Headlines
Loading...

Oleh. Maret Atik

Belum lama, bahkan di hari yang sama, presiden Jokowi mengeluarkan dua buah surat keputusan. Yang pertama adalah Keppres 4/2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, yang mulai berlaku sejak 15 Maret 2023. Yang kedua adalah Inpres 2/2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Kedua surat keputusan itu dikeluarkan dalam rangka menindaklanjuti salah satu janji kampanyenya di Pilpres lalu, yaitu menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. 

Menurut Jokowi, ada dua belas kasus pelanggaran HAM berat yang perlu segera diselesaikan. Kasus-kasus tersebut meliputi;
Pertama, peristiwa tahun 1965-1966.
Kedua, peristiwa penembakan misterius tahun 1982-1985.
Ketiga, peristiwa Talangsari, Lampung tahun 1989.
Keempat, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh tahun 1989.
Kelima, peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997-1998.
Keenam, peristiwa kerusuhan Mei tahun 1998.
Ketujuh, peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II tahun 1998-1999.
Kedelapan, peristiwa pembunuhan dukun santet tahun 1998-1999.
Kesembilan, peristiwa Simpang KKA, Aceh tahun 1999.
Kesepuluh, peristiwa Wasior, Papua tahun 2001-2002.
Kesebelas, peristiwa Wamena, Papua tahun 2003.
Kedua belas, peristiwa Jambu Keupok, Aceh tahun 2003.

Jika melihat peristiwa tersebut, maka kejadiannya sudah berlangsung lama. Sehingga pasti akan semakin sulit untuk mengungkap apa yang terjadi, siapa saja yang terlibat dan harus bertanggung jawab terhadap berbagai kerusuhan tersebut. Dengan rentang waktu yang sudah lama ini pula, tampak bahwa sistem kapitalis yang diterapkan hari ini tidak mampu menyelesaikan masalah yang ada. Bahkan cenderung terulang.

Ketidakmampuan rezim dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM setidaknya tampak dari dua sisi. Pertama dari aspek kelembagaan, seperti Kejaksaan Agung, yang tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM ini. Kedua, saat ada upaya penyelesaian kasus HAM dengan jalur nonyudisial yang diprakarsai oleh Wiranto, selaku Menkopolhukam saat itu. Dan ternyata hal ini juga tidak membuahkan hasil. Hal ini dinyatakan oleh Aris Santoso, seorang pengamat militer, khususnya TNI AD, dalam sebuah artikel di dw.com (10/12/2020).

Memang begitulah watak sistem kapitalis, menganggap pengungkapan kasus kemanusiaan itu bukanlah sesuatu yang penting. Bahkan dianggap bisa merugikan negara, karena nantinya pasti membutuhkan biaya yang sangat besar. Dengan paradigma kapitalis ini, maka menuntaskan kasus pelanggaran HAM menjadi sesuatu yang mustahil. Janji saat kampanye tinggal lah janji hanya bisa ditagih tetapi sulit direalisasikan. 

Padahal di dalam pandangan Islam, nyawa seorang manusia itu sangat berharga. Sehingga jika terjadi kasus pembunuhan, maka pelakunya mendapat hukuman yang sangat berat yaitu qishash; hukuman yang serupa dengan kejahatan yang dilakukan yaitu dibunuh. Dengan hukuman yang sangat tegas ini, maka menjadikan para pelaku kriminal menjadi takut untuk berbuat kejahatan. 

Kepedulian pemerintah menjelang akhir masa jabatannya juga mengesankan bahwa tindakan rezim ini hanya lah untuk pencitraan dan menutupi kebobrokan yang selama ini terjadi. Artinya, rezim tidak bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini. 

Jika sistem kapitalis ini tidak bisa diharapkan lagi untuk menyelesaikan persoalan yang terus berulang, maka selayaknya kita mencari sistem alternatif lain, yang memiliki rekam jejak lebih baik dibandingkan sistem kapitalis. Sistem sosialis tentu bukan lah alternatif yang lebih baik, karena kita sendiri pernah menyaksikan bagaimana buruknya sistem ini di masa lalu. 

Maka tersisa sistem Islam yang seringkali ditutup-tutupi kejayaannya. Sistem Islam yang pernah berjaya selama kurang lebih 13 abad lamanya, yang sangat sedikit catatan kriminalnya. Sistem yang telah disaksikan oleh sejarah, telah mensejahterakan masyarakatnya dengan batas yang tidak terbayangkan oleh kita hari ini. Maka tidak kah kita ingin mengganti sistem kapitalis ini dengan sistem Islam? [rn]

Baca juga:

0 Comments: