Headlines
Loading...
Oleh. Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns (Perawat)

Sejak berhasil keluar dari rantai pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia perlahan mulai menyadari rapuhnya ketahanan kesehatan nasionalnya. Menjawab persoalan ini, disusunlah Rancangan Undang-Undang (RUU) kesehatan Omnibus Law. Ada sekitar 15 Undang-Undang kesehatan dan profesi yang akan dilebur menjadi omnibus law. RUU yang disebut “inisiatif DPR” ini kabarnya telah masuk dalam daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2023. Terdapat enam transformasi kesehatan yang digadang-gadang dalam RUU ini, termasuk mengenai transformasi jumlah SDM tenaga kesehatan.

Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, jumlah dokter spesialis di Indonesia masih minim, yang berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan. Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), hanya ada sekitar 54 ribu dokter spesialis di Indonesia. Padahal jika harus mengacu pada standar WHO, proporsi idealnya 1 dokter spesialis melayani 1000 penduduk. Artinya untuk ukuran Indonesia yang memiliki penduduk sebanyak 275 juta jiwa, dibutuhkan sekitar 275 ribu dokter spesialis. 

Dilansir dari cnnindonesia.com 06/10/22, Menkes menyatakan bahwa sebab utama rendahnya kualitas pelayanan kesehatan adalah karena minimnya jumlah dokter spesialis. Fakta ini kemudian terbantahkan oleh pemaparan Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, yang mengungkapkan beberapa penyebab rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang tidak semata-mata karena minimnya jumlah dokter spesialis.

Dirangkum dari laman bbc.com 13/12/22, diantara penyebabnya antara lain, pertama, jumlah lembaga pendidikan yang bisa mencetak dokter spesialis sangat sedikit. Senada dengan hal ini, Kemenkes juga menyebutkan dari 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia, hanya 20 saja yang memiliki prodi spesialis. Di samping itu, mahalnya biasa pendidikan yang harus dibayarkan sepanjang studi berlangsung juga turut berkontribusi. Kedua, distribusi dokter spesialis yang tidak merata dan cenderung berpusat di kota-kota besar, akibat besaran insentif yang berbeda di setiap wilayah. Selain itu, yang ketiga adalah keterbatasan sarana dan prasarana di daerah yang kadang menyebabkan tidak optimalnya penempatan dokter spesialis disana.

Di tengah kompleksnya problem kesehatan ini, kehadiran RUU kesehatan omnibus law justru mendapat pertentangan dari berbagai kalangan organisasi profesi (OP) kesehatan. Puluhan orang dari berbagai organisasi profesi menggelar demonstrasi di depan kantor IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Jatim. Diantaranya terdiri dari IDI Jatim, PGDI PengWil Jatim, DPW PPNI Jatim, Penda IBI Jatim, PD AIA Jatim dan DPW PATELKI Jatim (detik.com, 28/10/22). Mereka menilai RUU ini berpotensi untuk melemahkan organisasi profesi yang selama ini sudah tertata untuk menjaga kredibilitas standar pelayanan nakes di lapangan. 

Regulasi yang dikritisi antara lain tentang penerbitan STR yang meniadakan rekomendasi dari OP bersangkutan serta penerbitannya yang berlaku seumur hidup. Padahal tujuan dari pembaharuan STR setiap jangka waktu tertentu adalah untuk mengontrol kualitas pelayanan yang diberikan oleh nakes bersangkutan agar tetap sesuai dengan standar keilmuan yang terus berkembang. Apabila mekanisme ini tetap dipaksakan, maka justru akan menimbulkan bahaya bagi masyarakat.

Dalam sistem kapitalisme yang dianut oleh negeri ini, lahirnya regulasi yang demikian bukanlah hal yang aneh. Kapitalisme telah membatasi peran negara cukup sebagai fasilitator saja. Maka kebijakan-kebijakan yang lahir pun terkesan hanya setengah hati dan tidak menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Biaya pendidikan calon dokter spesialis yang mahal, tidak terlepas dari ide dasar kapitalisme yaitu materialisme. Dampaknya, orientasi perguruan tinggi bukan lagi sebatas mencetak individu-individu yang mumpuni dalam ilmu, tapi juga mendapat keuntungan sebagaimana halnya sebuah perusahaan menjalankan bisnisnya.

Begitupun tidak meratanya distribusi dokter spesialis hari ini. Pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam sistem kapitalisme cenderung berpusat di kota-kota besar. Hal ini sangat wajar terjadi, karena tidak semua fasilitas kesehatan di daerah, mampu memberikan insentif yang sepadan dengan mahalnya biaya yang telah dikeluarkan untuk menempuh pendidikan spesialis. Lagi-lagi akar masalahnya bukan sekedar kuantitas namun lebih kompleks dari itu dan bersifat sistematis.

Mengenai ketersediaan sarana dan prasarana yang belum merata, yang biasanya hanya dimiliki oleh faskes-faskes tertentu di pusat kota. Negara penganut kapitalis yang hanya berperan sebagai fasilitator akan menganggap kebutuhan terhadap layanan kesehatan sebagai tanggung jawab individu, bukan negara. Maka apabila individu membutuhkan layanan kesehatan yang paripurna, harus mengakses faskes yang juga memiliki perlengkapan yang paripurna. Meskipun secara lokasi sangat jauh dan sulit untuk dijangkau sesuai kemampuan individu tersebut.

Berbeda halnya ketika sebuah negara menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan untuk mengatur kehidupan masyarakat. Arsitektur kesehatan dalam sistem Islam memandang bahwa kebutuhan terhadap akses kesehatan merupakan tanggung jawab negara, bukan individu. Termasuk dalam mencetak tenaga-tenaga kesehatan yang berkualitas, negara akan menyediakan dan memfasilitasi lembaga-lembaga pendidikan terkait untuk bisa mendukung terwujudnya hal ini. Bukan berorientasi pada keuntungan, namun sebagai wujud tanggung jawab penguasa di hadapan Allah dalam mengurus rakyatnya. Termasuk di dalam menjaga keselamatan rakyat tatkala mengakses pelayanan kesehatan.

Hal ini sangat mungkin terjadi karena sistem pendidikan dan sistem kesehatan dalam negara Islam ditopang oleh sistem ekonomi yang mumpuni. Melalui baitul mal, negara akan mengalokasikan pemasukan dari harta kepemilikan umum, seperti hasil laut, hasil hutan, hasil tambang, maupun pemasukan dari harta kepemilikan negara seperti cukai perbatasan, kharaj, fa’i dll, untuk mendukung lembaga pendidikan dan faskes penyedia layanan kesehatan dalam menjalankan perannya. Maka hanya dengan penerapan Islam kaffah oleh negara saja, kompleksitas problematika kesehatan hari ini dapat diselesaikan. Wallahu ‘alam bishawab.

Baca juga:

0 Comments: