Milenial
Oversharing Harus Diwaspadai
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Sobi Bestie, pernah tidak kalian menemukan banyak hal, terutama masalah hubungan pribadi, emosi, dan lain-lain? Nah, yang kalian temukan itu bisa jadi adalah 'oversharing' yang dilakukan oleh konten-konten kreatornya. Menurut Sobi Bestie, baik tidak sih 'oversharing' di media sosial itu?
'Oversharing' (terlalu banyak berbagi kehidupan pribadi) di medsos, dan memamerkan aktivitas keseharian atau curhat urusan pribadi, semua itu termasuk kecanduan medsos yang harus diwaspadai. Sebab, perilaku 'oversharing' yang disebabkan oleh perasaan takut ketinggalan bisa menimbulkan iri, lho. Misal, seseorang melihat liburan atau gaya hidup temannya yang mewah dan menyenangkan, bisa jadi dia tergoda untuk melakukan hal serupa. Kemudian dia membagi-bagikan foto liburan temannya tersebut agar bisa menarik perhatian temannya yang lain sekaligus dikagumi.
Rasa takut ketinggalan ini sebenarnya memberikan efek merugikan lebih besar bagi kesehatan mental, yaitu ketidakpuasan ekstrem. Hal ini juga bisa menimbulkan stress, karena mungkin saja ada rasa kecewa bila tidak ada 'like' atau komentar, atau tidak disukai oleh teman-teman. Tentu saja ini juga berbahaya. Inilah mengapa 'oversharing' itu berhubungan dengan kondisi kesehatan mental, seperti gangguan kecemasan.
Efek buruk lainnya dari 'oversharing' ini, menurut studi kasus, bahwa tindak kejahatan tertinggi itu berasal dari interaksi yang terjadi lewat medsos. Di antaranya:
- Kasus pencurian mungkin saja terjadi karena pencuri mengetahui lokasi korban dari akun seseorang yang rajin mengupload dia sedang berada di mana. Akibatnya, rumahnya disatroni pencuri.
- Kasus penipuan atau bahkan juga kejahatan seksual akibat pergaulan sosial yang terjalin di media sosial.
Jadi sangat jelas kan, efek buruk 'oversharing' ini jika sering dilakukan? Sampai-sampai tirto.id menyampaikan pada 28 Desember 2020 lalu, tentang maraknya penggunaan media sosial juga membuat batas antara dunia maya dengan nyata menjadi bias. Akhirnya, berbagi aktivitas atau apa pun secara berlebihan di media sosial dianggap sebagai hal biasa, bahkan menarik untuk dilakukan.
Sobi Bestie, kita harus bertanya, mengapa perilaku itu ada? Dulu, 'oversharing' tidak marak dan meluas. Beragam curhat pribadi, dan sikap pamer diri hanya terbatas. Namun, sekarang di era komunikasi online dunia maya, muncul 'oversharing', yang hal ini menimbulkan gejala penyakit mental.
Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika dunia, berawal dari adanya revolusi industri yang diatur ideologi kapitalis. Adanya revolusi industri tahap tiga yang dimulai dengan penawaran komputer, internet kemudian disusul revolusi industri 4.0, internet office dan lain sebagainya yang akhirnya menciptakan alat komunikasi massal. Media sosial tetap tidak bisa dilepaskan dari nilai ideologi yang menghasilkan teknologi tersebut. Inilah ideologi kapitalis liberal yang berdasarkan pada kebebasan dan HAM. Alat komunikasi massal ini pun akhirnya memberikan posisi 'tuan' pada setiap orang untuk menjadi sumber berita individu-individu tersebut. Selain itu, nilai kebebasan memberikan peluang buat siapapun untuk menyampaikan apapun hingga yang berhubungan dengan urusan pribadi. Di sisi lain, media sosial juga menjadi sarana untuk meraup uang. Hal ini menyebabkan para individu berlomba-lomba membuat konten untuk menarik minat netizen.
Nah, Sobi, di tengah kehidupan sekuler kapitalis, tidak ada standar layak atau tidak layak, boleh tidak boleh. Apa saja yang diupload seseorang melahirkan sebuah cerita. Hingga akhirnya yang meng-upload ini kerap mengunggah soal kehidupan pribadi. Ceritanya membuat orang menjadi penasaran dengan cerita selanjutnya, termasuk aib-aibnya. Semua ini tidak akan terjadi di tengah masyarakat yang diatur dengan syariat Islam.
Dalam syariat Islam, ada ketetapan, konten mana yang boleh dan tidak boleh disebar. Dalam pribadi seorang muslim, harus ada banyak hal yang patut disyukuri. Semua keluh kesah tidak harus ditumpahkan lewat medsos, Sobi. Di tengah cobaan yang dihadapi setiap orang, pasti ada hal yang patut mereka syukuri.
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam QS.Ibrahim: 7,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan ketika Tuhan kalian mengumumkan; Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti aku menambah (nikmat) pada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmatku), maka sesungguhnya azabku sangat pedih.”
Bila kita mengingkari nikmat-Nya, berarti kita telah bersikap kufur, seperti merasa tidak puas, padahal perasaan ini hanya menyisakan siksaan bagi jiwanya sendiri.
Oleh karena itu, Sobi Bestie, sejatinya fungsi dasar media massa adalah melayani sebuah ideologi (cara pandang) pada kehidupan.
Dalam Islam, media adalah sarana atau alat untuk:
- Menguatkan akidah umat islam.
- Melakukan 'muhasabah' bagi para pemimpin yang melalaikan hak rakyat.
- Menyebarkan materi ilmu pengetahuan.
Selain itu, ketaatan kaum muslimin pada syariat juga menjadi sarana dakwah Islam ke luar negeri. Ini bertujuan agar dunia mengetahui bagaimana Islam dapat menyejahterakan kehidupan masyarakat. Dengan acuan ini, kita tidak akan mendapati individu yang mengumbar aurat, pamer harta, curhat tentang masalah rumah tangga dan lain sebagainya. Karena semua masalah dikembalikan kepada ketetapan hukum syara'.
Yang harus kita yakini, ideologi Islam itu serius. Cara pandang kehidupannya serius bukan main-main. Jadi pemikiran atau konsep kehidupan itu tinggi, hukum-hukum syara' nya diterapkan agar terbentuk karakter manusia yang luhur, mulia, juga beradab. Dengan begitu, tidak akan ada pemikiran yang remeh dan merendahkan martabat. Keluhurannya ditekankan pada akal dan perilaku, bukan pada fisik, materi.
Nah, Sobi Bestie, sebelum terlambat, Yuk! kita manfaatkan media sosial agar kita tidak terjebak ke dalam 'oversharing'. Itulah mengapa, Sobi, kita perlu memiliki pemahaman Islam agar tidak mengikuti tren yang salah ya. Yuk! tetap bersemangat mengkaji Islam secara keseluruhan, agar kita tidak gagal paham dan tercerahkan.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: