Headlines
Loading...
Oleh. Iis Nopiah Pasni

Kamis ceria, Abi dan Hani main bersama. Abi mengibaskan kain kecil berwarna merah hati  itu, kain sarung kotak-kotak hadiah sunatnya dari neneknya.

Hani juga ikut-ikutan, ia mengibaskan sapu tangan warna hijau muda dengan penuh semangat.

Rumah kecil itu penuh dengan canda tawa mereka berdua.

Sesekali Bunda melihat ke arah mereka, memastikan mainan yang anak-anaknya pakai itu aman.

"Bun, kok angin itu nggak bisa dipegang ya," kata Abi tiba-tiba saat ia mengibaskan tangannya yang memegang kain.

"Tapi anginnya bisa dirasakan," katanya lagi sambil terus mengibaskan kain kecil itu. Lagi-lagi Dik Hani meniru tingkah Abi.

Bunda yang sedang duduk santai  di dekat pintu samping menoleh ke arah Abi. Lalu Bundanya tersenyum dan mendekati Abi dan Hani.

"Ya, Allah juga gitu, Ada tapi kita nggak bisa lihat," kata Bunda menjelaskan. Bunda lalu duduk di antara Abi dan Hani dan ikut mengibaskan handuk kecil berwarna merah.

Hani tertawa geli melihat Bundanya ikut mengibaskan handuk kecil itu.
"Bun," katanya sambil menunjuk ke arah handuk.

"Handuk," kata Bunda mengajarkan Adik Hani kata Handuk.

"Aduk," katanya sambil tersenyum.

"Lagi, Bun," mintanya sambil menatap Bundanya.

"Handuk," kata Bunda lalu Hani ikut meniru ucapan Bundanya tentunya dengan suara khas balita.

"Aduk," katanya lagi, kalau ini suara Abi menggema karena geli mendengar suara adik bungsunya itu.

"Kok, aduk Dik!" protes Abi, disambut tawa renyahnya.

Lalu Abi menatap ke Bundanya dan bertanya lagi.

"Kok Allah itu bisa lihat semuanya, kita 'kan banyak, Bun,"  kata Abi, ternyata masih penasaran.

"Allah itu Sang Khaliq, maha melihat," kata Bunda Isna. Abi lalu menatap Bundanya dengan tatapan  penuh kebingungan, Abi bertanya lagi.

"Sang khaliq itu apa ya Bun?" kata Abi masih dengan mengibaskan kain kecil di tangannya.

"Sang Khaliq itu, yang menciptakan kita, jadi Allah itu beda dengan kita, makhluk yang diciptakan-Nya," kata Bunda Isna lagi.

"Gimana Allah lihat kita, Bun?" tanyanya lagi penuh perhatian kali ini. Mungkin menarik baginya. Dik Hani pun ikut duduk anteng di samping Abangnya.

"Seperti Abi bikin mainan rumah-rumahan, kan kelihatan semua bagi Abi kan?" kata Bunda Isna berusaha menjelaskan pada putranya, sebisa dirinya.

"Berarti kita ini kecil sekali ya Bun?" tanyanya lagi kali ini lebih kritis dan antusias.

"Iya, Sayang," kata Bunda singkat. 

Nyatanya Abi  masih saja penasaran. Ia  terus bertanya tanpa bosan. Abi mempunyai keingintahuan yang  besar, seoptimal mungkin Bunda mereka membersamai dan menjawab keingintahuannya itu dengan menjelaskan sesederhana mungkin.

"Nanti 'kan kita mati. Allah mati, nggak?" tanyanya lagi, kali ini ia serius sekali.

"Nggak, hanya Allah yang kekal. Semuanya nanti mati atau meninggal ya Nak," jelas bunda lagi.


"Jadi, Allah itu ada terus ya Bun," kata Abi lagi sambil menganggukkan kepalanya.

"Iya, Allah itu ada dan selalu ada selamanya," kata Bunda Isna menjelaskan. Hari ini Abi belajar banyak tentang Allah, adanya Allah.

"Nanti di hari akhir, amal kita ditimbang," kata Bunda lagi.

"Oh seperti, timbangan amal yang kita buat waktu sekolah anak tangguh ya Bun?" tanyanya lagi.

"Iya, Abang masih ingat kan?" tanya Bunda pada Abi, Ia menganggukkan kepalanya.

"Tuh Dik, pas Adik ambil mainan Abang nggak izin dulu itu dicatat terus ditimbang loh Dik," kata anak lelaki ketiga Bunda Isna pada adiknya.

"Iya, semuanya dicatat dan ditimbang," kata Bunda Isna dan berkata lagi penuh harap semoga anak-anaknya menjadi anak-anak saleh.

Baca juga:

0 Comments: