Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Faiha Hasna

Sistem kesehatan di Indonesia dinilai sangat liberal dan tak terkendali. Pasalnya, saat ini, beragam bentuk penjajahan nampaknya di bidang kesehatan sendiri sudah terlihat dengan banyaknya pasien Indonesia yang lari ke luar negeri untuk berobat ke sana, atau didirikannya rumah sakit dengan modal asing di Indonesia. Parahnya lagi, sejak tahun 2020 pemerintah merencanakan program impor dokter asing. 

Laksana benang kusut yang sulit untuk diurai. Begitulah yang terjadi di sistem kesehatan negeri pertiwi. Padahal, pilar utama bagi terselenggaranya pembangunan nasional, di sektor kesehatan adalah SDM kesehatan itu sendiri. Sungguh, keberhasilan pembangunan kesehatan sejatinya tidak lepas dari peran strategis SDM kesehatan sebagai pemikir, perencana, penentu sekaligus pelaksana pembangunan kesehatan. Benarkah impor dokter asing adalah ancaman liberalisasi kesehatan?

Pada 25 April 2023, liputan6com, menginformasikan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law sedang tahap pembahasan antara DPR RI dengan Pemerintah. Dengan adanya RUU Kesehatan ini, pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Selain itu, melansir katadata,19/4/2023,
dengan adanya RUU ini pula, pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi di dalam negeri. Aturan ini tertuang dalam Draf Revisi Undang-Undang No. 36-2009 tentang Kesehatan.

Draf tersebut mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan asing harus dapat beroperasi dalam syarat yang diatur pada Pasal 233 dan Pasal 234. Syarat pertama dalam Pasal 233 adalah dokter lulusan luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi. Evaluasi kompetensi berupa kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Setelah itu, mereka wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktek (SIP).

Bahkan, pemerintah akan membebaskan kewajiban memiliki STR sementara para dokter asing yang memberikan pendidikan dan pelatihan di dalam negeri. 

Sementara, menurut pasal 234, RUU kesehatan, perihal persyaratan pemilikan SIP dan STR dapat diterobos khusus dokter spesialis maupun dokter diaspora spesialis.

Sebenarnya, impor dokter asing bukan yang pertama kalinya diwacanakan oleh penguasa negeri ini. Jauh sebelum itu, dari tahun 2020 program ini telah ada dengan harapan agar rakyat tidak lagi berobat ke luar negeri. Tentu ini sangat menguntungkan Indonesia karena devisa negara terjaga. Kini, dengan masuknya dokter asing, maka akan punya aturan  melalui RUU kesehatan. Kebijakan ini mengonfirmasi bahwa ada kegagalan mencetak SDM di bidang kesehatan.Seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai. Kenyataannya, negeri ini tidak kekurangan SDM lulusan pendidikan kesehatan.

Jika saja negara fokus memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang terbaik, tentu mereka akan berdaya di negeri ini. Dan negara tidak perlu membuka lowongan bagi dokter asing untuk bekerja di negeri ini. Sebab, hal ini hanya akan menambah besar permasalahan yakni persaingan tenaga kerja di negeri ini yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran. Hanya saja, hal ini tidaklah menjadi pilihan.

Hal ini, wajar terjadi, karena memang kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan aturan kapitalis-sekuler adalah jasa yang harus dikomersilkan. Negara akan menghitung untung dan rugi dengan kebijakan yang telah dibuatnya guna menjamin berlangsungnya komersialisasi.

Bukan hal yang mengejutkan, RUU kesehatan di negeri ini dinilai sarat dengan upaya menerapkan paham liberal dalam kehidupan dan mengkapitalisasi kesehatan. Kenyataannya permasalahan kesehatan di Indonesia sangat banyak dan kompleks. Akan tetapi, RUU kesehatan malah tidak menawarkan solusi yang lengkap dan menyentuh akar persoalan.

RUU yang ada tidak menawarkan upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi warga negaranya, namun yang ada malah merugikan warganya sendiri termasuk para tenaga kesehatan. Ini adalah cermin betapa buruknya pengurusan urusan kemaslahatan umat di bawah aturan sistem rusak yakni kapitalisme-sekularisme.

Akan berbeda jauh bila urusan kemaslahatan di bawah asuhan penerapan sistem Islam, bernama al-Khil4f4h. Kehadiran seorang khalifah sebagai pelaksana syariat secara keseluruhan tak lain untuk menjamin pelayanan terbaik bagi seluruh warga yang menjadi tanggungannya tanpa terkecuali baik dia itu muslim atau non muslim, baik dia itu kaya atau miskin. Karena, sejatinya dalam kacamata syariat Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang sejatinya merupakan tanggungjawab negara, bukan sebuah jasa yang harus dikomersilkan alias diperdagangkan.

Baginda Rasulullah bersabda dalam hadits riwayat Bukhari, bahwa siapa saja yang ketika memasuki pagi hari, mendapatkan keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.

Maka itu, apapun alasannya, sungguh tidak dibenarkan ada program yang bertujuan mengomersialisasi pelayanan kesehatan. Baik dalam bentuk investasi alias menarik bayaran pada warganya untuk mendapatkan untung. Layaknya pelayan rakyat, maka sudah semestinya negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan, baik dari segi jumlahnya, kualitas terbaik pada dokter ahlinya, obat-obatannya dan peralatan kedokterannya yang dibutuhkan serta sebarannya sampai ke pelosok negeri.

Sudah menjadi kewajiban negara menerapkan prinsip pelayanan. Selain sebagai penanggungjawab juga pengatur langsung kemaslahatan publik. Sebagaimana yang dicontohkan baginda Rasulullah di Madinah. Termasuk persoalan pelayanan kesehatan.

Terkait pembiayaan pelayanan kesehatan, sistem Islam tidak membebani publik, atau pihak rumah sakit dan juga instansi kesehatan sepeserpun. Pembiayaan pelayanan akan diambil dari Baitul Mal yang jumlahnya sangat besar, sebab, diatur oleh tata kelola ekonomi Islam. Termasuk pembiayaan untuk pendidikan calon-calon dokter, sehingga mencetak generasi dokter  umum dan ahli secara memadai, juga lembaga riset (research institute), laboratorium (laboratory), industri farmasi (pharmaceutical industry), dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis tetapi berkualitas terbaik 
(best quality). Selain itu, mudah diakses oleh siapapun, kapanpun, dan di manapun.

Para dokter dan insan kesehatan mempunyai ruang yang memadai untuk mengabdikan diri keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. 

Maka, tidak akan ada beban program kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing, sebab, negara sudah pasti akan mendahulukan pemanfaatan sumber daya manusia dalam negeri.

Sebuah gambaran, bahwa adanya jaminan kesehatan dalam tata kelola aturan Islam dalam bingkai Khil4f4h adalah buah dari diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah. Wallahu a'lam bishawwab. [YS]. 

Baca juga:

0 Comments: