Headlines
Loading...
Oleh. Ratna Kurniawati, SAB

Mudik merupakan salah tradisi lebaran di Indonesia ketika menjelang dan setelah hari raya idulfitri setiap 1 tahun sekali. 
Masyarakat dari kota berbondong-bondong pulang kampung ke desa dengan tujuan silaturahmi dan berkumpul dengan keluarga besar. Momen ini memang sangat menyenangkan dan ditunggu setiap tahunnya.  Mereka menggunakan sarana transportasi melalui darat, laut, dan udara. 

Namun, sangat disayangkan mudik meninggalkan cerita memprihatinkan yakni kecelakaan yang setiap tahun selalu tinggi.  Belum lagi lonjakan kenaikan tiket transportasi publik yang tinggi sehingga masyarakat memilih roda dua untuk mudik ke kampung halamannya demi menghemat biaya perjalanan, meskipun rawan terjadi kecelakaan. Ketika tidak sanggup membeli tiket, maka motor adalah solusi pilihan masyarakat.

Tarif transportasi publik di Indonesia yang mahal, disebabkan harga bahan bakar minyak yang tinggi, harga dan pajak sparepart yang sangat tinggi dibanding dengan negara negara di Asean dan bahkan di dunia. Ini dikarenakan liberalis kapitalisme transportasi publik yang saat ini dibtangan rezim neolib khususnya kendaraan lebaran. Penguasa menjadi regulator kepentingan korporasi dalam sistem ekonomi kapitalis. 

Padahal, fakta sejarah kegemilangan sistem Islam membuktikan para Khalifah membangun jalan-jalan raya yang luas dan nyaman untuk memenuhi kebutuhan transportasi publik hingga pelosok negeri.

*Liberalisasi transportasi publik*

Liberalisasi transportasi publik dalam hal infrastruktur secara kasat mata bisa kita lihat dari maraknya pembangunan jalan raya berbayar atau tol selama satu dekade terakhir.

Sementara jalan raya nasional, provinsi hingga desa yang menjadi kebutuhan publik banyak yang ditelantarkan dan nyaris tidak terurus. Begitu pula marak pembangunan bandara dan pelabuhan international yang semua berbayar mahal.

Beginilah gambaran rezim saat ini. Bukannya melayani rakyat namun justru memfasilitasi korporasi untuk menjadikan rakyat sebagai lahan bisnis bagi para kapital.

Bukan mahal saja namun jalan-jalan raya berbayar yang dibangun tidaklah didesain untuk memenuhi hajat hidup publik, termasuk hajat publik terhadap infrastruktur jalan raya saat mudik lebaran dengan peningkatan signifikan volume kendaraan.

Akibatnya, terjadi kemacetan parah di sejumlah titik hingga puluhan kilometer dan puluhan jam harus ditanggung masyarakat mulai dari kepanasan berjam-jam, tidak ada fasilitas istirahat hingga buruknya fasilitas toliet.

Beginilah gambaran fakta transportasi publik era rezim neoliberal, yang tunduk pada agenda hegemoni globalisasi liberalisasi. Peran negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat malah membuat nasib jutaan pemudik dalam undian nafsu serakah kaum kapitalis. Layanan transportasi dikelola swasta dengan komersil sehingga tiket transportasi publik menjadi mahal.

Hal ini sungguh berbeda dengan sistem Islam pelayanan kepada rakyat menjadi prioritas utama. Rasulullah saw. bersabda, "Pemerintah adalah pengurus dan penanggungjawab urusan rakyatnya." (HR Bukhari). 

Dalam pemenuhan transportasi publik, Islam akan menerapkan pengelolaan transportasi publik mengacu pada kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan publik, dan pelayanan individu yang memiliki kemampuan kapabel. Prinsip di atas adalah acuan dalam memberikan fasilitas layanan transportasi kepada rakyat. Kemudian, menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, murah, tepat waktu serta memberikan fasilitas penunjang yang memadai berupa toilet dan air yang bersih.

Pelayanan terbaik kepada rakyat ini hanya dapat kita rasakan ketika syariat Islam diterapkan secara kafah. Sistem Islam yang berkah bagi seluruh umat manusia. Walahualam bishawab. [CF]. 

Baca juga:

0 Comments: