Headlines
Loading...
Oleh. Ummu Faiha Hasna

Saat ini, sadar atau tidak kita berada di era segala mudah. Bak pisau bermata dua, dengan mudahnya kemajuan sistem keuangan saat ini. Memang di satu sisi membawa maslahat di masyarakat, akan tetapi di sisi lain menjadi faktor pendorong terjadinya berbagai kejahatan yang makin hari makin usil. 

Pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023), Menko Polhukam menyampaikan rincian hasil pemeriksaan Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU atau Tindak Pidana Pencucian Uang. Maka, untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang, perlu kiranya upaya penegakan hukum yang tegas dan tepat. Tak boleh ada kompromi menghadapi tindak kejahatan yang sangat merugikan kepentingan orang banyak. Akankah negara komitmen menanganinya?
 
Dilansir dari Liputan6, pada 30/3/2023, Ketua Komite Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memberikan keterangan, bahwa jumlah entitas ASN Kemenkeu yang terlibat ada 491 orang. Dan dari data ini, jumlah total transaksi mencapai sekitar 349 triliun rupiah.

Sementara itu, dalam laman online BBC, 29/3/2023, kabarnya dana tersebut dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok kategori pertama berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Pegawai Kemenkeu (Rp35 triliun). Kelompok Kedua, Transaksi Keuangan Mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu (Rp53 triliun). Dan yang ketiga, yaitu yang mencakup jumlah terbesar, berupa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Kewenangan Kemenkeu Sebagai Penyidik TPA dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu (Rp260,1 triliun).

Pencucian uang alias Money Laundering menurut wikipedia adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Terkait Pidana Pencucian Uang sendiri di Indonesia  telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Dan memiliki ciri khas tersendiri dibanding kejahatan lain, yaitu adanya prinsip kejahatan ganda (double criminality), bukan kejahatan tunggal. Maksudnya adalah dalam kasus pidana pencucian uang terdapat dua kelompok, yakni ada pelaku yang berkaitan langsung dengan kejahatan dan ada pula pelaku yang tidak berkaitan langsung dengan kejahatan. Contohnya, penyedia jasa keuangan (financial service provider) baik lembaga perbankan maupun non perbankan. Dengan demikian dana pencucian uang alias Money Laundering termasuk dalam lingkup kejahatan. Dampak kerusakannya pun sangat menakjubkan.

Money Laundering dapat menyulitkan keuangan masyarakat akibat dari besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Dampak domino lainnya potensi praktik korupsi akan meningkat bersama dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar. Oleh sebab itu, sekalipun ada komitmen dan keseriusan negara dalam menyelesaikan TPPU, biang kasusnya sudah ada sejak tahun 2003 lalu. Tetapi, semakin hari tindak kejahatan ini semakin bervariatif. Bahkan, seakan-akan negara kalah melawan para bandit yang semakin canggih dalam melakukan pencucian uang (money laundering). Seperti inilah, gambaran penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme demokrasi (nizam rasimaliin dimuqratiin).

Sistem ini batil, sebab lahir dari asas yang batil pula. Paham sekularisme yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka, realitasnya, kehidupan manusia (al hayat al basyariah) akan dipengaruhi oleh sistem kapitalisme demokrasi. Sistem ini akan membuat pengawasan penguasa lemah terhadap sesama. Karena, orientasi kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan materinya akan membuat penguasa tidak segan-segan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, memenuhi kepentingan kelompok atau partai politiknya.

Kekuasaan dengan mindset demikian, membuat sebagian besar penguasa tidak ingin melepaskan keburukannya. Mereka akan terus mencari cara agar tetap terkenal dalam jajaran pemerintahan. 

Dalam urusan ini, peran sistem politik demokrasi dibutuhkan. Karena, hanya dalam sistem politik demokrasi manusia berdaulat atas hukum.

Akhirnya, hukum pun bisa berubah-ubah sesuai dengan kepentingan manusia. Bahkan, hukum juga bisa tidak berlaku pada kalangan tertentu yang kebal hukum.
Sebagai contoh, menurut UU TPPU pasal 3 sampai dengan pasal 5 pidana penjara paling singkat lima tahun dengan denda paling banyak satu miliar rupiah, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun dengan denda paling banyak antara  lima sampai sepuluh miliar rupiah. Itu pun disesuaikan dengan jenis kejahatannya.

Akan tetapi, pada nyatanya hukuman ini jarang terjadi. Seperti kasus jaksa Pinangki, yang terbukti korupsi triliunan uang negara. Dia hanya divonis empat tahun dan sudah keluar penjara setelah dua tahun. Belum  lagi, fasilitas mewah di penjara. Seperti inilah hukum rusak yang saat ini terjadi dengan kapitalisme demokrasinya. Sanksi apapun tidak menimbulkan pelaku jera karena semua bisa dibeli asal ada materi. Sama halnya dengan aturan politik yang saat ini terjadi yang hanya menciptakan politik saling sandera.

Sangat jauh bila dibandingkan dengan keadaan penguasa yang lahir dari aturan yang shahih yakni sistem Islam bernama Khil4f4h. Dalam aturan yang berasaskan akidah Islam, negara sebagai pelaksana hukum, wajib menggunakan syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Karena itu, penguasa yang terpilih sebagai wakil umat akan memandang bahwa kekuasaan yang mereka dapatkan adalah untuk menerapkan hukum-hukum Islam. Cara pandang ini, akan lahir dari keimanan, sehingga setiap individu penguasa akan memiliki kontrol dari dalam agar amanah dalam jabatannya. Aturan Islam juga akan menciptakan kontrol eksternal yang kuat. Dan dalam mengurusi rakyatnya jauh dari kepentingan para kapital politik.

Seorang khalifah atau imam, diangkat oleh umat dengan metode baiat. Sementara jajaran pembantu khalifah di wilayah-wilayah yang disebut dengan amil dan kepala bidang seperti keuangan atau Baitul Mal ditunjuk langsung oleh khalifah sendiri.

Sejatinya, konsep ini akan menghilangkan politik transaksional yang membuka peluang politik korupsi. Selain itu, seorang khalifah akan memastikan setiap pegawainya tercukupi kebutuhan kehidupan mereka. Dari mulai jaminan kesejahteraan mereka juga gaji yang mencukupi. Sehingga mereka akan optimal mengurus kebutuhan umat.

Sistem aturan dalam Islam juga akan melakukan penyelidikan terhadap hasil kekayaan pejabatnya secara berkala agar tidak terjadi kecurangan. Bagi pejabat yang terbukti melakukan korupsi atau money laundering, harta mereka akan dirampas sebagai harta ghulul yang dimasukkan ke dalam Baitul Mal, yakni Pos kepemilikan negara. Selain itu, mereka juga akan dikenai sanksi takzir, karena telah merugikan negara dan kaum muslimin.

Menurut Syekh Abdurrahman al Maliki dalam kitabnya Sistem Sanksi Dalam Islam, ketentuan hukuman takzir yang akan diputuskan kadi (hakim) kepada pelaku itu tergantung level kejahatan yang diperbuat. Level paling ringan yaitu hanya pengumuman kejahatannya di khalayak ramai. Sementara, yang paling berat adalah hukuman mati. 

Seperti inilah sistem pemerintahan Islam menyelesaikan TPPU (money laundering) secara tuntas, cepat, efisien, dan memberi efek jera kepada pelaku. Wallahualam. [NI]

Baca juga:

0 Comments: