Headlines
Loading...
Ironi Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa, Melanggengkan Oligarki

Ironi Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa, Melanggengkan Oligarki

Oleh. Irmawati 
(Aktivis Dakwah Kampus)

Sejumlah kepala desa dari berbagai daerah melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR RI. Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk merevisi aturan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun per periode. Meski mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan  tuntutannya diakomodir, tidak sedikit publik yang justru mengkritiknya. Karena tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun berpotensi melanggengkan oligarki dan tidak sedikit kepala desa terjerat korupsi. (Tirto.id, 19/1/2022)

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014, dikatakan bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dipilih kembali hingga 3 kali periode secara berurutan atau terputus-putus. Artinya, jika seorang kepala desa terpilih 3 periode secara berturut-turut maka ia menjabat sebagai orang nomor satu disebuah desa selama 18 tahun. 

Menurut Darwis selaku kades Poja NTB, masa jabatan 6 tahun terlalu singkat, sebab gesekan politik pemilihan kades tinggi. Sehingga mengakibatkan konsolidasi antar elemen tokoh desa pasca kemenangan menjadi alot.

Selain itu, Politisi PDIP Budiman Soejatmiko mengatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pasca kemenangan menyebabkan masa efektif kades hanya 2-3 tahun. Walhasil masa jabatan kepala desa dianggap kurang dalam rangka pembangunan desa. Pemimpin telah diganti tetapi pembangunan desa belum juga selesai. Pemilihan kades 6 tahun sekali juga secara anggaran ditinjau boros karena pemilihan membutuhkan biaya yang besar.

Tuntutan perpanjangan jabatan kades merupakan lahan untuk memperoleh cuan (keuntungan). Akhirnya, tuntutan tersebut cenderung pragmatis dan dipolitisasi untuk melanggengkan kekuasaan. Jika tuntutan ini dikabulkan, akan rawan mobilisasi dan pengamanan dukungan warga lokal menjelang pemilu tahun 2024 dan dikhawatirkan tingkat korupsi meningkat. Di masa jabatan 6 tahun saja, sudah banyak kades terjerat kasus korupsi apalagi bila masa jabatan diperpanjang. Hal ini terbukti dari data KPK pada tahun 2012 sampai dengan 2022 tercatat ada 601 kasus korupsi dana desa di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 686 kades ditanah air terjerat korupsi. Mirisnya, indikator pembangunan desa justru dilihat pada masa jabatan.

Keruwetan politik saat ini terjadi karena dunia politik berubah menjadi arena perdagangan untuk mencari penghasilan bagi diri sendiri ataupun kaum kerabat. Rakyat pun menjadi korban. Bahkan fenomena ini tidak ubahnya seperti bursa tenaga kerja, tempat orang mencari pendapatan atau gaji bulanan. Dunia politik tidak lagi menjadi tempat pejabat/aparat negara memberikan pelayanan, tetapi justru minta dilayani. Hal ini menunjukan potret buruk Demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme. Sistem ini menjadikan kekuasaan tidak lagi untuk kepentingan rakyat.  

Berbeda dengan Islam, kekuasaan bermakna mengurusi urusan umat yang akan dipertanggung jawabkan kepada Allah. Kekuasaan harus terikat kepada hukum syara'. Seorang pemimpin di dalam Islam harus melayani urusan rakyatnya agar  kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta penjagaan segala kebutuhan lain (seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan) terpenuhi. 

Sistem pemerintahan dalam Islam berlaku efektif dan efisien serta mampu terhindar dari ancaman diktatorisme, kesewenang-wenangan dan dominasi kelompok tertentu;  karena pemimpin dan rakyat tidak boleh membuat hukum untuk memaksa orang lain. Adapun masa jabatan khalifah dan pemimpin bawahannya tidak dibatasi oleh waktu dan periode, akan tetapi dibatasi dengan hukum syariat. Jabatan khalifah dan pejabat bawahannya dapat diberhentikan jika terbukti melanggar hukum syara' dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat syariat. Dengan demikian, hanya dengan penerapan Islam kafah, akan lahir pemimpin amanah yang  memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Wallahu a'lam bishawwab.

Baca juga:

0 Comments: