Cernak
Ikhlas karena Allah
Oleh. Iis Nopiah Pasni
Jum'at ceria, Abi hari ini berangkat sekolah diantar Bundanya seperti biasa. Dik Hani masih terlelap tidur setelah bangun sebentar minta dibuatkan sebotol susu formula.
Ayahnya Abi belum pergi kerja, biasanya setelah Bundanya Abi pulang antar Abi sekolah barulah berangkat kerja.
Jalanan lumayan ramai lalu lalang orang mau antar sekolah anak dan pergi kerja. Sekarang mengantar sekolah, sepulangnya bisa sekalian belanja sayur karena bangunan Madrasah Ibtidaiyah tempat Abi sekolah sedang dibangun.
Jadi, untuk sementara waktu sekolah jadi menumpang di salah satu komplek sekolah yang berlokasi di dekat pasar sayur Muara Enim.
Abi selalu minta diantar sama Bundanya, pernah Bunda Isna bilang ke Abi kalau yang akan mengantarnya itu Ayahnya.
"Maunya diantar Bunda," imbuhnya. Entahlah maksudnya apa tetapi sepertinya Bundanya juga suka mengantar Abi. Nampaknya Bunda Isna menikmati kegiatan pagi hari antar Abi dan nanti menjemputnya.
"Entar Bunda dapat pahala 'kan Bun?" tanyanya penasaran, saat dijemput pulang sekolah tadi.
"Kan Bunda antar dan jemput Abang, dapat pahala 'kan?" tanyanya lagi, kali ini Ia menatap dengan tatapan minta segera dijawab oleh Bunda.
"Apapun yang dilakukan untuk kebaikan ya Insyaallah dapat pahala, apa lagi ikhlas karena Allah," kata Bunda Isna sambil memperbaiki posisi peci yang dipakai Abi.
"Tuh, udah ganteng," imbuh Bunda setengah bergumam.
"Ikhlas karena Allah itu maksudnya apa?" tanyanya lagi penasaran.
"Ikhlas karena Allah yaitu kita melakukan sesuatu itu karena cinta dan sayang sama Allah, gitu," kata Bunda lagi.
"Tentunya melakukan kebaikan ya nak," kata Bunda Isna sambil menggendong Dik Hani yang mau turun dari kursi kecil yang terbuat dari rotan yang diletakkan di depan Bundanya duduk saat bermotor.
"Ikhlas itu tanpa meminta imbalan apapun," kata Bunda lagi.
"Oh gitu ya Bun," jawabnya singkat lalu Abi mengangguk setelah itu ia memberikan tasnya pada Bundanya.
"Abi mau beli rubik kecil, Bun," katanya lalu berlari ke arah kantin sekolah.
"Iya, jangan lama ya kasihan Dik Hani, nanti tambah siang ya tambah panas," pinta Bunda Isna.
Abi tersenyum sumringah sambil memberikan satu rubik kecil untuk Adiknya dan satu lagi untuknya.
Dik Hani melompat sebisanya saking senangnya, lalu Ia memberikan rubik tersebut pada Bunda.
"Buka," katanya antusias, ya ampun mungkin dikiranya itu rubik bisa dibuka terus isinya ciki, coklat atau permen, ada-ada saja Si Dik Hani tingkahnya.
"Ini nggak bisa di buka Dik," kata Bunda sambil memutar rubik tersebut.
Dik Hani makin penasaran kali ini rubiknya diputarnya tapi tak berubah.
Akhirnya Dik Hani menangis, Abi tak kehabisan ide kreatif. Ia memanggil Hani lalu memberikan kue kacang yang masih ada di tepak makanannya.
Dik Hani langsung diam, Ia lalu mencomot satu kue kacang tanah itu dengan cepat.
"Dik, baca doa dulu," kata Abi mengingatkan adiknya.
Dik Hani menengadahkan kedua tangannya lalu bilang Aamiin yang kencang. Tangan kanannya langsung memasukkan setengah kue kacang yang tersisa.
"Makasih ya Bang," kata Bunda sambil mengacungkan jempol pada Abi. Eh, Dik Hani tak mau kalah.
"Mantap!" seru Dik Hani melompat. Tentu saja Bunda dan Abang Abi tertawa melihat tingkah lucunya itu.
"Yuk, kita pulang," ajak Bunda pada kedua anaknya itu sambil menggendong Dik Hani dan menaruhnya di kursi depan dari rotan di motor mereka.
Muara Enim, 17 Februari 2023
0 Comments: