OPINI
Konser Difasilitasi, Dibawa Kemana Visi Generasi?
Oleh. Maya A (Muslimah Gresik)
Beberapa waktu lalu, konser salah satu girl band asal Korsel begitu menggemparkan dunia. Indonesia sebagai salah satu negara yang mendapat jatah sebagai tuan rumah, tentu tak menyia-nyiakan. Antusiasme dari para penggemar juga tak main main. Dikabarkan, 70 ribu penonton hadir di konser yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) selama dua hari, yakni 11 dan 12 Maret 2023. Bersamaan dengan ini, pasukan keamanan juga dikerahkan. Setidaknya ada 1.022 personel yang terjun untuk menjaga jalannya acara secara kondusif. (Surya.co.id 11/3)
Konser tersebut sudah pasti membuat K-popers dirundung bahagia. Meski konser idola mereka telah berlalu, namun euforianya mungkin masih saja terasa. Disebarkan di berbagai sosial media sebagai bukti nyata perjumpaannya kini tak sekedar di dunia maya. Mengabadikannya sebagai cindera mata yang tak sia-sia meski pengorbanan yang dikeluarkan menggila termasuk soal dana.
Bersamaan dengan perayaan suka cita itu, persoalan bobroknya generasi belum jua mendapat solusi. Aksi premanisme pelajar dan pemuda yang berujung hilangnya nyawa, kasus bunuh diri di usia produktif yang merajalela, hingga maraknya pengajuan nikah dini karena seks diluar nikah dianggap biasa, adalah sederet fakta yang masih menjadi misteri kapan selesainya.
Ironisnya berbagai kalangan nampaknya mencoba tutup mata. Pihak negara justru memfasilitasi pertunjukan yang berakar dari budaya luar, pihak keamanan tak segan mengerahkan pasukan, sementara pihak remaja sendiri seolah hilang kendali. Kolaborasi respon positif dari berbagai pihak ini tak pernah ditujukan pada aktivitas yang mengajak pemuda pada perubahan ke arah kebaikan. Alih-alih didukung dengan bantuan pengamanan, tak sedikit agenda justru dibubarkan, aktivis rohisnya dicap teroris, issu radikalisme gencar dihembuskan seakan ia adalah biang segala persoalan. Pemuda sendiri, memilih antipati lantaran tak sejalan dengan jaman. Mereka lebih menikmati arus kebebasan yang minim larangan.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu korban terbanyak adalah pemuda muslim. Sehingga dari sini, kita bisa melihat bagaimana potensi pemuda untuk membangun peradaban Islam telah dibajak untuk menjadi target pasar industri kapitalis. Mereka hanyut oleh godaan 4F (food, fun, fashion dan film) yang sengaja digelontorkan Barat. Akal pemuda terdistraksi hanya untuk memikirkan kesenangan hidup duniawi. Bahkan sampai pada taraf opini bahwa syariat Islam hanyalah beban yang menghalangi poros kebahagiaan.
Sungguh, tampak nyata bagaimana wajah negara tanpa visi yang jelas terhadap generasi. Negara gembar-gembor menginginkan lahirnya generasi produktif, tapi disaat yang sama justru mendorong generasi untuk berlaku konsumtif pada hal-hal yang tidak mengandung manfaat. Semakin nyata pula dampak sekulerisme kapitalis sehingga tak sedikit dari kaum muslimin yang dikuasai oleh hedonisme sehingga salah dalam menempatkan prioritas. Kondisi ini diperparah dengan program moderasi agama yang sejatinya hanya membuat generasi makin tak paham dengan agamanya sendiri.
Oleh karena itu, sungguh adanya tuntutan perubahan baru untuk mengembalikan arah berpikir pemuda sebagai agen of change adalah sebuah keharusan. Hanya saja, rezim dan sistem yang berlaku saat ini sudah tak bisa diharapkan lagi untuk mewujudkan hal ini mengingat track recordnya yang hanya membawa kerusakan di berbagai lini.
Islam, sebagai agama yang sempurna dan paripurna, tentu memiliki paradigma berbeda dalam menyelamatkan generasi. Islam, melalui tangan negara memiliki visi sekaligus misi yang jelas. Melalui sektor pendidikan berbasis Islam, tujuan utama pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi berkepribadian Islam dengan aqliyah dan nafsiyah yang kokoh. Dari sini, setiap output pendidikan secara otomatis akan memiliki benteng pertahanan yang lahir dari keimanan. Berangkat dari sektor ini pula, kesadaran pemuda akan tanggung jawabnya terhadap umat dan agama akan dibangun dan diperkokoh dengan keterlibatan seluruh elemen masyarakat baik praktisi pendidikan, kesehatan, maupun mubaligh/mubalighoh.
Lebih lanjut, langkah ini didukung oleh peran negara sebagai filter utama masuknya gaya hidup Barat dan segala jenis hiburan yang menyesatkan. Negara tidak akan pernah memfasilitasi segala aktivitas yang menghantarkan para pemudanya pada aktivitas berbau liberal dan hedonis. Negara hanya akan fokus pada pensuasanaan Islami yang mendukung terwujudnya pemuda produktif baik secara IPTEK maupun IMTAQ. Pada posisi inilah, sesungguhnya negara tengah menunjukkan keseriusan fungsinya sebagai junnah/perisai. Dan dari sini pula, harapan terwujudnya mercusuar peradaban yang menguasai dunia mulai bisa perlahan dirakit sedari dini dengan lahirnya generasi emas yang tak segan memberi persembahan terbaik untuk Islam dan kaum muslimin.
Muhammad Al Fatih jilid 2 juga bukan tak mungkin akan terlahir kembali di abad ini. Sebuah pencapaian yang tidak akan pernah terwujud bila umat masih mentasbihkan diri pada sistem rusak sekulerisme.[rn]
0 Comments: