OPINI
Perpanjang Masa Jabatan Kepala Desa, Haruskah?
Oleh. Ummu Faiha Hasna
Penyampaian pendapat dari sejumlah kepala desa di depan gedung DPR RI pada 17/1/2023 menuai perdebatan. Walaupun mereka diterima anggota dewan dan dijanjikan tuntutannya akan diakomodir dalam revisi UU desa, namun tidak sedikit yang justru mengkritik. Sebab, tuntutan penambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun berpotensi melanggengkan oligarki.
Peneliti kebijakan dari Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro beranggapan indikator pembangunan desa bukan dari masalah masa jabatan. Melainkan soal kepercayaan warga desa kepada kinerja aparatur desa mereka. Baginya, para kepala desa sebaiknya fokus kerja daripada merisaukan masa jabatan. Dia mengingatkan kinerja yang baik tentu akan membawa efek elektabilitas atau kriteria keterpilihan. Bila mengacu pada indikator kinerja, kata dia, maka kebijakan perpanjangan jabatan dikhawatirkan sebagai jalan untuk mendorong kepentingan pribadi. Hal ini diperkuat bila tidak ada warga desa yang meminta jabatan kades diperpanjang.(Siarindo, Kamis, 19/1/2023)
Sementara itu, melansir tirto.id pada 19/2/2023, analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, menduga ada kesalahan logika dalam tuntutan masa jabatan kepala desa. Ia menilai opsi yang diambil sebaiknya adalah semakin dibatasi bukan diperpanjang.
Dedi menegur bahwa tidak sedikit kepala desa tersangkut kasus korupsi. Perpanjangan masa jabatan malah akan membuat peluang korupsi semakin besar.
Dedi meluruskan kebijakan penambahan masa jabatan patut dicurigai sebagai bagian dari kebijakan gratifikatif. Apalagi, situasi saat ini menjelang pemilu. Dia khawatir ada bargaining politik terkait regulasi itu. Dan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemunculan gerakan kepala desa mendukung tiga periode. Sungguh miris, perpanjangan masa jabatan diusulkan dengan alasan untuk melaksanakan program pembangunan.
Inilah fakta sistem rusak demokrasi yang diterapkan di negeri ini. Akar permasalahannya ada pada sistem yang menopang aturan lamanya masa jabatan itu sendiri yaitu demokrasi.
Tidak mungkin akan terlahir pemimpin yang pro-umat dalam rahim demokrasi. Pasalnya para kandidat tidak bisa dilepaskan dari oligarki dan para pemilik modal (investor). Kontestasi politik yang begitu mahal, meniscayakan keterlibatan para pemilik cuan dan dukungan penuh oligarki.
Politik transaksional atau politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan umum di Indonesia. Yakni jual beli jabatan dan jual beli kebijakan yang senantiasa membingkai kinerja mereka. Maka, tidak heran kebijakan hanya berputar pada kepentingan korporasi sang pemilik harta dan oligarki sang pemilik kuasa. Sudah bisa dipastikan, pejabat yang lahir dari sistem pemilu demokrasi tidak akan pernah melayani umat kecuali hanyalah sedikit yang itu pun hanya untuk politik pencitraan. Sebaliknya mereka berusaha memperlama masa jabatan agar meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam sistem rusak saat ini, jabatan dan kekuasaannya menjadi alat untuk memperkaya diri dan memfasilitasi para pengusaha sejati, yakni untuk mencapai tujuannya sendiri bukan untuk kepentingan bangsanya.
Lamanya masa jabatan tidak akan menjadi persoalan. Selama kekuasaan ditempatkan sebagai amanah dalam mengurus rakyat yang disadari akan dipertanggungjawabkan kepada Allah nanti di akhir kehidupan dunia (akhirat). Paradigma seperti ini hanya ada dalam sistem politik Islam yang menjadikan syariat Islam satu-satunya kebijakan dalam menetapkan aturan dan kebijakan.
Dalam kacamata Islam, penguasa atau pemimpin sejatinya adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin bertanggung jawab atas rakyatnya yang dipimpinnya. Sebab, kelak dia akan dimintai pertanggungjawabannya di yaumil akhir atas amanah kepemimpinannya itu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam: "Imam/ra'ain atau pengembara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR. Bukhari)
Maka, pemimpin wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi dengan baik. Pemimpin pun berkewajiban menjaga segala kebutuhan kolektif mereka seperti pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Semua kekuasaan dalam Islam, ditujukan semata-mata untuk menegakkan hukum Allah subhanahu wata'ala dan amal ma'ruf nahi munkar.
Tata aturan dalam pemerintahan Islam tidak hanya efektif dan efisien, akan tetapi juga menutup celah lahirnya diktatorisme kesewenang-wenangan ataupun dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu. Karena, baik dari rakyat maupun pemimpin (penguasa) tidak diberi hak membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain. Selain itu, berkaitan dengan masa jabatan negara dan pemimpin negara di bawahnya yang dibatasi oleh wilayah yakni wali dan Amil tidak dibatasi oleh waktu dan periode melainkan dibatasi dengan hukum syariat. Jabatan khalifah dan pemimpin-pemimpin boleh sebentar atau lama. Ia boleh diberhentikan di tengah jalan kapan saja jika terbukti melanggar syariat dan boleh menjabat hingga akhir hayat jika taat terhadap syariat, khalifah bisa tetap dipertahankan selama masyarakat masih menyukainya dan selama tidak ada aturan yang dilanggar. Artinya, membatasi jabatan khalifah adalah syarat tertentu. Selama masih memenuhi syarat tersebut, maka ia akan menjabat sampai meninggal atau sampai tidak memenuhi salah satu syarat sebagai penguasa kaum muslimin.
Dalam riwayat Imam Muslim, dari jalur Ummu al Husain disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Selama ia masih memimpin kalian sesuai dengan kitabullah maka ia wajib didengar dan ditaati."(HR. Muslim)
Dengan begitu, maka sejatinya hanya penerapan syariat Islam secara sempurna yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah serta mengayomi rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Wallahu a'lam bish shawab. [ ]
0 Comments: