OPINI
Utang Negara Tak Terbendung, Sistem Kian Membingungkan
Oleh. Yuke Octavianty
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Kementerian Keuangan RI mencatat posisi utang pemerintah per 30 Desember 2022 adalah Rp 7.733,99 Trilliun. (detiknews.com,25/1/2023)
Pada faktanya, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa rasio utang terhadap PDB masih dalam batas wajar dan aman. Semuanya masih terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal. Namun, pendapat ini justru kontras dengan pendapat para ahli ekonomi.
Keadaan ekonomi yang kian memprihatinkan menurunkan wibawa negeri di mata dunia. Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan Kebijakan Indonesia, Saiful Anam mengungkapkan bahwa utang Indonesia yang kian membengkak merupakan salah satu kriteria kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. (rmol.id, 20/1/2023)
Jumlah utang semakin membengkak. Berdasarkan data, jumlah utang negara saat ini mengalami kenaikan sebesar Rp 179, 75 Trilliun, dibandingkan posisi utang di bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.554,25 Trilliun. Mirisnya, jumlah utang cukup besar ini tidak diimbangi dengan perubahan signifikan dalam pelayanan di setiap sendi kehidupan. Inilah pertanda adanya kesalahan dalam tata kelola negara.
Utang negara yang menggunung juga menjadi tanda tanya besar bagi kita semua. Lebih parahnya, yang harus menanggung beban utang adalah rakyat, melalui penetapan pajak yang kian melilit.
Menurut Didik J. Rachbini, ekonom senior 'Indef' (Institute of Development of Economics and Finance), di masa pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014, utang negara terus melesat, mulai dari Rp 2.608, 78 Trilliun hingga November 2022 mencapai Rp 7.554, 25 Trilliun. (harianSIB.com, 7/1/2023)
Didik menilai, bisa jadi Jokowi mewariskan utang belasan ribu trilliun kepada pemimpin selanjutnya. Mengingat 2024 adalah tahun Pemilihan Umum sekaligus berakhirnya masa jabatan Presiden. Akibatnya sangat riskan jika APBN terus digunakan untuk pembayaran utang yang membengkak. Tentu saja keadaan ini adalah keadaan rawan.
Lanjut Didik, semua kekacauan ini terjadi karena sistem politik Indonesia sangat buruk. Semua perencanaan keuangan negara pun sangat buruk. Sesungguhnya ekonomi dan politik suatu negara adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Jika dipisahkan, yang terjadi adalah kemunduran politik dan berbagai kecurangan. Tak dipungkiri, fungsi pengawasan dewan legislatif juga melemah.
Utang luar negeri memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan kedaulatan negara. Baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Dalam jangka pendek, utang luar negeri dapat memukul nilai mata uang domestik. Hal ini memicu kekacauan ekonomi dan sosial dalam negeri. Karena utang negara yang jatuh tempo harus dibayar dengan mata uang dolar AS, yang menjadi sandaran keuangan dunia. Bukan mata uang domestik. Padahal dolar AS merupakan 'hard currency'. Otomatis hal ini berdampak pada kemerosotan mata uang rupiah.
Sedangkan dalam jangka panjang, utang luar negeri melemahkan kemampuan belanja dalam negeri. Akibatnya, negara tak mampu melunasi utang-utang yang membelitnya. Kelemahan negara pengutang dimanfaatkan oleh negara kreditur. Inilah yang merugikan. Tak heran, semua konsep ini menggadaikan kedaulatan negara.
Peningkatan utang ini pun akan merugikan generasi mendatang. Karena pemerintah pasti akan menekan pengeluaran negara dengan mengurangi subsidi-subsidi yang seharusnya diberikan kepada rakyat. Tak hanya itu. Pemasukan negara dari sektor pajak akan terus digenjot, dengan dalih memperbaiki keuangan negara.
Inilah wujud adanya kesalahan dalam tata kelola sistem Demokrasi-kapitalis yang mengutamakan kantong-kantong korporasi dan oligarki, dan tak mengindahkan akibatnya bagi kehidupan rakyat. Sementara itu, seluruh sumber daya yang seharusnya dikelola utuh oleh negara demi kepentingan rakyat, malah diambil alih oleh para pemilik modal; seperti pihak asing dan swasta. Sangat memprihatinkan.
Kapitalisme menetapkan bahwa negara hanya berfungsi sebagai regulator untuk melanggengkan keberadaan para pemilik modal, melalui berbagai penetapan peraturan dan Undang-Undang. Akibatnya, negara tak memiliki kedaulatan untuk mengelola negaranya. Semua penetapan ini hanya berpihak pada para pemilik modal.
Berbeda dengan konsep Islam. Negara berdasarkan asas syariat Islam bertujuan untuk menyejahterakan rakyat dalam wadah aturan syariat Islam. Dengan dasar keimanan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Setiap kebijakan yang ditetapkan negara hanya didasarkan pada aturan Islam. Islam dipahami sebagai agama pengatur kehidupan, bukan sekadar agama ritual.
Islam menetapkan bahwa aturan tata kelola negara harus diterapkan menurut syariat, dalam naungan institusi formal, yakni khil4f4h. Mekanisme pengelolaan keuangannya diatur oleh Khalifah yang berpusat di Baitulmal. Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab "Ajhizah Ad Daulah", menjelaskan bahwa Baitulmal adalah pos penyimpanan dan pengeluaran daulah. Sumber Baitulmal memiliki 3 pos, yakni pos kepemilikan negara, kepemilikan umum dan zakat. Pemasukan negara meliputi pemasukan tetap yang bersumber dari harta kharaj, fa'i, asyur, ghanimah, jizyah, rikaz dan ghulul. Jalur pemasukan tetap akan memberikan pemasukan bagi negara yang sangat besar. Semua ini demi keperluan kenegaraan, termasuk mengurus semua kebutuhan rakyat. Dengan demikian, beban rakyat tak terlalu berat. Sementara pos pajak ditetapkan ketika keadaan darurat dan hanya diberlakukan bagi para 'aghnia' (orang-orang kaya).
Praktis, pengelolaan negara berdasarkan sistem Islam tidak membutuhkan utang luar negeri. Negara menjadi mandiri. Pengelolaan keuangan negara dilakukan dengan penuh amanah demi menggapai Rida Allah semata, dengan berbagai sumber yang jelas.
Walhasil, kedaulatan negara semakin kuat disertai keuangan negara yang optimal dan pengaturan yang amanah dalam sistem Islam yang menyejahterakan.
Wallahu a'lam bishawwab.
0 Comments: