Oleh. Maya Rohmah
Sekolah masih tampak sepi. Murid-murid belum banyak yang datang. Hanya ada sedikit murid di tiap kelas yang Tiara lewati. Ada yang menyapu, membersihkan jendela, hingga mengganti air dalam vas bunga. Tampaknya mereka sedang mendapat giliran piket.
Menoleh ke lapangan sekolah, Tiara kaget. Ada Sasya di sana, sedang duduk di bangku semen yang berjajar di pinggir lapangan.
Masih pagi kok sudah datang? Tak biasanya. Dengan perasaan heran, Tiara cepat-cepat masuk ke kelasnya. Bilang maaf pada teman yang piket karena sudah menginjak lantai yang sudah bersih disapu. Dia letakkan tasnya di meja lalu menghambur kembali ke luar kelas. Langsung menuju lapangan. Tiara melambaikan tangan dan tersenyum pada Sasya. Tak ada respon. Tampaknya Sasya sedang melamun.
"Hai! Kok sudah datang? Tumben." Tiara duduk di samping Sasya. Disenggolnya lengan Sasya dengan lengannya. Sasya bergeming. Wajahnya dipenuhi kabut.
"Kenapa? Eh, ada PR lho hari ini. Kamu sudah mengerjakan, Sya?" Sasya hanya mengangguk. Dia menatap jauh ke seberang lapangan.
"Ih, kamu tuh kenapa? Ditanya malah diam saja!" Tiara kesal.
"Ayo masuk." Bukannya menjawab, Sasya malah mengajak Tiara masuk kelas. Tanpa menunggu persetujuan temannya, dia berdiri dan melangkah pergi. Tiara menyusul di belakangnya.
Mereka duduk sebangku. Sepanjang pelajaran, Sasya kadang memperhatikan guru, kadang tidak. Dia sibuk mencorat-coret buku tulis khusus bersampul biru. Entah apa yang dia tulis di sana. Itu pasti buku curhatnya karena semua buku pelajarannya disampul kertas warna coklat.
Waktu istirahat, Sasya enggan diajak ke kantin. Dia menelungkupkan kepalanya ke mejanya.
"Sya, kamu kenapa sih? Bawaannya galau begitu. Seperti ada yang dipikirkan." Tiara urung ke kantin.
Sasya hanya menggeleng lemas dan berkata, "Tidak ada apa-apa," jawabnya pendek.
"Oh, begitu lagi jawabnya. Ya sudah, kalau enggak mau cerita, aku enggak mau berteman lagi sama kamu. Aku mau pindah, duduk sama Resti." Tiara kesal. Dia mengeluarkan jurus baru. Buku yang ada di laci meja dimasukkannya ke tas.
Sasya berseru, "Eh, jangan!" Dia memegang lengan Tiara. "Besok aku cerita." Matanya menatap Tiara. Memohon.
Tiara menarik napas panjang. "Janji?"
"Iya, janji!" Keduanya saling menautkan janji kelingking. Tanda sepakat.
***
Usai sekolah, Sasya langsung pulang ke rumah. Mama menjawab salamnya dari kamar. Tidak menyambutnya di pintu. Dulu, tiap Sasya pulang, Mama menunggunya di teras. Terkadang, saat Sasya membuka pintu rumah, Mama sudah bersiap di balik pintu dan mengagetkannya. Sekarang tidak.
Bau minyak telon dan bedak bayi menyerbu indera penciumannya. Sasya melangkah ke kamar Mama. Berdiri di pintu yang terbuka. Mamanya sedang berbaring di tempat tidur, sedang menyusui adik bayi. Tak lama, adik bayinya menangis. Mama duduk dan memeriksa popoknya, jangan-jangan pipis. Adik bayi terus menangis. Mama turun dari tempat tidur, mengambil popok bersih.
Seketika itu, mamanya menengok ke belakang, ke arah pintu. "Eh, Kakak. Ganti seragamnya dulu ya, Kak. Sudah salat Dzuhur di sekolah, kan?"
Sasya mengangguk.
"Ya sudah, habis ganti pakaian terus makan, ya. Ada telur orak-arik dan tumis pakis kesukaan Kakak lho."
Sasya mengangguk lagi dan menuju kamarnya. Malas. Dia berpikir kalau mamanya hanya memperhatikan adik. Biasanya dulu menemani Sasya makan.
Saat Sasya mengerjakan tugas sekolah di ruang tengah, Mama menghampirinya. "Kak, PR nya sudah selesai dikerjakan?"
"Sudah, Ma."
"Bisa tolong Mama, jaga Adik? Sebentar saja. Mama mulas. Sakit perut. Mau ke kamar mandi dulu."
"Iya, Ma."
Mama bergegas ke kamar mandi. Sedangkan Sasya membereskan buku dan alat tulis terlebih dahulu, memasukkannya ke tas, lalu menyimpan tasnya di kamar.
Di kamar Mama, tampak adik bayinya sedang tidur. Sasya mondar-mandir di kamar. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Satu pikiran terlintas di benaknya. Dia mendekati adiknya. Diamatinya adiknya. Dia merasa kesal. Dipegangnya kaki adiknya, ditekannya. Sang bayi sempat kaget, tapi dia tetap tidur. Tangan Sasya pun bergerak ke arah muka. Ditekannya beberapa kali pipi sang adik bagai squishy. "Tetot, tetooot!" Gemas campur kesal.
Tentu saja adiknya menangis.
"Kaaaaak, Adik kenapa, Kak?" Mama berteriak dari kamar mandi.
"Enggak apa-apa kok, Ma." Mata anak kelas 3 SD itu menatap tajam adik bayinya. "Ssssh ... Diam! Diam, enggak?" Ditepuk-tepuknya badan adiknya. Tangis bayi makin kencang.
Mama berlari datang dan meraih adik bayi. Seketika, tangisan penuh drama itu terhenti.
"Ratu drama!" Sasya bergumam pelan sambil berlalu.
***
Keesokan harinya sepulang sekolah, Tiara dan Sasya berjalan kaki pulang ke rumah Tiara untuk mengerjakan tugas kelompok.
Setelah berjalan beberapa puluh meter, keduanya menengok ke kiri dan kanan. Setelah satu motor melintas, mereka menyeberangi jalan. Masuk ke gang, melangkah melewati tiga rumah dan sampailah di rumah Tiara.
Ibunya Tiara menyambut mereka dengan hangat. Ibu Tiara menyajikan telur orak-arik, tumis pakis dan dua gelas es jeruk di meja makan.
"Ayo, Nak. Dimakan. Kata Tiara kamu suka telur orak-arik dan tumis pakis, ya?"
"Iya, Tante. Suka." Mata Sasya berbinar melihat makanan kesukaannya.
"Kapan terakhir kamu makan ini?"
"Hmm ... kemarin Tante." Sasya menerima piring berisi nasi dengan lauk kesukaannya dari ibunya Tiara. Setelah berdoa mereka mulai makan.
Saat makan, Tiara menagih janji Sasya. Sasya tak bisa mengelak lagi.
"Adik bayiku sudah lahir," cerita Sasya.
Tiara dan ibunya langsung mengucapkan selamat. "Lho, harusnya kamu senang dong, punya adik." Tiara berhenti mengunyah, dia berpaling ke arah Sasya.
"Tapi ..., aku tidak suka," kata Sasya dengan wajah muram.
"Kenapa?" Tiara mengerutkan keningnya.
"Aku kesal, Ra. Mama dan Papa lebih memperhatikan adik bayi dibanding aku. Pasti, kasih sayang orangtuaku sudah berkurang."
"Enggak, Sya. Pasti mereka tetap sayang sama kamu. Percaya deh," kata Tiara meyakinkan sahabatnya.
"Sayang dari mananya? Mama jarang menyambutku kalau aku pulang sekolah. Mama juga jarang menemaniku bikin PR. Mama terlalu sibuk dengan adik bayi."
"Nak, pasti mamamu tetap sayang sama kamu. Kalau Mama kamu enggak sayang, mana mungkin beliau berusaha membuatkan makanan kesukaan kamu setelah adik bayi lahir," ibunya Tiara angkat bicara.
"Hmm ...." Sasya berpikir.
"Oh, ya. Tadi, sebelum kalian sampai ke rumah, mamamu telepon Tante. Menanyakan apakah anak kesayangannya sudah sampai. Mamamu juga minta tolong Tante untuk mengantarkan kamu pulang kalau tugas kelompok kalian sudah selesai. Terlihat sekali lho kalau mamamu perhatian ...," cerita ibunya Sasya lembut.
"Kalau mamamu terlihat repot dengan adik bayi, mohon dimaafkan ya, Nak. Karena adik bayi belum bisa melakukan apa-apa sendiri .... Adik bayi masih harus banyak dibantu. Sama seperti Sasya dan Tiara dulu saat masih bayi." Ibu Tiara tersenyum dan menatap Tiara dan Sasya.
Sasya pun mengerti. Dia berjanji akan menyayangi adiknya dan memahami kesibukan mamanya.
0 Comments: