Headlines
Loading...
Oleh. Muflihah S Leha

Aisy ingin sekali menjadi hafiz Al-Qur'an. 
Gadis kecil yang berusia 4 tahun itu, terlahir dari orang tua yang cukup sederhana.

Ayahnya bekerja serabutan, karena tidak cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari. Ibunya bekerja sebagai tukang cuci dan gosok. Akibat mahalnya biaya pendidikan, orang tua Aisy ikut bekerja untuk kehidupan dan ingin membeli rumah, karena selama ini masih menempati rumah reyot peninggalan orang tuanya, yang sewaktu-waktu bisa roboh terkena angin.

Ketika yang lain mengaji, Aisy masih suka bermain-main, karena orang tuanya menganggap Aisy masih kecil. Orang tuanya juga melihat anak-anak yang lain, yang sudah diajarkan ngaji lebih dahulu meski usianya masih kecil, ternyata juga sama saja. Mereka belum bisa mengerti. Jadi waktu Aisy meminta ngaji, orang tuanya belum mengizinkan karena faktor ekonomi.

"Ma, Aisy pingin ngaji," 
pinta Aisy kembali.

"Ngaji sama Mama saja. Sini, kalau siang kan mama kerja. Kalau malam, ngaji sama Mama saja sini, sayang!" pinta mamanya yang ditolak oleh Aisy.

"Nggak mau... Aisy pingin ngaji sama teman-teman," rengek Aisy

"Nak, ngaji di sana itu, harus ada biaya, Mama belum ada uang untuk masukin kamu di sana, harus beli seragam juga, dan yang lainnya. Nanti kalau kamu sudah 5 tahun... ya.
Ustadzah di sana nggak menerima anak kalau belum 6 tahun."

"Lah, Althaf masih kecil sudah ngaji di sana," pungkas Aisy

"Althaf kan ditungguin terus sama mamanya setiap hari, Mama nggak bisa nungguin kamu setiap hari. Mama harus kerja untuk melunasi hutang dan untuk benarin rumah."

"Kamu ngaji sama Mama saja," pinta Mamanya.

Aisy terdiam sembari berkata, 
"Nggak usah dibenarin nggak papa, Ma. Rumahnya seperti ini saja nggak papa. Nanti kalau Aisy sudah besar, baru dibenarin."

Aisy selalu 'ngiri' dengan Althaf yang masih kecil sudah ngaji di sana, tapi selalu ditungguin oleh orang tuanya, walaupun sudah setahun lebih Althaf masih ngaji huruf Hijaiah. Namun untuk biaya sama saja, harus membayar 'full'. Itulah mengapa orang tua Aisy belum memasukkan Aisy ke tempat itu.

Meskipun permintaan Aisy belum dituruti, Aisy selalu mengaji huruf Hijaiah dan bacaan doa sehari-hari.

Karena capeknya orang tua Aisy, mereka selalu tidur lebih awal. Aisy terdiam mendengar suara murattal dari kejauhan. 

Meskipun hidup di zaman serba ada, Aisy tidak merasakannya.  Televisi tidak ada, apa lagi ponsel yang mayoritas anak-anak memegangnya. Ayahnya ketika berangkat kerja selalu menunggu ajakan orang, karena mereka tak punya motor.

Ketika yang lain tertidur, Aisy bermain sendiri. 
Sampai rasa kantuk menghampiri dan tidak disadari, Aisy sudah terlelap dalam tidur.

Usai salat subuh, ada waktu untuk orang tuanya duduk bersama.
Dengan hati-hati, ibunya memberitahukan ayah tentang keinginan Aisy.

"Pa, kemarin Aisy meminta ngaji, ke Mambaul 'ulum." 

"Ngajikan saja. Pasti ada rezeki," jawab ayah Aisy, yang selalu yakin dengan rezeki.

"Tapi anak seusianya harus selalu ditungguin. Gurunya belum mau. Ada syarat masuknya di usia yang sudah bisa ditinggal. Saya nggak bisa nungguin. Kalau tahun depan kayaknya bisa diterima.

Aisy terbangun mendengar percakapan orang tuanya.
Tiba-tiba ia berkata pada orang tuanya.

"Aisy nggak usah ditungguin Ma?" 

"Bu guru bilang anak-anak yang mengaji di sana sering nangis kalau dinakalin. Aisy kalau dinakalin gimana?" tanya Ibunya. Aisy pun terdiam.

"Aisy nggak nakal-nakal, Ma." 

"Tapi kalau dinakalin, Aisy nangis. Aisy sama mamanya Althaf," pinta Aisy

"O iya, iya deh. Mama akan nitipin kamu ke mamanya Althaf, tapi jangan minta jajan ya...."

"Iya Ma..." jawab Aisy penuh semangat.

Ibunya segera bersilaturahmi ke rumah Althaf, untuk meminta tolong agar menjaga Aisy yang ingin sekali mengaji. Setelah meminta tolong pada ibunya Althaf, Aisy ikut berangkat ngaji.

"Kamu coba ikut-ikutan dulu ya,  kalau bisa mengikuti. Nanti Mama daftarin."

"Iya, Ma..."

"Tapi ngaji iqra' nya harus tetap loh, ya... Berarti siang ngaji, sorenya harus langsung ngaji lagi. Kamu siap?"

"Iya, siap Ma."

Seminggu, dua minggu Aisy selalu semangat. Sepulang ngaji dari Mamba'ul ulum, Aisy langsung mengaji lagi.

Sebulan berlalu. Orang tuanya pun mantap mendaftarkannya. Setelah didaftarkan, Aisy selalu menghafalkannya di rumah.

Baru beberapa bulan Aisy mengaji, Ia mampu mengejar Althaf yang sudah dua tahun lebih dulu mengaji di sana.

Ketika ibu Aisy sedang santai bersama suami, Aisy bermain sembari menghafalkan surat yang panjang di juz amma.

Ibunya kaget ketika yang dibaca Aisy adalah surat An-Naba.

"Masya Allah Aisy... kamu hafal surat An-naba, Nak! Kok Mama dengar kamu sedang membaca surat itu?" tanya mamanya. Aisy tersenyum. 

"Aisy ingin jadi hafiz Al-Qur'an,  Ma..."

Air mata ibunya meleleh, dipeluknya anak yang dikira masih kecil itu ternyata bisa hafal surat panjang di juz amma dengan sendirinya. 

"Masya Allah siapa yang ngajarin kamu?" tanya mamanya. 

"Aisy mendengar mbak-mbak yang sudah hafalan Ma. Waktu mereka menghafalkan, Aisy ikutan."

"Subhanallah. Kalau begitu, kamu ngaji hafalan ya, sayang."

Aisy menganguk dan meminta,
"Ma, Aisy pingin dibelikan  mahkota." 

"Mahkota?" tanya mama heran. 

"Iya, mahkota yang cantik."

"Mahkota itu apa sih, sayang?" tanya mama

"Yang dipakai di kepala." jawab Aisy polos.

"Sayang, mahkota di dunia itu cuma mainan. Mahkota yang asli itu nanti di surga, Allah akan  memberikannya untuk siapa saja yang hafal Al-Qur'an."

"Aisy pingin sekali, Ma."

"Iya, sayang. Aisy kan mau menghafalkan Al-Qur'an."

"Nanti kalau sudah hafal akan dikasih mahkota?" tanya Aisy

"Iya sayang, tapi kalau sudah meninggal. Di dunia hafalin Al-Qur'an dulu."

"Iya Ma, Aisy akan menghafalkan Al-Qur'an. Aisy ingin jadi hafiz Al-Qur'an."

"Àlhamdulillah. Masya Allah bidadari kecil Mama,"
ucapnya sembari memeluk Aisy dengan bahagia.

          *****

Baca juga:

0 Comments: