Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Hanik

Siang itu, Ali pulang sekolah bersama Aldi, Firman dan Rois. Rencananya mereka akan belajar bersama di rumah Ali. Di sepanjang jalan, mereka bercanda. Meski terik matahari terasa menyengat, namun tidak menyurutkan langkah mereka untuk menikmati perjalanan pulang.

Saat mereka sedang asyik berjalan, tiba-tiba terdengar suara anak bertengkar. Mereka saling pandang dan berusaha mencari arah suara datang.

"Sepertinya suara itu dari balik pohon besar itu," kata Firman sambil menunjuk pohon besar yang ada di tanah kebun Pak Rahmat.
"Eh iya benar. Ayo kita ke sana," ajak Ali pada teman-temannya.

Mereka berlari ke kebun Pak Rahmat. Di balik pohon ternyata ada dua anak yang sedang berkelahi. Mereka saling mencengkeram kerah baju. Dua anak itu tak asing lagi bagi mereka.

"Arif...Budi....sedang apa kalian?" Teriak Ali.
Arif dan Budi tidak bergeming. Terlihat wajah mereka merah padam menahan amarah. 
Aldo menghampiri Arif dan memegang tangannya. Sementara Firman menghampiri dan memegang tangan Budi. Aldo dan Firman mencoba mencegah keduanya agar tidak saling memukul. Rois mencoba melerai mereka berdua.

"Arif...Budi...ada masalah apa? Kenapa kalian berkelahi? Kalau ada masalah kan bisa diselesaikan baik-baik..." Kata Ali pada mereka.

"Budi yang duluan mengejek. Dia mengolok-olok nama bapakku. Aku tidak terima, tapi Budi tidak mau minta maaf," kata Arif dengan nada jengkel.
"Budi, apa betul kamu mengolok-olok nama bapak Arif? Kenapa kamu melakukannya," tanya Ali.

Budi menunduk. Tak terasa butiran air mata menetes membasahi pipinya.
"Arif sudah berkata-kata yang tidak enak padaku. Dia katakan, aku anak yang miskin, tidak punya apa-apa. Lain itu yang lebih menyakitkan dia bilang kalau aku tidak punya bapak," kata Budi dengan sedih.

Ali menghela nafas. Jadi itu sebabnya mereka berdua bertengkar dan berkelahi.
"Arif, jika benar yang dikatakan Budi, maka tak baik kamu lakukan seperti itu. Jangan pernah mengejek kehidupan orang lain. Budi juga tidak mau jadi orang miskin dan anak yatim. Tapi takdirlah yang membuatnya begitu. Posisikan dirimu jika jadi seperti Budi, pasti kamu juga tidak akan mau," kata Ali menasehati Arif.

"Budi, semarah apapun kamu sama Arif, tidak boleh sampai menjadikan orang tua sebagai bahan ejekan. Arif memang salah. Tapi tidak boleh kamu membalasnya dengan membawa nama bapaknya. Allah tidak suka jika ada anak saling bertengkar apalagi dengan saling mengejek nama orang tua," kata Ali kepada Budi.

Mendengar nasehat Ali, Arif dan Budi menduduk. Dalam hati, mereka membenarkan apa yang dikatakan Ali. 

"Sekarang  saling memaafkan ya. Tak baik kalau marahan terus, apalagi sampai berkelahi," kata Ali sambil memegang pundak Arif dan Budi.

Arif dan Budi saling memandang. Mencoba tersenyum satu sama lainnya. berjabat tangan dan sambil meminta maaf.

"Arif, maaf ya aku sudah mengejek nama bapakmu. Aku janji tidak akan seperti itu lagi," kata Budi meminta maaf.
"Budi, aku juga meminta maaf. Kalau tadi aku tidak mengejekmu, pasti kamu juga tidak akan mengejekku. Sudah lupakan saja ya..." Kata Arif sambil memeluk Budi.

Ali, Firman, Ardi dan Rois saling memandang dan tersenyum. Mereka bahagia melihat Arif dan Budi sudah baikan.

"Hei, sudah...sudah...ayo sekarang kita pulang," kata Ali membuyarkan pelukan Arif dan Budi.
"Kalian mau ke mana, koq barengan?" Tanya Arif.
"Kamu mau ke rumah Ali. Mau belajar bersama. Tadi kan ada tugas matematika, dan kami belum paham cara mengerjakan. Jadi kami minta bantuan Ali untuk menjelaskan," jawab Rois.
"Oh, gitu ya... Kalau aku ikut boleh tidak?" Tanya Budi.
"Sangat...sangat...boleh," jawab Ali.
"Aku juga ikut," kata Arif.

Semua tertawa bersama. Hati merasa lega, karena tidak ada lagi permusuhan di antara mereka. Hanya ada rasa pertemanan yang hangat. Semua karena mau saling menyadari kesalahan dan memaafkan. Allah sangat menyukai orang yang pemaaf.

Baca juga:

0 Comments: