
OPINI
Memalak Rakyat Lewat Pajak?
Oleh. Yulweri Vovi Safitria
Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan tarif baru pajak penghasilan (PPH). Masyarakat yang semula tidak terkena pajak penghasilan adalah karyawan dengan gaji sebesar Rp 4,5 juta per bulannya, maka dalam regulasi baru, batas penghasilan dinaikkan menjadi Rp 5 juta per bulan, artinya masyarakat dengan penghasilan Rp 5 juta per bulan akan terkena pajak penghasilan sebanyak 5%. (tempo.co.id, 1/1/2023)
Tarif pajak yang baru memuat 5 lapisan penghasilan kena pajak (PKP) per tahun. Penghasilan hingga Rp 60 juta dikenai tarif PPh 5%, Rp 60 juta-Rp 250 juta dikenai 15%, Rp 250 juta-Rp 500 dikenai 25%, Rp 500 juta-Rp 5 miliar dikenai 25%, dan penghasilan di atas Rp 5 miliar dikenai 35%.
Kado Pahit
Kebijakan penetapan pajak pada penghasilan 5 juta per bulan, ibarat kado pahit bagi masyarakat. Pasalnya kebijakan tersebut semakin membebani rakyat di tengah himpitan ekonomi yang kian sulit, serta harga-harga yang melangit.
Padahal dengan gaji 5 juta saja, masyarakat sudah kesulitan memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka secara layak. Harga bahan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, semua terbilang mahal dan tidak sebanding dengan gaji yang didapatkan setiap bulan.
Wajar, jika kebijakan ini membuat masyarakat resah, seolah masyarakat bawah sengaja dibuat susah dengan berbagai kebijakan yang tidak membela rakyat, dan seolah dipaksa untuk mematuhi segala kebijakan yang dibuat pemerintah.
Pajak, oleh Rakyat untuk Rakyat?
Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani beralasan bahwa skema pajak tersebut sebagai upaya pemerintah untuk mewujudkan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu, uang yang didapat dari pungutan pajak juga dikembalikan ke masyarakat melalui berbagai program pemerintah, mulai dari pembangunan jalan raya, kereita api, internet, pesawat tempur, kapal selam, gaji prajurit dan polisi, hingga guru dan dokter. Dan berbagai bantuan sosial, seperti beasiswa dan lain sebagainya.
Sayangnya, semua bangunan yang diklaim pemerintah dari pajak atau disubsidi pajak, sedikitpun tidak dirasakan kemanfaatannya oleh masyarakat. Pasalnya, semua fasilitas tersebut tetap saja mahal. Sebut saja tarif dasar listrik yang katanya sudah disubsidi, tetap saja melangit.
Pembangunan rumah sakit, ataupun fasilitas pendidikan, semuanya berbiaya mahal. Rakyat harus membayar iuran BPJS untuk bisa mengakses layanan kesehatan. Pun, dengan pendidikan, rakyat harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Begitu pula dengan pembangunan jalan tol, tarifnya begitu fantastis, keberadaannya pun hanya dinikmati oleh rakyat tertentu.
Pajak sebagai Sumber Pendapatan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang dan sebagainya.
Jargon untuk rakyat untuk rakyat menjadi slogan pajak, yang seolah menghipnotis rakyat untuk membayar pajak. Begitu pula dengan istilah, ‘orang bijak taat pajak’, seolah-olah rakyat yang tidak membayar pajak merupakan warga negara yang tidak bijak.
Ya, dalam sistem demokrasi, pajak merupakan sumber utama pendapatan negara. Liberalisasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, menjadikan berbagai komoditi tidak lagi dikelola dan dimiliki oleh negara melainkan oleh swasta. Alhasil, negara tidak memiliki pemasukan kecuali dengan cara pungutan pajak yang dibebankan terhadap rakyat.
Maka tidak heran bila pajak diduga sebagai akal-akalan negara untuk memalak rakyat. Saat harga-harga melambung tinggi akibat swastanisasi, maka kemiskinan pun tidak mungkin bisa dihindari, dan pada saat yang sama pula, rakyat justru dibebani oleh pajak. Begitu pula saat keuangan negara defisit, maka regulasi pajak pun diotak-atik agar pendapatan dari pajak terus naik. Inilah potret demokrasi, meskipun rakyatnya sengsara, pajak tetap menjadi kewajiban rakyatnya.
Pajak dalam Islam
Dalam pemerintah Islam, pajak bukanlah sumber utama pendapatan negara. Dalam tata kelola Islam, pajak disebut dharibah, namun implentasi dharibah jauh berbeda dengan pajak.
Dharibah hanya ditujukan kepada kaum muslim yang kaya. Itupun bersifat sementara, saat kas negara kosong dan saat ada kebutuhan mendesak, dan jika sudah selesai masalah tersebut dan kas negara terisi kembali, maka pungutan dharibah pun berakhir.
Namun hal itu jarang terjadi, karena negara memiliki sumber pemasukan yang melimpah, dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan sedekah. Tata kelola sumber daya alam sepenuhnya dikuasai oleh negara bukan swasta. Sebab dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh swasta.
Khatimah
Berharap bebas pajak dari sistem demokrasi hanyalah sebuah ilusi. Apalagi berharap kesejahteraan dengan mengandalkan pajak.
Oleh karena itu, kaum muslimin harus menyadari bahwa hanya dalam tata kelola berdasarkan sistem Islam yang mampu membebaskan rakyat dari pajak, sejahtera tanpa dibebani tagihan pajak, sejahtera karena negara memenuhi segala kebutuhan rakyatnya. Menjadikan dirinya sebagai pelayan rakyat, bukan sebaliknya.
Wallahu ‘alam bisshawab. [ ]
Baca juga:

0 Comments: