Headlines
Loading...
Larangan Impor Baju Bekas, Selamatkan Tekstil Lokal?

Larangan Impor Baju Bekas, Selamatkan Tekstil Lokal?

Oleh. Siti Nur Rahma

Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada modal beli baju baru, beli baju bekas bos pun jadi. Sedikit ungkapan untuk penikmat 'thrifting' agar kebutuhan pakaian 'branded' bisa terpenuhi meski tak harus baru, baju bekas impor pun jadi. Pun juga harga super hemat menjadi pilihan. Namun apa daya jika larangan impor baju bekas diberlakukan?

Meski telah dilarang sejak tahun 2015, impor baju bekas mengalami kenaikan sebesar 623% pada tahun 2022. Hal ini diungkapkan oleh Teten Masduki, Menteri Kemenkop UKM berdasarkan data dari BPS. (Katadata.co.id, 21/3/2023)

Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan rakyat terhadap pakaian yang bagus namun dengan harga yang dapat dijangkau oleh rakyat dengan kondisi perekonomian sedang sulit. Di satu sisi masyarakat terjerat gaya hidup hedonis dan brandedmind, namun di sisi lain masyarakat mengalami krisis keuangan.

Merupakan potret kemiskinan yang tampak dari data pembelian baju bekas untuk memenuhi kebutuhan sekaligus keinginan masyarakat dalam hal sandang. Masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi sedang membutuhkan suplay baju yang murah meriah. Bahkan dengan arus fashion masa kini, banyak orang menginginkan model pakaian ala idola yang digandrungi namun tetap dengan harga super miring karena kondisi kantong kering.

Mirisnya, dengan dalih menyelamatkan tekstil lokal, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang larangan impor baju bekas.

Dilansir dari Tempo.co, Presiden Joko Widodo melarang bisnis baju bekas impor. Bisnis impor ini dianggap merugikan para pengusaha tekstil dalam negeri, mengakibatkan kerugian negara hingga miliaran rupiah, dan menurunkan tingkat ekspor. (Tempo.co, 16/3/2023)

Selain itu, menumpukknya limbah tekstil di Indonesia menjadi masalah tersendiri. 
Dari sekitar 33 juta ton pakaian yang diproduksi setiap tahun, dapat dihasilkan sekitar satu juta ton limbah tekstil yang terbuang di lingkungan. (waste4change.com, 1/12/2022)

Selain itu, impor baju bekas dikatakan Menteri Kemenkop UKM dalam sebuah media, sangat menggangu industri tekstil dalam negeri, termasuk UMKM. Sekitar 96% pelaku usaha di sektor mode di Indonesia adalah UMKM. Di pasar domestik, harga baju bekas impor yang sangat murah membuat produk dalam negeri tidak bisa bersaing.

Namun jika ditelisik lebih lanjut UMKM hanya merupakan perpanjangan rantai produksi. Akankah kebijakan tersebut berpihak pada segelintir oknum importir kain? Atau pada importir pakaian branded yang non bekas? Sebab keanehan dirasakan saat yang dipersoalkan hanya impor baju bekas ilegal yang tak masuk bea cukai impor. Bagaimana dengan impor baju bekas secara legal?

Hal ini menunjukkan dua hal.
Pertama, keberpihakan kebijakan pada sektor pengusaha. Bukan pada kepentingan rakyat yang sejatinya sedang mengalami kemiskinan, termasuk dalam hal kebutuhan sandang.

Kedua, sistem kapitalis sekuler saat ini menjadikan setiap individu mengesampingkan aturan dari Sang Pencipta. Bagi siapa yang memiliki modal akan menjadi 'backing' dari pembuat kebijakan.

Semua itu memerlukan adanya mekanisme benar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat. Baik pemenuhan naluri maupun jasmani bagi setiap rakyat; dari kebutuhan pokok, primer hingga tersier.

Dalam institusi Islam, 
1. Seluruh kebutuhan rakyat dipenuhi dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Sistem ini akan mendistribusikan harta di tengah masyarakat dengan benar dan tepat. 

2. Kebutuhan warga negara akan pekerjaan sesuai keahlian masing-masing juga dijamin negara. Negara akan memfasilitasi dan memudahkan para suami atau laki-laki dalam mencari nafkah.

3. Membagi kepemilikan harta sesuai syariat. Kepemilikan tersebut dibagi menjadi tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Pembagian ini mencegah kemungkinan adanya monopoli swasta atau asing dalam pengelolaan suatu badan usaha maupun pengelolaan alam raya, yang sejatinya milik umum.

Dengan asas akidah Islam, masyarakat akan terdidik dengan kurikulum pendidikan Islam. Baik dari jenjang TK hingga perguruan tinggi. Baik di media cetak maupun elektronik, akan tersedia tayangan yang bernilai edukasi Islam.

Sehingga masyarakat akan terarah pada aturan hidup Islami, menjadikan Rasulullah sebagai suri teladan, yakni hidup sederhana bukan hedonis maupun 'brandedmind' . Sehingga terhindar dari sikap 'overconsumtive', dan boros. Bahkan terhindar dari pemilihan baju yang tidak syari.

Penjagaan kesejahteraan negara terhadap pengusaha tidak pada satu pihak saja. Negara akan berpihak pada UMKM atau produk tekstil lokal hingga pengusaha ekspor impor untuk bersama dalam beramal sesuai dengan syariat Islam. Sehingga diharapkan keberkahan dalam setiap hasil usaha.

Maka setiap rakyat akan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya dengan diterapkannya sistem ekonomi Islam. Tak perlu lagi mengalokasikan pemikiran, untuk update baju bekas terbaru demi fesyen dan hegemoni semata. Wallahu a'lam bishawwab. [Dn]. 

Baca juga:

0 Comments: