Headlines
Loading...
Oleh. Yala

Tidak bisa dimungkiri lagi, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa. Mulai dari sumberdaya air, hutan, hingga pertambangan. Seluruhnya melimpah dan bebas untuk dikelola. Namun, apakah rakyat mendulang kemakmuran dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut? Apakah hal itu menjadikan negara kita maju, kaya, hingga digdaya?

Sayangnya, kemakmuran rakyat hanya sekedar angan-angan. Begitu pula cita-cita menjadikan negera kita maju, kaya, hingga digdaya, bagaikan mengejar fatamorgana. Alih-alih sumberdaya alam dikelola dengan bijaksana, yang terjadi adalah eksploitasi yang tak ada ujungnya. Alhasil, nasib rakyat di negeri sendiri pun merana.

Salah satu sumberdaya alam Indonesia adalah tambang emas PT Freeport Indonesia. Per 2021 kemarin, kontrak Freeport diperpanjang hingga tahun 2041. Meski pemerintah Indonesia mengambil alih kepemilikan dengan divestasi 51% saham, tidak mengubah pengelolaan yang bersifat eksploitatif dengan mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan di sekitarnya (muslimahnews.net 8/2/2023). 

Limbah tailing yang merupakan sisa dari proses pengelolaan hasil tambang PT Freeport Indonesia menjadikan muara-muara sungai di kawasan Mimika dangkal. Pendangkalan tersebut membuat perahu-perahu masyarakat tidak dapat bergerak, sehingga kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Selain itu, warga juga mengalami krisis air bersih, kehilangan mata pencaharian, ikan mati massal, hingga gangguan penyakit menular (voaindonesia.com 2/2/2023).

Namun ternyata, pembuangan limbah tersebut nyatanya telah disetujui oleh Pemerintah Provinsi Papua dalam Surat keputusan Gubernur No. 540/2002 yang menyebutkan ada 4 sungai yang masuk dalam izin untuk pembuangan limbah tailing tersebut, yaitu Aghawagon, Otomona, Ajkwa dan Minajerwi. Sejak tahun 1974 hingga 2018, PT Freeport Indonesia telah mengalirkan limbah tailing melalui sungai Aghawagon dan Ajkwa yang selanjutnya ditempatkan di Modified Ajkwa Deposition Area (ModADA) seluas 230 km2 dengan limbah tailing yang dialirkan sebanyak 300 ribu ton/hari (voaindonesia.com 1/2/2023).

Menyikapi aspirasi korban limbah tailing PT Freeport Indonesia, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi menjanjikan 2 upaya, yaitu melakukan investigasi langsung ke lokasi yang terdampak limbah tailing dan mengadakan rapat resmi komisi dengan mengundang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta PT Freeport Indonesia guna mengonfirmasi hal tersebut (voaindonesia.com 2/2/2023)

Kekayaan alam Indonesia di era kapitalisme ini, mendorong manusia untuk terjerat dalam pemanfaatan SDA yang eksploitatif. Tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan semata  tanpa memperhitungkan  prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan. Akibatnya muncul berbagai bencana ekologis yang kompleks. Padahal hubungan permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan ini, berkaitan dengan nasib kemanusiaan pada umumnya.

Permasalahan ini terjadi akibat pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka telah melakukan kebijakan yang salah arah (misleading policy).

Memang, pada umumnya proses kerusakan tersebut relatif berjalan lamban, namun dampaknya bersifat kumulatif. Terjadilah krisis dengan penanggulangan yang sulit bahkan mahal untuk dilakukan.

Pelaku yang memberikan dampak negatif pada eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup ini pada umumnya merupakan golongan masyarakat kuat, baik secara sosial-politik maupun ekonomi yang memiliki hak-hak (property right) dan akses yang mudah terhadap kekuasaan (power). Sedangkan korbannya lagi-lagi adalah masyarakat miskin yang minim hak dan akses kekuasaan.

Begitulah hidup di sistem Kapitalisme seperti sekarang ini. Terlihat jelas ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Di mana si kaya akan semakin kaya sedangkan si miskin akan semakin merana. Keserakahan tersebut semakin menjadi-jadi ketika penguasa mengeksekusi regulasi dan UU. Regulasi yang ada menjadi karpet merah untuk menguasai dan melanggengkan kepentingannya di negeri ini.

Berbeda halnya jika Islam yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Islam memiliki aturan dan rumus yang baku dalam hal ini.

Pertama, Islam berprinsip pada kemaslahatan umat dalam pengelolaan SDA. Pengelolaan dan pemanfaatannya harus memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan hidup (AMDAL) sehingga tidak merusak lingkungan sekitar. 

Kedua, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum, sebagaimana hadits Nabi Saw, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud).

Ketiga, pengelolaan harta milik umum dapat dilakukan secara langsung oleh masyarakat dengan pengawasan negara agar tidak menimbulkan mudarat. Negara juga dapat mengelolanya untuk kepentingan rakyatnya. Negara tidak boleh menjual hasilnya untuk mendapatkan keuntungan. 

Keempat, negara tidak boleh menyerahkan kepemilikan umum kepada individu, swasta, bahkan asing. 

Kelima, sektor pertambangan menjadi salah satu pos penerimaan baitul maal. Distribusi hasil tambang hanya dikhususkan untuk rakyat, termasuk untuk biaya sarana dan fasilitas publik.

Terlihat jelas perbedaan antara sistem Kapitalisme dengan Islam dalam mengelola SDA. Islam sangat mementingkan kemaslahatan umat sedangkan Kapitalisme abai dan jauh dari kata memakmurkan umat.

Hanya dengan menerapkan sistem Islam umat menjadi sejahtera. Hanya dengan menerapkan sistem Islam pula negara akan maju, kaya, dan digdaya. Rakyat pun jauh dari kata 'merana'.

Wallahu'alam bishawwab

Baca juga:

0 Comments: