Headlines
Loading...
Oleh. Vivi Nurwida

Senyum Ara mengembang. Dengan semangat ia menceritakan apa yang terjadi di sekolah hari ini. Ia memenangkan lomba mewarnai kaligrafi untuk pertama kalinya.

"Bunda, Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menang lomba mewarnai," ucap Ara dengan sangat antusias.

"Wah, Alhamdulillah...selamat ya, Kak!" jawab Bunda sambil mengacungkan jempolnya.

Dengan semangat Ara membuka bungkus hadiah hasil kemenangan lombanya. Alat tulis baru kini dalam genggaman tangannya. Sementara, Zia melihat kakaknya itu dengan cemberut.

"Padahal aku juga bagus mewarnai!" gerutu Zia dengan sedih.

"Kalah menang kan tak apa-apa, Nak. yang penting sudah berusaha. Ya?" ungkap Bunda. 

"Aku dulu aja, kelas satu juga enggak pernah menang lomba yang lain. Cuma pernah menang lomba tahfizh aja," sahut Ara. Ia mencoba membesarkan hati adiknya yang paling cerewet itu.

"Ta...pi....kata ustadzah punyaku juga bagus," gerutu Zia kembali.

"Tapi dipilih yang paling bagus dek," sahut Ara gemas.

"Iya ustadzah betul. Punya dek Zia bagus, semuanya bagus. Tapi, pemenangnya itu dipilih dari yang paling bagus, yang bagusnya nomer satu. Begitu, Nak!" jelas Bunda dengan lembut.

"Adek, kita enggak boleh iri lho kalau lihat temen atau saudara kita dapat hadiah!" ungkap Ara dengan kesal melihat adiknya tak kunjung paham.

"Aku, enggak iri!" jawab Zia dengan sebal.

"Itu iri nanti jadinya kalau kayak gitu!" sambung kak Ara dengan nada marah melihat adiknya seperti itu.

"Enggakkkkkkk," Zia semakin sebal karena dibilang iri. Rengekannya makin menjadi-jadi.

"Iya!" sahut Ara, sambil meninggikan suaranya.

"Eng...gakkkk!" timpal Zia.

"Iya. Pokoknya iya. Kalau gitu namanya iri. Jangan Iri!" Ara semakin geram.

"Sudah-sudah. Kok malah berantem." Bunda menenangkan keduanya.

"Kakak loh, Bun, bilang aku iri. Padahal aku enggak iri," jawab Zia tak terima.

"Lha betul kan, Bun. Kalau gitu iri?" desak Ara.

"Eng..gakkk, Kak!" sambung Zia lagi semakin meninggikan suaranya, diiringi tangisan.

"Astaghfirullah, sudah, sudah!" pinta Bunda kembali.

"Sini, sini! Dengarkan Bunda ya!"
"Kakak, sudah betul menasihati adik agar tidak iri. Tapi, menasihatinya harus dengan baik, ya! Bukan bikin adeknya tambah ngambek.!" pinta Bunda kepada anak sulungnya itu.

"Iya Bun, maaf," jawab Ara lemas.

"Terus adik Zia. Yang dibilang kak Ara ada benarnya. Kita harus ikut senang kalau melihat orang lain dapat rezeki, dapat kemenangan. Kalau kita belum dapat, berarti belum rezekinya. Berusaha lagi, ya. Insya Allah nanti suatu saat adik bisa saja menang. Jangan sampai kita iri. Tau kan iri itu penyakit apa?" jelas Bunda dengan perlahan.

"Penyakit hati, Bun," jawab Zia lemas.
"Tapi, aku enggak iri, Bun," sambung Zia kembali.

"Iya, iya kalau enggak iri ya sudah, bagus. Sekarang beristighfar saja Yuk bareng-bareng! Terus saling memaafkan," pinta Bunda.

Keduanya beristighfar bersama-sama dengan Bunda.
"Maaf ya Dek, kalau Kakak tadi menasihatinya sambil  marah-marah," ucap Ara kepada adiknya.

"Iya Kak, engga apa-apa. Maafin juga ya, Kak. Terima kasih sudah diingatkan tadi," jawab Zia.

Ara mengangguk-anggukan kepalanya. Zia memeluk kakaknya. Ara pun menyambut pelukan adiknya itu.

"Ya sudah. Nanti hadiah kakak ini, kita pakai sama-sama ya," hibur Ara.

"Wah, makasih ya Kak," ucap Zia gembira.

"Iya, sama-sama," jawab Ara.

"Ingat ya, kita enggak boleh iri. Jangan iri kalau orang lain dapat kesenangan," Ara menasihati adiknya kembali. Kini dengan nada yang jauh lebih lembut.

"Siap, Bos!" ucap Zia penuh semangat.

"Aku akan semangat belajar lagi," tekad Zia.

"Jangan! Jangan Iri! Jangan iri dengki. Jangan! Jangan! Iri itu penyakit hati!"  Ara menyanyikan kalimat ini, diikuti adikya.

Baca juga:

0 Comments: