OPINI
Indonesia : Negara Agraris Tapi Miris
Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns
Di penghujung tahun 2022, tampaknya masyarakat Indonesia harus bersiap diri menghadapi situasi perekomian yang kian sulit dan penuh ketidakpastian di tahun-tahun mendatang. Pasalnya, bulan Desember 2022 lalu, Bank Dunia (World Bank) telah resmi merilis laporannya yang bertajuk “Indonesia Economic Prospect”. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada peringat teratas negara dengan harga beras termahal se-kawasan Asia Tenggara. (bisnis.tempo.co, 26/12/2022)
Laporan ini menuai penolakan dari berbagai pihak, termasuk Badan Pangan Nasional, Kementerian Peradangan dan Kementerian Pertanian. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mempertanyakan dasar perhitungan dan kapan pengambilan data dilakukan. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia juga menyebutkan penyebab tingginya harga beras di Indonesia. Di antaranya:
Pertama, minimnya perlindungan terhadap produsen (dalam hal ini petani).
Kedua, adanya hambatan non tarif yang meliputi kebijakan perdagangan berupa persyaratan perizinan impor, pembatasan masuk pelabuhan dan monopoli impor.
Ketiga, tingginya biaya produksi yang diakibatkan oleh dua hal, yaitu kondisi politik internasional dan permasalahan dalam negeri seperti kenaikan biaya transportasi dan komunikasi (14,9 persen), serta biaya mahal dan kelangkaan pupuk, pestisida, obat-obatan dan pakan (8,4 persen).
Padahal jamak diketahui, Indonesia merupakan negara agraris di mana wilayah dan mayoritas penduduknya bergelut di sektor pertanian. Sebagaimana dilansir dari cnbcindonesia.com (16/12/2022), secara global, Indonesia menempati peringkat ketiga negara penghasil beras terbesar di dunia. Alih-alih menjadi negara berswasembada pangan, bayang-bayang resesi justru semakin tampak di depan mata. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi pada September sebesar 1,17 persen, tertinggi sejak Desember 2014 dengan komoditas utama penyumbang inflasi tersebut adalah harga bahan bakar minyak (BBM), beras dan angkutan dalam kota.
Fakta-fakta ini menunjukkan ketidakseriusan penguasa dalam memberikan perlindungan dan ketahanan pangan bagi rakyatnya. Ideologi kapitalisme yang diadopsi oleh negeri ini telah memandulkan fungsi negara sebagai pengurus urusan rakyatnya.
Penguasa hakiki dalam sistem kapitalisme adalah para korporat pemilik modal yang telah berjasa mengantarkan para pemangku kebijakan menuju tampuk kekuasaannya. Maka, melenggangnya para mafia yang memonopoli pasar hingga peredaran beras yang tidak ber-SNI ke tengah masyarakat adalah konsekuensi logis di alam kapitalisme.
Lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat. Keberadaan para mafia yang seolah kebal dari sanksi, menjadikan mereka bebas untuk mengendalikan harga bahan pangan demi meraup pundi-pundi keuntungan. Begitupun dengan kelonggaran aturan SNI yang mengakibatkan peredaran beras-beras di pasar tradisional dan modern menjadi 'lost control' dari sisi kualitas dan keamanannya bagi rakyat selaku konsumen. Kelemahan kontrol negara ini menuntut rakyat untuk hidup seperti kehidupan di alam rimba. Mereka harus mandiri dalam menjaga keberlangsungan hidupnya dengan menyeleksi bahan-bahan pangan yang aman bagi kesehatan tubuh, karena negara telah berlepas tangan.
Kondisi ini tidak akan terjadi jika negara menerapkan Islam sebagai ideologi untuk mengatur seluruh urusan rakyat. Dalam Islam, penguasa (Khalifah) adalah pihak yang paling bertanggung jawab di hadapan Allah terkait pengaturan urusan rakyat yang dipimpinnya. Termasuk di dalam menjaga peredaran bahan-bahan pangan di tengah masyarakat. Negara wajib memastikan seluruh bahan makanan yang dikonsumsi rakyat halal dan thayib. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS.Al-Maidah : 88,
“Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Syariat ini tidak hanya diwajibkan Allah kepada individu dan masyarakat, karena menciptakan mekanisme peredaran bahan pangan yang halal dan thayib membutuhkan peran negara. Untuk mewujudkan hal ini, negara Khil4f4h akan menetapkan beberapa regulasi, di antaranya :
Pertama, Khil4f4h akan mengontrol pasar agar tidak ada kecurangan dalam praktik muamalah. Mekanisme ini akan terwujud melalui keberadaan 'qadhi hisbah' yang melakukan patroli di pasar-pasar daulah. Dengan demikian, tidak ada praktik kecurangan seperti penimbunan barang, spekulasi, monopoli barang, peredaran barang-barang haram atau tidak thayib, dan lain-lain.
Kedua, Khil4f4h akan mengeluarkan standar mutu kualitas bahan makanan pokok yang layak konsumsi. Untuk mewujudkan hal ini, negara akan menciptakan regulasi yang memudahkan para produsen agar bisa memunuhi standar mutu pangan tersebut.
Ketiga, ketika ada pelanggaran, maka Khil4f4h akan menetapkan sanksi tegas sesuai ketetapan syariat. Sanksi ini disebut sanksi 'ta’zir', yaitu sanksi yang ditetapkan melalui ijtihad Khalifah. Selain itu, masyarakat juga difasilitasi untuk melakukan 'syakwa' (pengaduan) atas kelalaian penguasa yang mengizinkan peredaran produk-produk haram dan tidak thayib melalui mahkamah madzalim.
Maka, tidak ada jalan lain untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki negeri agraris ini, selain dengan mengambil ideologi Islam dalam mengatur seluruh urusan rakyatnya. Langkah ini dilakukan sebagai sarana untuk meraih keberkahan dan kesejahteraan hidup.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: