Headlines
Loading...
Oleh. Dewi Irawati Artati

Tahun ajaran baru sudah mulai. Setiap anak sekolah, semangat menuju sekolahnya masing-masing. Tak terkecuali Dani, siswa kelas enam Sekolah Dasar. Dia nampak berlari kecil mencari kelas barunya bersama teman-temannya.

Akhirnya mereka pun menemukan kelas yang mereka cari. Mereka segera mencari tempat duduk. Andi memilih tempat duduk paling depan. Dekat meja guru. Sejak kelas satu dia selalu memilih bangku paling depan. Menurutnya, agar lebih mudah menerima pelajaran dari para guru.

Nampak ada perubahan dari penampilan anak-anak di kelas itu. Mulai dari seragam, sepatu dan perlengkapan sekolahnya nampak baru. Kelas baru semua baru. Kira-kira begitulah. Tapi lain dengan Dani. Bajunya masih sama seperti tahun kemarin. Terlihat dekil dan mulai kekecilan. Begitu juga sepatunya, warnanya sudah kusam. Tas sekolahnya juga ada bekas jahitan tangan di bagian slempangannya.

"Dani, kok seragam sekolahmu tidak ganti. Sepertinya sudah kekecilan tuh," kata Aldi berseloroh.

Memang Aldi anak orang paling kaya di kelas itu. Tapi dia punya sifat sombong dan congkak.

"Iya, nggak apa-apa, selama masih bisa dipakai," jawab Dani ringan.

Sebenarnya ia ingin sekali mengganti seragam sekolahnya. Berhubung keluarganya kurang mampu, kandaslah keinginannya. Untunglah dia anak yang sabar. Ia tak ingin membebani orang tuanya. Ayahnya hanya seorang kuli bangunan, yang kadang tidak bekerja jika tidak mendapat proyek. Sedangkan ibunya penjual kue donat keliling. 

Namun Dani tidak minder sedikit pun dengan kondisinya seperti itu. Bahkan tak jarang ia membantu ibunya menjajakan kue donat itu dikala libur. 

Walaupun begitu ia termasuk siswa berprestasi. Ia selalu masuk tiga besar di kelasnya. Karena ia sangat rajin dalam belajar, dan tidak pernah bolos sekolah.

Bahkan ia sering ikut olimpiade matematika di kotanya. Ia sering mengharumkan nama sekolah. Para guru pun sangat bangga padanya. Begitu juga teman-temannya juga bangga terhadapnya. Hanya Aldi yang nampak tidak senang dengan Dani. Diam-diam, ada rasa iri dan dengki. Bahkan tak jarang ia mengejek dan menghina Dani.

Namun Dani tidak memperdulikannya. Ia tetap semangat belajar. Baginya itu hanya kerikil kecil dalam hidupnya. Dia fokus dengan tujuannya, yaitu belajar sungguh-sungguh untuk masa depannya kelak.

"Eh lihat tuh, Si Dekil mau lewat, minggir, minggir!" seru Aldi pada teman-temannya. Sebagian ada yang tertawa. Ada juga yang tak terima dan membela Dani.

"Aldi, jangan seperti itu dong, hargai dong, dia kan teman kita!" seru Bagas jengkel.

"Tau tuh, sombong amat jadi anak." Akbar menimpali.

"Habisnya, dia tuh dekil banget," seloroh Aldi.

"Tak mengapalah buat aku. Yang penting baju yang aku kenakan ini bersih, tidak kotor. Dan yang penting Allah sayang sama aku. Aku bersyukur bisa sekolah di sini, walau dengan keterbatasan. Dan satu hal lagi, aku tidak mau menjadi orang yang kufur nikmat. Apapun yang Allah berikan, itu adalah yang terbaik bagiku," ucap Dani dengan tenang.

Aldi pun langsung terdiam. Tak berani berkata lagi. Ia merasa tertampar dengan perkataan Dani. Selama ini ia merasa lebih hebat dari Dani. Karena posisinya sebagai anak orang yang jauh lebih kaya dibanding Dani yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Ternyata salah. Dalam hati ia menyadari, bahwa Dani bukanlah anak sembarangan. Diam-diam dia pun salut sama keteguhan dan kesabaran Dani. Beda dengan dirinya yang terbiasa hidup serba berkecukupan. Bahkan dia sering merasa kurang dengan apa yang diberikan oleh orang tuanya. Ia juga banyak permintaan.

Tapi, Aldi tidak mau menampakkan kekagumannya. Ia tetap bersikap angkuh.

"Teeeet, teet, teeet.....!" Bel tanda masuk pun berbunyi. Semua murid memasuki kelas masing-masing. Menerima pelajaran dari para guru.

***

Sepulang sekolah, Aldi dan beberapa temannya nampak berjalan kaki menuju rumahnya. Tak jauh dari mereka nampak Aldi menaiki sepeda dengan kencang. 

"Brag....!!" tiba-tiba sepeda Aldi terjatuh karena menbrak sebuah batu.

Aldi meringis kesakitan. Dani segera menolong Aldi.

"Kamu nggak apa-apa Al?" tanya Dani khawatir.

"Nggak apa-apa Dan. Makasih sudah nolong aku. Oh iya aku minta maaf atas sikapku yang kurang baik selama ini sama kamu." jawab Aldi, sembari mengulurkan tangannya.

Dani pun menyalami Aldi. Menerima permintaan maaf Aldi. 

Kini Aldi menyadari, bahwa seseorang itu tidak bisa dinilai dari penampilannya. Walaupun Dani berbaju dekil, tapi hatinya baik. Pintar pula. Sejak saat itu mereka mulai berteman.

Begitu juga dengan Allah. Tak memandang fisik seseorang. Allah melihat kebaikan akhlaknya. Biar pun Dani berbaju dekil, tetapi ia termasuk hamba yang disayang Allah, karena ketawadukannya.

Baca juga:

0 Comments: