
OPINI
Naiknya Biaya Haji, Kapitalisasi Ibadah?
Oleh. Puji Yuli
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Banyaknya kaum muslimin yang ingin sekali menunaikan ibadah haji di tanah suci Mekkah dan Madinah untuk menjalankan kewajiban. Sebagaimana yang diketahui, bahwa ibadah haji itu diwajibkan bagi umat muslim yang mampu secara fisik maupun mampu secara finansial. Jutaan kaum muslimin di seluruh dunia ingin melakukan sholat di Kakbah dan di masjid Nabawi serta melaksanakan ibadah qurban dan ibadah haji. Termasuk umat muslim di Indonesia.
Tetapi, masa tunggu untuk pelaksanaan ibadah haji di negeri ini begitu lama. Masa tunggu ibadah haji yang sudah mendapatkan porsi haji itu ada yang dua puluh lima tahun. Padahal kita tidak bisa prediksi usia manusia, apabila kita tahun ini dapat porsi haji maka baru bisa realisasi ibadah haji dua puluh lima tahun mendatang. Bahkan ada yang sudah melunasi biaya haji tetapi tahun ini belum bisa berangkat haji. Ini terjadi kalau biaya haji tahun ini naik.
Sebagaimana, pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji jadi sebesar Rp.69 juta. Jumlah ini adalah 70 persen dari usulan rata rata Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang mencapai Rp.98.893.909.11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp. 29,7 juta. Yaqut beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230120063452-20-90283)
Kenaikan biaya haji ini tentu akan menimbulkan pertanyaan terkait komitmen negara untuk memberikan kemudahan ibadah bagi rakyatnya yang mayoritas muslim. Apalagi saat ini, rakyat baru saja bangkit ekonominya pasca covid 19. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyatnya agar lebih mudah untuk melakukan ibadah haji di tanah suci Makkah dan Madinah. Sedangkan pada saat yang sama Arab Saudi justru menurunkan biaya asuransi umrah dan haji tahun 2023 ini sebesar 73%.
Dalam sistem kapitalisme, ibadah haji bisa dijadikan sarana bisnis untuk meraih keuntungan. Apalagi dengan dasar sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan maka ibadah haji pun bisa dijadikan sarana bisnis untuk mendapatkan keuntungan materi. Hal ini dilihat dari banyaknya minat kaum muslimin negeri ini yang berusaha ingin berangkat ibadah haji menunaikan kewajiban rukun Islam. Sehingga, negara juga ingin mendapatkan bisnis dari penyelenggaraan ibadah haji untuk pemasukan negara.
Padahal, ibadah haji itu salah satu rukun Islam dan sarana untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah. Tetapi, tahun ini akan mengalami kenaikan yang itu tentu menimbulkan pertanyaan dari calon jamaah haji. Kenaikan biaya ini justru menimbulkan dugaan terkait kapitalisasi ibadah. Dimana negara ini ingin mencari keuntungan dari dana haji rakyat. Ini terjadi karena negeri kita saat ini berada dalam sistem sekularisme dan kapitalisme. Sehingga negeri ini kurang menjadikan Islam dalam pengaturan terkait dana haji.
Kalau kita mau melihat bagaimana khalifah Umar Bin Khattab juga Umar Bin Abdul Aziz yang mempermudah rakyatnya agar bisa melakukan ibadah haji agar bisa menyempurnakan rukun Islam. Sebagaimana dalam ajaran Islam kaffah, bahwa seharusnya negara mempermudah rakyat yang mampu secara fisik dan finansial untuk bisa melakukan ibadah haji. Dengan menggunakan Islam kaffah itu negara seharusnya memberikan fasilitas terbaik dalam menyambut para tamu Allah SWT yang akan menjalankan ibadah haji di tanah suci untuk merealisasikan rukun Islam demi meraih ridho Allah SWT.
Baca juga:

0 Comments: