Cernak
Burung Kecil yang Malang
Oleh. Dewi Irawati Artati
Di suatu sore yang indah, Nadia dan ayah ingin mengusir jenuh dengan jalan keliling kampung dengan mengendarai motor. Suasana tampak sejuk setelah seharian diguyur hujan deras dan angin kencang. Langit masih nampak mendung tapi hujan mulai reda. Angin sepoi-sepoi menyapa mereka.
Nadia, gadis kecil periang itu, lebih suka duduk di depan. Momen ini paling ia sukai, naik motor sambil menghafal surat pendek bersama sang ayah. Dengan begitu hafalannya menjadi lebih lancar, karena ia dalam kondisi bahagia.
Saat asyik melantunkan surat ad Duha, tiba-tiba ia melihat sebuah sarang burung terjatuh. Sepertinya, angin kencang yang membuat sarang tersebut jatuh. Mereka pun segera mengambilnya. Memeriksa, apakah di dalam masih ada burungnya. Ternyata ada tiga ekor burung kecil di sana.
"Wah, ada burung kecil, Ayah! Sepertinya baru menetas!' seru Nadia.
"Iya, benar. Sepertinya ini anak burung pipit," kata ayah.
"Kasihan, Yah, kita bawa pulang saja. Kita rawat burung kecil ini," usul Nadia.
Ayah setuju. Dimasukkan sarang itu ke dalam tas kresek, tapi tak begitu rapat. Mereka pun pulang ke rumah.
"Ibu, lihat, aku sama Ayah menemukan burung kecil yang malang! Aku ingin merawatnya, Bu," kata Nadia begitu sampai di rumah.
"Maasya Allah, kasihan sekali. Pasti ibunya mencari-cari anaknya. Memang Nadia bisa merawat burung kecil ini?" Kata ibu.
"Insya Allah bisa, Bu. Kita kan harus menyayangi semua ciptaan Allah," jawab Nadia.
"Bagus, Nak. Ibu percaya sama kamu. Nanti Ibu bantuin merawatnya," kata ibu mendukung Nadia.
"Tapi, makannya apa, Bu?" tanya Nadia bingung.
"Coba kita beri makan bubur bayi saja, kamu beli di toko Bu Tomo ya, Nak," kata sang ibu.
Nadia segera meluncur dengan sepeda kecilnya. Dan pulang dengan sebungkus bubur bayi.
Sejak saat itu Nadia punya kesibukan baru, yaitu merawat anak burung pipit yang malang. Tak lama, satu burung mati. Kini tinggal dua ekor. Nadia dan ibu merawatnya dengan hati-hati dan penuh kasih sayang. Bulunya mulai tumbuh. Suaranya pun sudah mulai keras.
Satu bulan telah berlalu. Burung pipit itu kini telah berbulu lebat. Sesekali terbang dan melompat. Mereka nampak akrab dengan Nadia. Nadia sangat menyayangi burung itu. Hingga suatu hari, Ayah dan Ibu menyarankan untuk melepas burung itu kembali ke alam bebas.
Namun, Nadia terlanjur sayang, ia keberatan untuk melepasnya. Ibunya pun memberi pengertian dengan sabar.
"Nadia sayang sama burung itu?" tanya ibunya.
"Tentu, Ibu. Karena Nadia sudah merawatnya dari kecil," jawab Nadia.
"Kalau memang Nadia sayang sama burung itu, Nadia harus rela melepasnya. Agar mereka bisa terbang bebas di sana. Mereka bisa bertemu dengan temannya yang lain atau bertemu dengan ibu mereka," ibu menjelaskan.
"Tapi, Bu, burung ini juga suka tinggal di rumah ini," sanggah Nadia, keberatan.
"Tapi ini bukan habitatnya. Burung itu tinggalnya di alam bebas. Mereka bisa membuat sarang di pohon- pohon. Jika kita melepasnya, mereka akan berkembang biak menjadi lebih banyak."
Nadia tampak berpikir. Sepertinya dia mulai memahami apa yang dikatakan ibunya.
"Iya juga ya, Bu, kalau dikurung terus kasihan tak bisa terbang bebas. Kalau begitu Nadia mau melepasnya, Bu," ucap Nadia sadar.
"Maasya Allah, Ibu senang sekali Nadia, insyaaAllah, Allah akan membalas semua kebaikanmu. Allah akan memberi pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan," kata ibu.
Nadia pun melepas kedua burung itu bersamaan. Sayapnya mengepak, terbang dari ranting ke ranting. Kicaunya terdengar merdu, seolah berterimakasih kepada Nadia. Kini kedua burung itu bebas terbang menikmati karunia Allah. Bertemu dengan burung yang lain.
"Lihat, Bu, burung itu berkicau. Pasti mereka senang bertemu dengan kawannya!" seru Nadia senang.
"Tahukah kamu, Nadia, bahwasanya semua yang di langit dan di bumi itu bertasbih kepada Allah lho. Begitu juga dengan burung yang mengembangkan sayapnya. Mereka juga tahu cara sembahyang dan tasbihnya masing-masing," ucap ibu.
"Jadi, burung juga bertasbih dan sembahyang, Bu?" tanya Nadia.
"Iya dong, Sayang. Hanya Allah yang mengetahuinya."
Nadia tersenyum bahagia setelah melepas burung pipit itu. Bila ia rindu, ditengoklah burung itu di atas pohon. Dan burung-burung itu selalu berkicau, mencuit setiap hari, seolah menyapa dan bertasbih kepada-Nya. [ ]
0 Comments: