Headlines
Loading...
Oleh. Ana Mujianah

Hari Minggu pagi, Faza, ayah, dan bunda sedang duduk santai di teras. Seperti biasa, saat hari libur, Faza senang sekali membantu ayah merapikan taman di depan rumah. 

"Yah, lihat! Ada cacing!" seru Faza girang. Ayah yang sedang memotong rumput ikut kaget. 

"Biarin aja cacingnya," sahut ayah. Faza yang masih berumur 9 tahun penasaran dengan cacing-cacing tanah itu.

"Yah, cacingnya punya orang tua nggak?" celetuk Faza tiba-tiba. Ayah langsung berhenti memotong rumput. Ayah kemudian tersenyum mendengar pertanyaan Faza. 

"Cacing punya induk nggak, Faza?" Gantian ayah yang bertanya. Faza pun terdiam sebentar mendengar pertanyaan ayah.

"Emm ... punya! Kan cacing ada telurnya, Yah. Jadi, pasti ada induknya, doong." Faza menerka-nerka jawabannya. 

"Kalau cacing punya induk, berarti cacing punya orang tua," sambung ayah sambil merapikan pot-pot bunga. "Cuma ... orang tua binatang tidak disebut ayah ibu atau papa mama atau abi umi, seperti manusia," terang ayah.

"Terus, disebut apa dong mereka?" tanya Faza semakin penasaran.

"Yaa ... disebutnya cacing jantan dan cacing betina aja." Faza manggut-manggut. Kemudian dia berjongkok. Matanya fokus mengamati cacing- cacing yang bergerombol di tanah. Sepertinya, masih ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

"Yah, kalau cacing jantan dan cacing betinanya itu punya orang tua lagi nggak? Nanti, jadi kakek neneknya cacing-cacing ini ya ?" Ayah menggeleng lagi mendengar pertanyaan polos putranya.

"Sama seperti tadi ... kalau ada induknya, ya ... berarti ada orang tuanya." Dahi Faza berkerut, matanya menyipit tanda berpikir setelah mendengar jawaban sang ayah.

"Terus ... orang tua-orang tua cacing itu punya orang tua lagi ya, Yah?" 

"Iya," jawab ayah singkat.

"Jus jeruk segar! Jus jeruk segar!" teriak Bik Inah memotong pertanyaan Faza yang masih penasaran dengan orang tua cacing tanah. Ayah segera menghentikan pekerjaannya kemudian mengajak Faza duduk di teras menikmati jus jeruk buatan Bik Inah.

"Yah, orang tua cacing yang pertama kali asalnya dari mana? Dari dalam tanah ya, Yah?" Ayah menghabiskan satu gelas jus jeruk sebelum menjawab pertanyaan Faza.

"Faza, semua makhluk hidup di dunia ini tidak muncul dengan sendirinya. Tapi ... ada yang menciptakan, Nak." Ayah menjelaskan sambil mengusap-usap punggung anak laki-lakinya. "Sama seperti manusia," lanjut ayah.

"Sekarang ayah mau tanya. Faza asalnya dari mana?"

"Dari perut bunda,"  jawab Faza asal sambil tertawa meledek.

"Ya emang dari perut Bunda. Masak dari perut Ayah ya, Dek Isna?" Ayah mengambil adik bayi dari pangkuan bunda.

"Hehe, iya iya, Faza tahu, kalau Faza ada karena ada Ayah dan Bunda," sahut Faza.

"Yah, terus Ayah Bunda dari mana?" 

"Dari Kakek dan Nenek?" Faza menjawab sendiri pertanyaannya. "Trus ... Kakek Nenek dari orang tua Kakek dan Nenek." Faza masih menjawab sendiri.

Sementara, sang ayah dengan sabar mendengarkan celoteh Faza yang sedang berpikir sambil menimang adik Isna.

"Kakek nenek, dari orang tua kakek nenek, dari kakek neneknya lagi? Terus ... kakek nenek yang pertama siapa, Yah?" Faza akhirnya menyerah.

"Nah, sama dengan cacing tadi. Manusia juga tidak tiba-tiba ada dengan sendirinya, tapi ada yang menciptakan," jawab ayah.

"Lalu, siapa yang menciptakan manusia?" tanya ayah.

"Allah ya, Yah. Karena Allah Yang Maha Pencipta." Faza melihat ke arah ayah untuk memastikan jawabannya benar.

"Pinter anak ayah. Terus, siapa manusia pertama yang diciptakan Allah?" Ayah mengelus-elus rambut Faza.

"Nabi Adam!" sahut Faza cepat karena Faza pernah mendapat penjelasan dari ustaz waktu ngaji tentang nabi-nabi Allah. 

"Jadi ... kalau begitu?" 

"Manusia itu ... asalnya ya dari Allah yang menciptakan manusia," jawab Faza sambil ikut menimang adik bayi.

"Seratus buat Abang Faza. Nih bunda kasih hadiah." Bunda tiba-tiba menyahut sambil memberikan buku cerita bergambar Allah Maha Pencipta.

"Asyiik. Makasih, Bunda." Faza senang sekali mendapat hadiah buku dari bunda. Karena dari kemarin Faza minta dibelikan buku bergambar mengenal Allah. [ ]

Baca juga:

0 Comments: