OPINI
Mahasiswa UI Korban Tabrak Lari, Berujung Menjadi Tersangka
Oleh. Kursiyah Azis
Para pemangku kebijakan kembali mempertontonkan ketidakbecusan dalam menjalankan tugas mereka sebagai aparat penegak hukum. Pasalnya korban tabrak lari yang menewaskan seorang mahasiswa UI yang melibatkan seorang pensiunan anggota polri AKBP (Purn) Eko Setia BW, berujung pada penetapan sebagai tersangka.
Muhammad Hasya Atallah seorang mahasiswa UI mengalami kecelakaan di Srengseng sawah, kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis.(6/1/2023) malam.
Mahasiswa FISIP UI tersebut meninggal sesaat setelah tubuhnya dilindas kendaraan roda empat yang sedang di kendarai seorang pensiunan anggota polri AKBP (Purn) Eko Setia Budi Wahono. (Republika.co.id.(28/1/2023)
Sementara itu berdasarkan hasil penyelidikan yang melibatkan 12 orang saksi termasuk saksi ahli pidana. Berkesimpulan bahwa pada pihak pensiunan anggota polri tersebut tidak di temukan unsur yang memenuhi sebagian syarat di tetapkannya sebagai tersangka, sehingga pihak kepolisian menetapkan korban sebagai tersangka dengan alasan karena kelalaian korban itu sendiri dalam mengendarai sepeda motor, sehingga menyebabkan nyawanya hilang sendiri. Ujar Dirlantas Polda metro jaya Kombes pol Latif Usman, Jumat (Kompas.tv.27/1/2023)
Pada hakikatnya, fenomena memutarbalikkan fakta yang kerapkali di lakukan oleh aparat kepolisian di negeri ini, bukan hal baru. Sebagaimana yang terjadi pada kasus pembunuhan yang di lakukan Ferdy Sambo terhadap Brigadir J pada awal September lalu.
Hingga kini kasus tersebut masih berjalan bak drama sinetron yang tak berkesudahan. Hal tersebut di dasari oleh beberapa hal. Pertama, hukum yang berlaku di negri ini adalah hukum buatan manusia, sehingga penerapannya pun cenderung tumpul ke atas tajam ke bawah. Bahkan hukum dapat di perjualbelikan oleh sekelompok orang yang memiliki banyak uang dan punya kuasa.
Kedua, Mahasiswa UI yang notabene nya ia adalah bagian dari masyarakat biasa memang akan cenderung menjadi sasaran di berlakukannya hukum itu sendiri, meskipun sejatinya ia adalah korban sekalipun, tetap saja ia akan di klaim sebagai tersangka atas kasus kecelakaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa nya sendiri.
Tabiat sistem demokrasi
Sudah rahasia umum, bahwa dalam sistem demokrasi. Kekuasaan membuat hukum mutlak ada di tangan manusia, sehingga tidak mengherankan jika hukum yang berlaku pun bisa di kondisikan sesuai kehendak hawa nafsu manusia itu sendiri. Tak peduli siapa yang berada di pihak benar dan siapa yang salah. Selagi kasus tersebut melibatkan orang-orang yang punya andil dalam lingkungan kekuasaan, maka hukum tidak berlaku bagi mereka.
Kendati fakta membuktikan hal tersebut, para aparat penegak hukum akan tetap memutarbalikkan fakta dengan alasan yang sulit di cerna oleh akal manusia. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa dalam sistem demokrasi, hukum tidak di buat untuk tujuan mengadili perkara, namun untuk menjadi alat para penguasa untuk menindas rakyatnya sendiri.
Ya, begitulah tabiat ilmiah sistem demokrasi, dimana hukum buatan manusia yang diterapkan akan senantiasa menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak yang lain. Keadilan adalah sesuatu yang mustahil di dapatkan, sehingga ketika ada korban yang di jadikan tersangka, maka itu adalah suatu kewajaran.
Pandangan Syara'
Sebagaimana dalam sistem demokrasi, sistem Islam juga memiliki seperangkat aturan kehidupan termasuk hukum dan sanksinya. Bedanya dalam sistem Islam, manusia tidak di benarkan membuat hukum sendiri karena segala aturan dan hukum sudah di tetapkan oleh Pencipta, sehingga manusia hanya menjalankan dan menerapkannya sesuai hukum Syara'. Apalagi menyangkut persoalan jinayat maka hukum akan di berlakukan dengan seadil-adilnya tanpa memandang status sosial. Siapa yang terbukti sebagai pelaku maka ia berhak mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai hukum Syara'.
Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual saja, namun seluruh aspek kehidupan manusia turut diatur, termasuk soal kejahatan yang di lakukan oleh seorang muslim atas orang lain. Imam Malik dalam kitab al- Muwaththa menerangkan suatu kisah.
Dimana pernah ada seorang lelaki dari Bani Sa'ad bin Laits yang sedang mengendarai kudanya dengan kencang, tiba-tiba kaki kuda tersebut menginjak kaki seorang muslim dari suku Juhainah. Darahpun mengalir bercucuran dari luka tersebut. Hingga akhirnya lelaki itu meninggal dunia karena kehabisan darah. Kasus ini pun di sampaikan kepada Umar. Lalu apa tanggapan sang pemimpin?
"Apakah kalian berani bersumpah sebanyak 50 kali bahwa lelaki yang meninggal itu bukan di sebabkan karena terinjak kaki kuda?" tanya Umar kepada si pelaku dan kaum kerabatnya.
Mereka tidak mau bersumpah. Apalagi si pelaku sudah menyatakan rasa penyesalan. Namun Umar tetap mengajukan pertanyaan itu hingga tiga kali. Hingga akhirnya ia pun memutuskan hukuman yakni separuh diyat di bebankan kepada Bani Sa'ad dan seperuhnya lagi di bebankan kepada penunggang kuda atau si pelaku.
Dari kisah tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam sistem Islam, penerapan hukum-hukum tidak memandang status sosial. Siapa yang bersalah maka ia berhak menerima sanksi, sehingga tidak ada celah untuk memutarbalikkan fakta bagi pihak yang terbukti bersalah, sebab rasa takut kepada Allah mendominasi hati setiap muslim.
Dengan demikian, sudah seharusnya seorang muslim memiliki rasa takut kepada Allah SWT, ketika melakukan kesalahan baik di sengaja ataupun tidak di sengaja. Kita harus berani bertanggungjawab tanpa harus memutarbalikkan fakta demi keselamatan sendiri yang bersifat sementara. Namun hal itu tidak akan bisa di lakukan dalam sistem demokrasi, sebab hukum buatan manusia tidak akan pernah mampu memuaskan akal. Hanya dalam sistem Islam saja hukum bisa di terapkan dengan seadil-adilnya. Karena itu, mengapa kita tidak mengambilnya? Wallahu alam bishawab.
0 Comments: