
OPINI
Penghapusan PPKM, Demi Kebaikan Rakyat?
Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns (Perawat)
Terhitung sejak Jumat, 30 Desember 2022, pemerintah Indonesia secara resmi memutuskan untuk mencabut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang tertuang dalam Inmendagri Nomor 50 dan 51 tahun 2022. Hal ini disampaikan oleh presiden Jokowi dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta. Alasannya karena kasus Covid-19 telah terkendali, yang diukur berdasarkan jumlah kasus harian kurang dari 1000 kasus/hari. Serta tidak ada lonjakan kasus yang signifikan dalam 10 bulan terakhir. Akan tetapi, pemerintah menghimbau agar masyarakat tetap waspada dan mematuhi protokol kesehatan untuk mengenakan masker, karena secara global pandemi belum berakhir. (cnnindonesia.com, 31/12/22)
Keputusan ini sontak mendapat tanggapan dari Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman. Beliau menilai kebijakan ini kurang tepat. Menurutnya pemerintah lebih mempertimbangkan faktor politik dan ekonomi. Jika pemerintah beralasan angka Covid-19 di Indonesia telah terkendali, menurut beliau hal itu tidak lepas dari minimnya angka pengetesan. Beliau juga mengingatkan bahwa sejumlah negara seperti Cina, baru-baru ini telah mengalami lonjakan kasus Covid-19. Varian baru terus bermutasi dan mampu menembus antibodi tubuh. Bukan tidak mungkin hal serupa menimpa Indonesia, mengingat sebelumnya Indonesia telah mengkonfirmasi masuknya subvarian corona BF.7, pungkasnya. (kompas.com, 30/12/22)
Disadari atau tidak, himbauan pemerintah agar masyarakat tetap waspada dan mematuhi protokol kesehatan, menunjukkan hal tersebut sarat akan upaya untuk menggerakkan ekonomi. Sekaligus berlepas tangannya pemerintah atas nasib dan keselamatan rakyatnya. Ide dasar kapitalisme yang menuhankan materi sebagai tolok ukur perbuatan, telah menjadikan kepentingan ekonomi diletakkan diatas kepentingan nyawa manusia dalam menyelesaikan pandemi.
Segala kebijakan yang diambil, tidak jauh dari kepentingan ekonomi yang kental dengan nuansa campur tangan para korporat pemilik modal. Tidak heran jika vaksin menjadi salah satu komoditas bisnis bagi negara-negara maju. Sementara negara miskin dan berkembang yang tidak mampu memproduksi vaksin, harus sukarela untuk dijadikan sebagai pangsa pasar bisnis tersebut. Akibatnya, negara yang tidak mampu membeli vaksin akan sulit untuk bisa keluar dari rantai pandemi. Padahal, kondisi yang demikian justru memicu virus untuk terus berkembang, bermutasi dan menyebar.
Belum lagi, ketika penanganan pandemi yang membutuhkan dana besar ini tidak diiringi dengan ketahanan ekonomi negara. Karena dalam kapitalisme, negara miskin dan berkembang dijerat agar senantiasa menggantungkan ekonominya dengan hutang dan pajak. Di sisi yang lain, para korporasi asing telah mengeruk habis sumber daya alam dan kekayaan lainnya. Sehingga akibatnya, negara harus mengandalkan pemasukan dari sektor pariwisata yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan resiko penyebaran Covid-19.
Hal ini telah menegaskan kegagalan WHO selaku regulator kesehatan global dalam menyelesaikan permasalahan pandemi dengan perspektif kapitalismenya. WHO tampak lebih mengakomodir kepentingan para korporat yang telah mengalami kerugian besar secara materiil akibat pandemi, dibandingkan dengan harus menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya.
Berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari Al-Khaliq, pencipta manusia dan alam semesta. Ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah oleh negara, penyelesaian pandemi akan berfokus pada upaya penyelamatan nyawa manusia diatas kepentingan segalanya, termasuk ekonomi. Kh4lif4h selaku kepala negaranya, akan mengambil setiap keputusan hanya berlandaskan syariat Islam saja. Tentu dengan tetap mempertimbangkan pendapat para pakar. Sebab, kebangkitan ekonomi masyarakat akan terwujud ketika nyawa masyarakatnya terselamatkan. Karena memang, salah satu tujuan penerapan syariat adalah hifdzun nafs atau menjaga nyawa manusia.
Kh4lif4h beserta para pejabat negaranya merupakan orang-orang yang paham cara mengurus umat dan menerapkan syariat Islam dengan sempurna. Maka pemerintahan Islam tidak akan melakukan pelonggaran-pelonggaran hanya karena faktor ekonomi dan mengabaikan keselamatan rakyatnya. Hal ini sangat mungkin terjadi karena didukung oleh keuangan negara yang berasal dari baitul mal. Dimana pos-pos pemasukan di dalamnya berasal dari beragam sumber dan jumlahnya sangat besar.
Selain itu khil4f4h juga akan memberlakukan lockdown sehingga menutup celah terjadinya penyebaran virus ke luar daerah endemik. Dengan demikian, daerah-daerah yang tidak terpapar virus, tetap melakukan aktivitas seperti biasa termasuk kegiatan ekonomi. Ketangguhan sistem keuangan khil4f4h akan mampu untuk memenuhi kebutuhan warga selama masa karantina. Di samping itu, khil4f4h juga akan berupaya menemukan vaksin dan memproduksinya secara masif, kemudian mendistribusikannya ke seluruh dunia secara gratis.
Seluruh kebijakan ini sangat logis terjadi karena negara ditopang oleh sistem keuangan yang mumpuni. Dalam Islam kepemilikan harta dikelola hanya berdasarkan syariat. Dimana haram bagi swasta atau asing menguasai harta kepemilikan umum. Sehingga hal ini menjadikan negara memiliki sumber pemasukan yang melimpah ruah. Inilah gambaran khil4f4h dalam menyelesaikan pandemi, yang tidak akan mungkin terwujud dalam sistem kapitalisme yang sedang memimpin dunia saat ini. Wallahu ‘alam bishawab.
Baca juga:

0 Comments: