Cernak
Sepatu yang Hilang
Oleh. Muflihah S Leha
Hujan baru saja reda, meski hanya sebentar namun semua pohon tampak segar dan basah semua, hujan di siang hari membuat ibu Ana merasa khawatir memikirkan anaknya yang belum pulang sekolah.
Ibu Ana menunggu Sauqi yang masih sekolah madrasah, ia menunggu di depan rumah sambil memotong kuku-kukunya.
Karena sudah terbiasa anaknya pulang sekolah berjalan kaki, ibu Ana pun menunggu anaknya dengan santai.
Melihat tanah yang basah terkena air hujan, Ana sesekali menatap langit yang cerah kembali setelah hujan berlalu.
Panasnya matahari kembali menyinari bumi yang baru saja disirami air hujan.
"Assalamualaikum," ibu Ana dikagetkan oleh suara Sauqi yang baru pulang sekolah.
"Waalaikumussalam," jawab ibu Ana sambil menatap kakinya yang basah dan belepotan.
"Loh... Loh, kakinya kotor gitu, kok sepatunya gak di pakai" sambut mamanya sembari berpikir mungkin sepatunya ditaruh di tas karena tadi hujan.
"Kok wajahnya murung gitu," tanya ibu Ana ketika Sauqi mengulurkan tangannya. Bu Ana pun menyambut tangan lembut anaknya dan mengambil tas yang masih di punggungnya.
Sauqi duduk dengan kaki yang masih menempel di tanah, sembari mengayunkan kakinya.
Terdengar nafasnya terengah-engah menahan capek.
Ibu Ana pun kaget ketika mengecek tasnya.
"Loh, kok gak ada sepatunya,"
"Hilang," jawab Sauqi dengan nada kesal.
"Hilang,"
"Kok bisa?" tanya Ana penasaran.
"Iya Ma ...,
Tadi ketika Sauqi keluar kelas hanya tinggal satu pasang sepatu, tapi itu bukan sepatu Sauqi? Ya sudah Sauqi tinggalin saja."
"Lah..., seharusnya kamu pakai, kan untuk melindungi kakimu juga, banyak kerikil tajam, takut ada benda yang bisa melukai kakimu Nak!"
"Moh, lah..., Nanti dikira saya mencuri sepatu orang," jawab Sauqi dengan nada ketus sembari merangkak menuju ke kamar mandi untuk membersihkan kakinya.
"Aneh kok bisa sepatu sampai salah pakai," desir suara ibunya yang masih tidak percaya.
Ia pun mengambilkan makan siang untuknya, dan memberikannya ke Sauqi yang sudah membersihkan tangan dan kakinya.
"Wow, mantap," girangnya Sauqi ketika disodorkan sepiring makanan berisi sayur kesukaannya.
"Berdoa," pinta Bu Ana kepada Sauqi.
"Iya Ma," jawab Sauqi sambil merabit doa sebelum makan, dan langsung menyantapnya dengan lahap.
Bu Ana yang masih penasaran sama sepatunya dan mau bertanya sama siapa? pun tidak dihiraukan oleh Sauqi yang merasa tenang-tenang saja.
"Ma, kenapa makan harus berdoa," tanya Sauqi membuyarkan lamunan mamanya yang sedang memikirkan sepatunya.
"Ya..., Biar gak dibantu setan," jawab bu Ana seketika.
"Memang setan mbantuin apa?" tanya Sauqi yang sedang memikirkan wujud setan.
"Setan itu, memakan apa yang manusia makan, dia ikut berebut ketika manusia memakan, jadinya manusia tidak merasa kenyang, barokahnya pun diambil oleh setan.
Makanya sebagai seorang muslim kita diharuskan untuk selalu berdoa sebelum makan."
"Sauqi pernah melihat di hape, setan itu bisa besar, besar dan besar banget, setelah makan, terus yang sedang makan tiba-tiba berdoa, setan itu langsung kecil dan setannya terpental,"
"Nah itu kamu tahu, kapan melihatnya?" tanya ibunya penasaran,
"Hehe, waktu teman main hape," jawab Sauqi sambil makan.
"Kok, Mama masih penasaran dengan sepatumu Nak! Bisa-bisanya kok gak ada, trus kamu gak bertanya sama Pak guru atau Bu guru,"
"Ngapain tanya, kemarin saja waktu payung hilang sampai sekarang gak tahu di mana?" jawab Sauqi ketus seolah tidak lagi percaya dengan gurunya.
"Jangan begitu? Kan kemarin waktu payung kamu hilang bu guru berusaha mencarikan, siapa tahu dibawa oleh teman yang lain...," jawab mamanya meyakinkan.
"Lah tapi kan gak ketemu juga kan!"
Mendengar jawaban Sauqi mamanya pun terdiam, karena memang payung itu baru dibelinya ketika Sauqi mau berangkat tapi hujan belum reda. Payung itu dibeli untuk sekolah Sauqi dan tertulis nama Sauqi di payungnya dengan tulisan yang begitu besar, berharap tidak tertukar dengan payung yang lain.
Bukan ketuker justru malah hilang.
"Sepatu itu mahal, Mama tidak bisa langsung beli, butuh waktu untuk menabung dulu, kamu besok berangkat sekolahnya bagaimana?" tanya ibu Ana sembari menyembunyikan kesedihannya.
"Ya'udah pakai sandal saja gak papa." jawab Sauqi enteng.
"Lah, nanti kalau ditanya bu guru gimana?"
"Jawab saja hilang,"
cetus Sauqi dengan entengnya.
"MasyaAllah Sauqi," gumam ibu Ana yang melihat anaknya seperti itu, di sisi lain ia pun bersyukur memiliki anak yang tidak suka mengambil barang yang bukan miliknya, meskipun ada sepatu di sana yang mungkin saja itu tukerannya.
Namun seringnya dituduh mengambil punya teman, Sauqi pun menjadi anak yang istimewa.
Karena kejahilan teman-temannya membuatnya ia semakin kuat dan tegar.
Keesokan harinya ia pun sekolah memakai sandal.
Semua teman di kelasnya ditanya oleh gurunya.
"Sauqi kenapa tidak memakai sepatu?" tanya Gurunya.
"Hilang Bu," jawab Sauqi lirih.
Semua temannya ditanya.
"Siapa yang tahu sepatunya Sauqi?" teriak bu guru di depan murid-muridnya.
"Gak tahu Bu," jawab semua temannya dengan kompak.
Sauqi pun diizinkan tidak memakai sepatu untuk sementara.
Usai pulang sekolah Sauqi kembali ditanya oleh ibunya.
"Bagaimana Nak! Tadi ditanya soal sepatu?" tanya ibunya penasaran.
"Iya Ma, tapi gak ada yang tahu, gak papa tidak pakai sepatu, asyik gak ribet" jawab Sauqi dengan enteng.
"Lah... kalau gak ketemu, gimana?"
"Berarti Allah akan memberikan saya yang baru," jawab Sauqi dengan penuh harap.
"Kalau nanti ketemu?" tanya ibunya kembali,
"Ya Alhamdulillah lah..., Berarti masih rejeki saya."
"MasyaAllah," jawab ibunya sembari menyeka air matanya rasanya ingin sekali membelikan sepatu yang memang sudah tiga tahun lebih ia pakai, dan memang sudah waktunya harus ganti.
Usai mandi Sauqi pamit untuk mengaji.
Ngajinya pun sama jauhnya dengan sekolahnya, butuh waktu 15 menit untuk berjalan kaki.
"Assalamualaikum," terdengar suara salam dari balik pintu yang baru saja ditutup oleh bu Ana.
"Waalaikumussalam," jawab bu Ana sembari berbisik
Kok pulang lagi, apanya yang ketinggalan...,"
"Sauqi ..." suara itu memanggil anaknya,
Ketika bu Ana Membuka pintu ia kaget melihat Ibnu menenteng sepatu di depannya,
"Eh... Ibnu, ada apa?" tanya Bu Ana kepada Ibnu teman ngajinya Sauqi.
"Mau mengembalikan sepatunya Sauqi,"
"Oh, iya terimakasih," jawab bu Ana dengan senang.
"Kok kamu yang mengembalikan,"
"Iya kemarin waktu saya pulang disuruh memakai sepatunya Sauqi,"
"Siapa yang nyuruh,"
"Mezza," jawab Ibnu polos.
"Berarti Mezza sama kamu tahu kalau itu sepatunya Sauqi,"
Ibnu menganggukkan kepalanya, sembari merasa bersalah.
"Ya udah gak papa, terimakasih ya sudah mengembalikan."
Ibnu pun berlalu.
Sepulang dari mengaji, Sauqi melihat sepatunya di depan rumah.
"Assalamualaikum, Ma, ini sepatunya sudah pulang sendiri,"
Sambil memegang sepatunya,
"Heh, sepatu kok kamu bisa pulang sendiri,"
"Waalaikumussalam," jawab ibunya sembari tersenyum, melihat Sauqi sedang berbicara sama sepatu.
"Kayak itu Ma, film di televisi, sepatu ajaib."
"Hallah mana ada sepatu ajaib," jawab ibunya tidak percaya.
"Ada' tuh di TV," jawab Sauqi sambil ketawa kecil.
"Alhamdulillah masih rezeki, sepatu saya pulang, siapa yang nganterin Ma?" tanya Sauqi penasaran.
"Ibnu, adik kelas kamu ya?,"
"Iya, kok bisa ya, dia yang nganterin," tanya Sauqi sambil berlalu,
"Bisa saja, apa yang gak bisa," jawab ibunya yang mungkin sudah tidak terdengar lagi suaranya oleh Sauqi.
***
0 Comments: