Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Hanik

Minggu pagi, Ali dan Fatimah sibuk membantu ibu di halaman rumah. Ibu menyapu daun-daun yang semalam berjatuhan karena hujan angin. Fatimah mencabuti rumput yang ada di pot bunga. Sementara Ali memindah dan menata pot bunga yang baru saja diganti tanahnya.

Ketika sedang asyik bekerja, tiba-tiba lewatlah Fadhil dengan sepeda barunya. Fadhil habis berkeliling desa mencoba sepeda yang baru saja dibelikan oleh ayahnya kemarin siang. Melihat Ali di depan rumah, Fadhil pun berhenti.

"Assalamualaikum Ali," sapa Fadhil.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh Fadhil," jawab Ali.
"Fadhil, mau ke mana? Ayo mampir dulu," ajak Ali pada Fadhil.
"Aku tadi habis berkeliling desa. Ini lagi mencoba sepeda baru," kata Fadhil dengan tersenyum.
"Wah, sepeda baru ya... Sepedanya bagus. Pasti mahal dan nyaman dipakai," kata Ali sambil melihat-lihat sepeda Fadhil.
"Alhamdulillah. Ali kalau kamu mau mencoba, boleh koq," kata Fadhil menawarkan sepedanya buat Ali.
"Wah, yang bener...?" Tanya Ali dengan wajah gembira.
"Iya, boleh," kata Fadhil meyakinkan.

Sambil bekerja, ibu dan Fatimah  melihat Ali dan Fadhil mengobrol. Mendengar Fadhil menawarkan sepedanya untuk dicoba Ali, ibu hanya tersenyum.
"Ali, boleh kamu bermain sama Fadhil. Tapi selesaikan dulu tugasmu," kata ibu.
"Baik Bu. Fadhil, kamu tunggu sebentar ya, aku mau selesaikan dulu tugasku menata pot bunga," kata Ali pada Fadhil.

Fadhil mengangguk mengiyakan. Ia kemudian memilih duduk di teras depan rumah. Ia kagum dengan keluarga Ali. Mereka bisa bekerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Satu keadaan yang tak pernah ada di rumahnya. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing. Ayah yang sibuk bekerja. Ibu yang sibuk dengan teman arisannya. Sementara kakaknya lebih sibuk dengan tugas belajarnya. Tiba-tiba ia merasa iri dengan keluarga Ali.

"Hei... Koq malah melamun. Nih, minum air dulu. Pasti kamu hauskan, setelah naik sepeda keliling desa," kata Ali menawarkan minum.
Ternyata, Ali sudah berada di sampingnya. Sudah siap untuk bermain dengan Fadhil.

"Ali, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Fadhil.
"Boleh dong ... Memangnya kamu mau tanya apa?" jawab Ali ganti bertanya.
"Ehm...Ali, sebenarnya aku kagum dengan keluargamu. Bisa menikmati pekerjaan rumah secara bersama-sama. Sementara keluargaku, jarang bisa seperti itu," kata Fadhil dengan nada suara sedih.
"Ayahku sibuk dengan pekerjaannya. Ibuku sibuk dengan teman-temannya. Kakakku sibuk dengan tugas sekolahnya. Dan aku tak ada teman untuk sekedar berbagi cerita di rumah," kata Fadhil melanjutkan ceritanya.

Ali mendengarkan cerita Fadhil dengan penuh perhatian. Dalam hatinya, ia bisa ikut merasakan kesedihan yang dialami Fadhil. Tapi ia akan berusaha membuat Fadhil melupakan kesedihannya.

"Fadhil, apa kamu merasa tidak bahagia dengan hidupmu?" tanya Ali.
Fadhil menggelengkan kepala.
"Fadhil, kita harus bersyukur dengan hidup kita. Kadang kita melihat kehidupan orang lain terasa sangat menyenangkan dan bahagia. Sementara kita merasa kehidupan yang dialami jauh dari bahagia," kata Ali menasihati Fadhil.

"Tapi Ali, kamu terlihat bersukacita dengan ibu dan adikmu. Saling membantu. Sementara keluargaku tidak bisa seperti itu," kata Fadhil.
"Fadhil, Allah sangat suka pada orang yang bisa bersyukur. Bahagia itu ada saat kita bisa bersyukur. Ngomong-ngomong, aku juga iri loh dengan keluargamu," kata Ali sambil tersenyum.

Fadhil memandang Ali dengan tatapan tak percaya.
"Apa yang membuatmu iri dengan keluargaku Ali. Keluargaku biasa-biasa saja. Bahkan menurutku tak ada yang bisa dibanggakan," kata Fadhil dengan menatap Ali penuh selidik.

"Fadhil, tidakkah engkau merasa kalau ayahmu sangat menyayangimu? Tuh, ayahmu sudah membelikan sepeda baru terbaik untukmu dengan penuh kasih sayang. Itulah bentuk perhatian dari ayahmu, di tengah sibuknya ayahmu bekerja. Coba diingat-ingat lagi kasih sayang ibu dan kakaknya," kata Ali meyakinkan.

Mendengar kata-kata Ali, Fadhil termenung. Tiba-tiba ia ingat wajah ayahnya saat pulang dari kerja dengan membawa sepeda baru. Ayahnya terlihat gembira memperlihatkan sepeda itu. Namun, Fadhil tidak begitu mempedulikan ayahnya. Ia hanya melihat sekilas sepeda itu terus pergi meninggalkan ayahnya. Bahkan ia belum berucap terima kasih pada ayahnya. 

Sementara ibunya? Setiap pagi di meja sudah tersedia sarapan kesukaannya. Seragam sekolah sudah siap pakai. Dan semua kebutuhannya, ibu selalu menyiapkan dengan baik. Kakaknya? Meski terkesan cuek, kakaknya suka membelikan jajan kesukaannya sepulang sekolah. Ah, tiba-tiba Fadhil kangen dengan ayah, ibu dan kakak.

"Ali, terima kasih ya sudah diingatkan. Aku baru ingat kalau kemarin saat ayahku pulang dengan sepeda baru, aku belum berucap terima kasih padanya. Aku ingin segera pulang menemui ayahku," kata Fadhil bersemangat.
"Maaf Ali, kamu mencoba sepedanya nanti sore saja ya. Insyaallah nanti sore aku sempatkan ke sini lagi," kata Fadhil pada Ali.
"Iya, ga apa-apa Fadhil. Pulanglah dan segera temui ayahmu," kata Ali dengan tersenyum.

Fadhil berlari mengambil sepedanya. Setelah berucap salam, Fadhil segera mengayuh sepedanya. Ingin sekali ia sampai di rumah dan bertemu dengan ayah, ibu dan kakaknya. Ya Allah, maafkan aku...selama ini aku kurang menyadari betapa ayah, ibu dan kakak sangat menyayangiku. Jadikan aku termasuk anak yang bersyukur, bisik Fadhil dalam hati.

Baca juga:

0 Comments: