Headlines
Loading...
Tahun Baru Pajak Naik, Islam Tidak Mendasarkan Pendapatan Negara pada Pajak

Tahun Baru Pajak Naik, Islam Tidak Mendasarkan Pendapatan Negara pada Pajak

Oleh. Rochma Ummu Arifah 

Segala macam cara dilakukan demi meningkatkan perolehan pajak oleh negara. Karena memang pajak ini telah dijadikan sebagai sumber utama pemasukan negara. Hal ini tentu saja dengan mengesampingkan sumber yang lainnya di mana negara memiliki minim perhatian di dalamnya, seperti pengelolaan sumber daya alam yang sangat melimpah di Nusantara ini. Rakyatnya mau tak mau harus menuruti pemerintah dalam memaksimalkan perolehan pajak.

Tahun Baru Disambut Dengan Kenaikan Pajak 

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan mengejar target penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 1.265 triliun. Dengan kawalan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah akan meluncurkan sejumlah program demi mengejar target tersebut. Salah satu yang akan dijalankan adalah menaikkan tarif sejumlah pos perpajakan.

Terdapat sejumlah kenaikan tarif perpajakan sebut saja lain tarif cukai rokok, tarif pajak pertambahan nilai (PPN), dan tarif pajak penghasilan (PPh). Kenaikan ini akan diberlakukan secara bertahap mulai awal tahun baru ini. 

Tata kelola ekonomi dengan landasan kapitalisme liberal, memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk campur tangan dalam kelola sumber daya alam. Tak dapat dipungkiri betapa kayanya Indonesia dengan aneka sumber daya alam yang dimilikinya. Namun sayang, kekayaan ini tak mampu dioptimalkan dengan baik sehingga tak mampu untuk menopang sistem ekonomi negara. Sehingga, pajaklah yang dijadikan sebagai pondasi.

Banyaknya sumber daya alam yang dimiliki dari aneka jenis tambang, garis pantai terpanjang di dunia, serta hutan dan gunung yang melimpah seakan tak mampu untuk menghidupi rakyat nusantara. Kekayaan hasil pengelolaan ini hanya dinikmati oleh segelintir kalangan yang berasal dari pihak swasta dan asing sedangkan rakyat hanya menikmati remahannya saja, jika ada.

Untuk menutupi celah pemasukan kas negara, negara memprioritaskan pemungutan pajak kepada rakyatnya. Pajak diambil dai berbagai macam segmen dan seluruh lapisan masyarakat, baik keberadaan mereka kaya atau miskin, semuanya diberikan kewajiban oleh negara untuk membayar pajak. Mirisnya lagi, di era demokrasi ini, pajak juga sangat rentan untuk dikorupsi oleh para pejabat di sekitar instansi pengelolaan pajak itu sendiri. Sudah terbukti puluhan pejabat pajak yang terjerat kasus korupsi.

Islam Tidak Mendasarkan Pendapatan Negara pada Pajak

Tata kelola ekonomi dengan mendasarkan pada pajak ini tentu tidak akan kita temukan di dalam negara yang mendasarkan aturannya pada aturan Islam. Islam menempatkan pajak bukan sebagai sumber utama pemasukan negara. Bahkan, Islam sangat mencela penguasa yang menarik pajak kepada rakyatnya. Realitas pajak yang diperbolehkan diambil di dalam negara Islam juga sangat berbeda dengan realitas pajak yang ada di sistem saat ini.

Negara Islam melandaskan pemasukan kas negara dari beberapa pos, sebut saja pemungutan pajak, kharaj, jizyah, dan pemerolehan ghanimah serta fa’i. Terlebih, ada pengelolaan harta kekayaan umum dan negara yang juga dimaksimalkan manfaatnya untuk mencapai kemaslahatan rakyat. Semua pos ini dimaksimalkan pengelolaannya oleh struktur Baitul Mal untuk bisa membiaya semua kebutuhan dan pos pengeluaran negara.

Jika pada suatu kondisi darurat, kas negara tidak mencukupi semua pos pengeluaran atau pengelolaan semua pos pendapatan negara ini kurang memenuhi kas negara, beberapa mekanisme akan dijalankan oleh negara tetap dengan memperhatikan kemaslahatan umat. Jangan sampai kebijakan yang dibuat oleh negara justru memberikan kezaliman kepada rakyatnya.

Dalam kondisi ini, negara akan memotivasi siapa saja, tidak hanya rakyat dengan harta berlebih, untuk memberikan sumbangan (infaq) kepada negara agar negara mampu mencukupi kebutuhannya. Jika dalam kondisi ini pun, kas negara masih minim, pilihan terakhir adalah dengan memungut pajak kepada rakyat. 

Hanya saja, pajak ini tidak dipungut kepada semua lapisan masyarakat dengan kondisi ekonomi yang berbeda. Namun hanya diwajibkan kepada golongan masyarakat kaya saja. Jumlah nominal pajak pun tidak disamaratakan untuk setiap rakyat. Nominal pajak disesuaikan dengan keadaan masing-masing rakyat serta dibedakan berdasarkan kekayaan yang dimiliki. Yang memiliki kekayaan lebih tentu akan diberikan porsi yang lebih besar dibandingkan dengan sebagian masyarakat lain dengan jumlah kekayaan yang lebih sedikit.

Inilah gambaran bagaimana pajak yang akan diberlakukan oleh negara yang berlandaskan pada aturan Islam. Tentu sangat berbeda dengan realitas pajak yang ada saat ini. Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: