Headlines
Loading...
Anak, Pelaku dan Korban Kejahatan Seksual: Bukti Buruknya Sistem

Anak, Pelaku dan Korban Kejahatan Seksual: Bukti Buruknya Sistem


Oleh. Ummu Fatimah, S.Pd

Sungguh, kaget dan geram sekali membaca berita tentang kasus pelecehan seksual dengan pelaku dan korban yang masih anak-anak. Dilansir dari liputan.6.com (23/1/2023), nasib malang menimpa siswi TK di Mojokerto, Jawa Timur. Ia diperkosa oleh tiga bocah SD berumur delapan tahun yang tak lain adalah teman main sekaligus tetangganya sendiri.
Kasus ini mungkin bukan kasus pertama yang melibatkan anak-anak. Masih ada kasus-kasus serupa yang pernah terjadi.
Pernah diwartakan media berbeda, polisi telah menangkap pelaku pelecehan seksual terhadap dua siswi SD di Jalan Damai, Cipete Utara, Jakarta Selatan. Pelaku itu berinisial D dan masih berusia 15 tahun. (news.detik.com, 21/10/2022)

Masih banyak kasus serupa lainnya yang menambah deretan problem pelecehan seksual dengan pelaku dan korbannya masih anak-anak. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebanyak 4.683 aduan masuk ke pengaduan sepanjang 2022.
Pengaduan paling tinggi adalah klaster Perlindungan Khusus Anak (PKA), sebanyak 2.133 kasus. Kasus tertinggi adalah jenis kasus anak menjadi korban kejahatan seksual dengan jumlah 834 kasus. (Republika.co.id, 22/1/ 2023)

Mendengar kasus pelecehan seksual anak dengan pelaku orang dewasa saja hati ini terasa tercabik-cabik, apalagi jika  pelakunya masih anak-anak.

Sebagai ibu, mempunyai anak laki-laki atau perempuan yang masih di bawah umur zaman sekarang kerap merasa was-was.
Bagaimana tidak? Meskipun di rumah keadaan anak baik-baik saja, kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka di luar rumah. Ditambah dengan gemerlap dunia digital dan media sosial yang sudah menyasar mereka. Segala macam tontonan bebas mereka dapatkan melalui gadget  yang mereka pegang. Apa yang mereka tonton bisa menjadi tuntunan yang mempengaruhi sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Masih baik jika yang mereka tonton adalah hal yang positif. Jika tidak, mereka akan menjadi generasi lemah dan berperilaku buruk.

Mendidik Anak di Zaman Sekuler

Masa anak-anak adalah masa di mana anak-anak masih sangat dekat dengan dan butuh perhatian lebih dari orang tua. Orang tua mengambil porsi utama dan pertama dalam mengarahkan dan mendidik mereka.

Sayang, banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaan mereka dan terkesan abai dalam menjalankan perannya sebagai 'madrasah ula', sekolah pertama bagi anak. Di tengah beban ekonomi yang semakin berat, orang tua sibuk mencari uang. Ibu juga sibuk mencari penghasilan tambahan. Akibatnya, banyak orang tua yang lebih mengandalkan peran sekolah untuk mendidik anak-anak mereka. Mereka berharap dari sekolah agar anak-anak tidak hanya cakap dalam sikap tapi juga cakap dalam keilmuan. Secara ilmu, mereka mungkin menguasai. Akan tetapi, dari sisi perilaku, banyak orang tua yang juga mengeluhkan bahwa anak-anak mereka tidak mempunyai sikap yang baik, berbicara kasar, kurang sopan terhadap guru, orang tua dan orang yang lebih tua dari mereka. Masih banyak sikap anak-anak yang kurang baik.

Sistem pendidikan sekuler yang menempatkan agama hanya di ranah individu, menyebabkan apa yang anak-anak pelajari hanya sebatas bahan ajar yang mereka hafal dan selesai setelah dinilai. Selain itu, kita juga tengok jadwal pelajaran ananda di sekolah; seberapa besar porsi pendidikan agama yang mereka dapatkan, bagaimana penanaman adab yang mereka terima. Hal ini kian parah jika kita lihat:
- Pelaksanaan kurikulum merdeka yang konon memberikan ruang kepada anak untuk lebih bebas memilih dengan proses apa dan bagaimana mereka belajar.
-  Perkembangan paham moderasi yang membuat pemahaman agama semakin  kabur.

Oleh sebab itu, mengandalkan peran sekolah saja tidak cukup.

Peran Keluarga, Masyarakat dan Negara dalam Pendidikan Anak

Berbagai kasus pelecehan terhadap anak membuat kita berpikir, penjagaan kepada anak harus dilakukan dengan ekstra. Peran orang tua (dalam keluarga), masyarakat dan negara sangat diperlukan dalam hal ini. Orang tua harus:
- Menanamkan fondasi akidah Islam kepada anak-anak. Iman dan takwa harus senantiasa ada pada diri mereka.
- Memberikan bimbingan dan arahan yang tepat.
- Memilihkan anak-anak mainan yang mendidik, dengan tidak memberikan gadget tanpa pengawasan di usianya yang masih dini.
- Menjauhkan anak-anak dari pengaruh buruk, dengan mengontrol apa yang mereka mainkan dan dengan siapa yang mereka berteman atau bermain.
- Memberikan contoh bagi anak-anak dalam adab terhadap  sesama.
- Memahamkan batasan aurat baik bagi laki-laki dan perempuan.
- Mengajarkan anak-anak perempuan mereka untuk berpakaian yang sopan dan menutup aurat.
- Menjadikan mereka sebagai generasi berkepribadian Islam, dengan pola sikap dan pikir yang Islami, yang siap menghadapi  dunia sekuler.

Ketika fondasi iman dalam keluarga sudah kokoh, tugas kita berikutnya adalah mencarikan lingkungan masyarakat yang mendukung mereka untuk melakukan kebaikan. Karena dari masyarakat yang peka dan peduli, peran kontrol sosial akan berjalan. Ketika anak melakukan kesalahan, ada orang di sekitar yang selalu mengingatkan. Selain itu, harus ada peran negara sebagai pemegang kebijakan.
Negara harus:
- Bersikap bijak dalam menyusun kurikulum pendidikan berbasis agama, agar anak memiliki akhlakul karimah.
- Mengontrol situs-situs yang tidak mendidik.
- Menghapus dan memblokir situs-situs asusila dan bernuansa kekerasan.
- Memberikan sanksi tegas kepada mereka yang masih melanggar, mengingat selama ini, situs porno masih kerap  berkeliaran di media sosial dan mudah diakses oleh siapa saja,  termasuk anak-anak.

Berharap pada negara yang sekuler, harapan kita tinggal angan-angan. Yang bisa kita harapkan untuk mewujudkan semua impian kita hanyalah Islam, yang diterapkan secara kafah oleh negara. Sistem Islam memberikan jaminan hidup sekaligus perlindungan kepada semua warganya.

Wallahu a'lam.

Baca juga:

0 Comments: