Cernak
Kereta Api Tut Tut Tut
Oleh. Rahma Ummu Zubair
Di malam yang sunyi, Ghazi terbangun dari tidurnya. "Umi, Umi, Umi," panggil Ghazi dari dalam kamarnya.
"Iya, Nak! Ada apa, Sayang?" tanya Ratna sambil menghampiri kamar Ghazi.
"Ghazi gerah, Mi," kata Ghazi sembari menggaruk-garuk lehernya.
"Umi bantu hidupkan kipas anginnya ya, Sayang," kata Ratna.
"Kok Umi pakai mukena?" tanya Ghazi. "Umi gak tidur?" lanjut Ghazi.
"Umi tadi tidur, Nak! Terus Umi terbangun pukul tiga tadi, terus Umi salat sunnah, Sayang. Mas Ghazi ikut salat juga yuk!" ajak Ratna.
Dengan rasa kantuk yang masih melekat, Ghazi pun menolak ajakan ibunya sambil menguap. Kipas angin yang berhembus membuat badan Ghazi yang gerah menjadi lebih segar dan nyaman, namun Ghazi lebih memilih tidur lagi. Dan Ratna pun tidak memaksa Ghazi untuk salat, Ratna melanjutkan salat tahajudnya.
Ketika waktu subuh tiba, kembali Ratna membangunkan Ghazi untuk salat.
"Nak, ayo bangun! Sudah subuh, Sayang," kata Ratna.
"Emmmm," jawab Ghazi sambil mengusap air liurnya.
Berkali-kali Ratna membangunkan Ghazi, hingga waktu salat berjamaah hampir tiba.
"Ciprat! Ciprat! Ciprat!" Ratna memercikkan air ke wajah Ghazi. "Aduh, Umi!" balas Ghazi. "Ayo bangun, Sayang, sudah ditunggu Abi dari tadi di ruang tamu. "Iya, Umi," jawab Ghazi.
"Ayo cepat ke kamar mandi, Nak!" ajak Ratna agak kesal yang melihat Ghazi berjalan lambat dengan raga yang belum tegap, sebab kesadaran yang belum genap setelah bangun tidur.
"Aku mau langsung salat, aku gak mau wudu, di luar dingin, Mi," kata Ghazi.
"Loh, iya gak boleh sayang, syarat sah salat itu harus punya wudu, Mas Ghazi baru bangun tidur berarti sedang nggak punya wudu, Nak!". kata Ratna.
"Gak mau kok, Mi," kata Ghazi setengah merengek.
Adam mencoba menenangkan, dan meminta Ratna untuk mengizinkan Ghazi berangkat ke masjid tanpa wudu. "Nanti dinasehati lagi kalau Ghazi sudah lebih sadar, dia masih baru bangun tidur mungkin belum sempurna kesadarannya," bisik Adam ke telinga Ratna. Ratna pun mengalah dan membiarkan Ghazi berangkat ke masjid tanpa berwudu.
Di jalan pulang dari salat Subuh, Adam mengajak Ghazi mampir ke stasiun kereta api untuk melihat kereta api yang hendak tiba.
Tak lama kemudian, "Tut Tut Tut, Gunjes! Gunjes! Gunjes!," suara kereta api melintasi relnya.
Adam pun dengan antusias memperlihatkan kereta api yang sedang tiba itu kepada Ghazi.
"Ghazi, keretanya sudah datang, wuih keren banget ya, aman di jalurnya," kata Adam.
"Iya, Bi, Padahal dari arah yang berlawanan datang juga kereta api yang berhenti di stasiun ini, tetapi tidak tabrakan ya, Bi," kata Ghazi.
"Iya, Sayang, karena sudah berjalan di jalur yang benar, tidak keluar dari relnya, Nah kalau ada kereta api yang keluar dari jalur relnya gimana dong?" tanya Adam.
"Iya jatuh, Bi, kereta api nya. Dan juga bisa terjadi tabrakan kalau gak sesuai jalurnya," kata Ghazi.
"MasyaAllah, Benar!" kata Adam. "Kita sebagai muslim juga punya rel loh, Nak," kata Adam.
"Hah, iya kah Abi?" tanya Ghazi.
"Rel yang dimaksud itu adalah syariat Islam, Nak. Aturan hidup yang Allah perintahkan melalui utusannya yaitu Nabi Muhammad Saw. Mas Ghazi sudah berjalan sesuai rel pagi ini?" pancing Adam.
"Oh iya, Bi, aku tadi gak mau wudu. Padahal Umi sudah mengingatkan," sesal Ghazi.
"Salat yang gak punya wudu, sesuai dengan aturan Rasulullah atau enggak ya? Sah atau enggak ya salatnya?" tanya Adam.
"Enggak sah, Abi," kata Ghazi.
"Berarti ke depannya Mas Ghazi harus berwudu ya jika hendak menunaikan salat," kata Adam.
"Iya, Abi," jawab Ghazi.
"Nah, nanti Mas Ghazi minta maaf kepada Umi ya, dan berusaha untuk selalu sesuai dengan aturan hidup yang telah diajarkan oleh Rasulullah," kata Adam.
"Iya, Abi, Ghazi juga minta maaf ke Abi, maaf ya Abi!" kata Ghazi.
"Iya, Sayang, semoga Allah menerima segala amal ibadah kita," kata Adam.
"Aamiin ya rabbal alamin," kata Ghazi dan Adam serempak. [ ]
0 Comments: