keamanan karena Islam datang untuk membebaskan dari segala bentuk kezaliman dengan menjalankan aturan dari Sang Maha Adil. Wallahu a'lam bishowab.

Baca juga:

0 Comments: