Headlines
Loading...
Oleh. Izza

Anak sebagai pelaku kriminalitas semakin marak. Betapa tidak, tiga orang bocah berusia 8 tahun melecehkan kawan mainnya sendiri yang masih duduk di bangku TK. Salah seorang diantaranya bahkan melakukan pelecehan tersebut sebanyak 5 kali sepanjang tahun 2022.

Kejadian di Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto ini disesalkan banyak pihak. Salah satunya adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA). Untuk itu melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Mojokerto ikut terjun memberikan layanan pendampingan psikologis pada korban. 

Namun jika mengingat kasus kekerasan pada anak, ternyata masif terjadi sepanjang tahun 2022. Dari 25.321 kasus jenis kejahatan pada Perempuan dan Anak (PPA), sebanyak 11.012 perkara diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap anak. Dan dari berbagai jenis kekerasan yang dialami, meliputi eksploitasi, trafficking, penelantaran, fisik maupun psikis. Kasus kekerasan seksual masih menempati tempat tertinggi.

Yang lebih miris adalah lingkungan pendidikan tempat sang anak menimba ilmu dan akhlak ternyata turut tercemar kasus kekerasan. Begitu pula ranah privat yakni rumah malah menjadi tempat terbanyak adanya kasus kejadian. Tak ada lagi tempat yang benar-benar aman dari tindak kekerasan. Orang yang dihormati maupun orang terdekat mudah saja melakukan. Yang dianggap tak akan bisa melakukan nyatanya juga melakukan tindak kekerasan. Hal ini tak lain membuktikan bahwa sistem dan aturan masyarakat memang telah rusak.

Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah maupun global dalam menangani kasus serupa. Seperti halnya Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang disahkan pada tahun 1989 oleh PBB. Kemudian ada sistem pembangunan berbasis hak anak melalui Kota Layak Anak (KLA). Juga Kemen PPA yang bercita-cita mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 (IdoLA). Dengan cara meningkatkan pengasuhan dalam keluarga, pencegahan eksploitasi anak dan menurunkan angka kekerasan terhadap anak.

Bukan tak membuahkan hasil, namun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masih mencatat selama 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kenakalan remaja sering dikaitkan dengan status dan ekonomi keluarga. Robert Merton mengaitkan status sosial ekonomi keluarga dengan perilaku menyimpang. Ternyata keluarga dengan pendapatan rendah menempatkan pada keadaan frustasi yang mendorong pada kenakalan remaja.

Akan tetapi jika melihat kebijakan hari ini proyeksi keberhasilan dalam mewujudkan IdoLA 2030 menjadi sanksi. Kebijakan yang ditekan tak berkorelasi dengan perlindungan anak. Betapa hari ini banyak keluarga yang semakin terperosok dalam jurang kemiskinan. Meskipun jumlah penduduk miskin menurun prosentasenya pada tahun 2022, namun kenaikan bahan bakar dan banyaknya PHK justru menyeret ke jurang yang lebih dalam.

Sejalan dengan itu penelitian Torrente dan Vazsyonyi (2008) menunjukkan bahwa pengasuhan yang dilakukan oleh ibu memiliki dampak yang besar. Ketika ibu tidak hadir memberikan pengasuhan yang tepat, tidak memberikan perhatian yang cukup pada kegiatan anak baik di sekolah maupun dengan temanya dapat memicu terbentuknya perilaku kenakalan dan tindak kriminal pada anak. Namun bagaimana ibu memenuhi perannya, sedang kita lihat ia dituntut pula untuk menafkahi keluarga?

Diperparah dengan kondisi lingkungan yang kian sekuler menempatkan agama hanya di rumah peribadatan saja. Paham sekuler-liberal yang menuhankan kebebasan membuat nilai-nilai moral di masyarakat semakin merosot. Yang demikian terjadi karena paham sekuler liberal membuat penganutnya mudah memberikan maklum dengan dalih kebebasan berperilaku atau ekspresi. Menurut pandangan sekuler pula, aturan agama tidak boleh mendominasi manusia.

Oleh karenanya, hanya dengan mewujudkan tiga pilar yang akan mampu menyelamatkan anak serta menjauhkan mereka dari terlibat segala bentuk kejahatan. Pilar pertama yakni dengan ketakwaan keluarga. Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan dan pendidikan anak kepada ayah ibu hingga tamyiz. Dengan ketakwaan keluarga, maka akan mendorong untuk senantiasa terikat dengan syariat. Syariat diterapkan dalam keluarga untuk mewujudkan anak-anak yang memiliki kepribadian Islam yang tangguh. Menjadikan kecintaan kepada Allah dan rasulNya. Sehingga syariat dan rasa takwanya membentengi setiap individu dari melakukan kemaksiatan.

Adapun yang kedua tak lepas dari peran dan kontrol masyarakat. Untuk ini, Islam juga telah mensyariatkan adanya amar makruf nahi munkar. Dengan masyarakat turut memerintahkan kepada kebaikan dan menjegah kejahatan akan meminimalisir tindak kejahatan. Tak hanya itu, yang demikian juga akan membuat masyarakat lebih peduli bukan acuh dengan kondisi sekitar.

Yang tidak kalah penting adalah pilar ketiga yaitu aturan dari negara. Negara yang berlandaskan ketakwaan kepada Sang Pencipta tentu tak akan membiarkan rakyatnya berbuat dosa. Oleh karenanya, negara akan memilih aturan Ilahi dan menerapkannya di segala lini. Islam yang diterapkan oleh negara akan menghilangkan segala hal yang dapat melemahkan dan merusak kepribadian. Salah satunya termasuk pornografi dan media sosial. Media sosial melalui Departemen Penerangan akan diatur sedemikian rupa dengan batasan batasan yang diperbolehkan syarak. Tidak seperti hari ini dimana media massa maupun media sosial menghancurkan nilai-nilai dengan eksploitasi dan tontonan yang mengarah pada dosa.

Tak cukup demikian, Islam pun mewajibkan negara menjamin setiap warganya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, maka akan terjauhkan dari tindak kejahatan. Selain itu, negara menjamin adanya pendidikan berkualitas yang dapat diakses oleh seluruh warganya.

Demikian pula pemberlakuan sanksi bagi anak pelaku kejahatan. Jika anak tersebut belum baligh dan tindak kejahatan tersebut terbukti karena kelalaian walinya, maka wali tersebut yang akan dijatuhi sanksi. Dan jika ia sudah terbukti baligh atau dewasa menurut syariat maka ia termasuk mukalaf yang dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hari ini telah gagal menyelamatkan dan melindungi anak dari perbuatan maksiat. Sudah seharusnya kasus ini cukup menjadi pembelajaran bahwa sekulerisme layak untuk ditinggalkan. Seyogyanya semua pihak bergandengan dan memilih sistem alternatif yang layak untuk diterapkan, yakni sistem Islam. Perubahan yang mendasar dan menyeluruh harus terjadi. Jika tidak, kejahatan akan terus berulang karena manusia terus mengulangi kesalahan yang sama. Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: