Headlines
Loading...
Impor Gula Gila-Gilaan, Islam Solusi Ketahanan Pangan

Impor Gula Gila-Gilaan, Islam Solusi Ketahanan Pangan

Oleh. Azrina Fauziah S.Pt
(Aktivis Dakwah) 

Kebutuhan gula di Indonesia kian hari makin meningkat. Apalagi dengan adanya momen bulan suci Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang terjadi di awal tahun. Tak pernah kita temui sekalipun makanan dan minuman tanpa bahan pelengkap gula. Bahkan gula sudah jadi barang wajib pelengkap bumbu masakan di dapur. 

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata konsumsi gula pasir penduduk Indonesia sebanyak 65,7 kkal/hari pada September 2021. Jumlah ini meningkat 1,33% dibandingkan pada Maret 2021 dan kebutuhan ini akan terus meningkat tiap tahunnya. 

Sayangnya, meningkatnya kebutuhan gula dalam negeri tidak diiringi dengan tersedianya bahan baku gula itu sendiri. Dikutip dari bisnis.com, BUMN holding pangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau ID FOOD melakukan bongkar muat gula kristal putih (GKP) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Sabtu (1/4/2023). Bongkar muat tersebut merupakan bagian dari 32.500 ton dari total penugasan 107.900 ton, yang akan bertahap kedatangannya sampai dengan Mei 2023. 

Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, impor GKP dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang biasanya mengalami peningkatan permintaan jelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN), sementara musim giling tebu baru akan mulai sekitar Mei. Ketersediaan gula masih harus ditopang dari luar negeri guna menjaga harga di pasaran bisa tetap berjalan.

Impor gula gila-gilaan ini tentu saja menimbulkan ketergantungan dan kerugian dalam negeri terutama bagi petani tebu yang nasibnya makin buntung. Meski pemerintah berdalih melakukan impor karna kurangnya pasokan gula dalam negeri namun hal tersebut tentu saja masih menjadi kontroversi sendiri bagi kita. Pasalnya jika melihat potensi, Indonesia merupakan negeri agraris dimana negeri ini memiliki tanah yang luas dan SDM yang banyak. Mengapa tidak mengoptimalkan produksi dalam negeri yang tentu akan mensejahterakan petani sendiri? 

Lagi-lagi hal ini terhalang oleh sebuah paradigma berpikir sistem ekonomi kapitalisme yang diemban oleh penguasa hari ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai regulator. Alhasil kebijakan yang diputuskan selalu condong kepada kepentingan swasta. Lihat saja Indonesia tidak berdaya untuk menghentikan impor pangan yang membanjiri negeri ini akibat perjanjian perdagangan internasional. Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan hubungan dagang antar negara sebagai alat untuk menjaga kepentingan negara besar. Negara berkembang seperti Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada swasta. 

Problem kelangkaan pangan merupakan problem yang akan terus berulang dalam sistem kapitalisme. Hal ini berbeda dengan Islam, dimana negara wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya seperti gula. Rasulullah Saw pernah bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).

Maka negara akan berupaya seoptimal mungkin untuk mewujudkan ketersedian pangan sehingga kebijakan yang difokuskan adalah produksi dan distribusi dalam negeri. Potensi wilayah dan banyaknya SDM akan digunakan sebaik mungkin. Petani tebu akan dibantu untuk memproduksi gula dari hulu ke hilir yakni dengan menerapkan ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam mengatur salah satunya kepemilikan tanah. Dimana ketika tanah yang telah tiga tahun terbengkalai tanpa perhatian sama sekali maka tanah tersebut akan ditarik negara dan dapat diberikan kepada rakyat yang mau mengelola tanah tersebut. 

Selain itu kebutuhan produksi seperti bibit, alat perawatan maupun pupuk akan didapatkan dengan mudah sebab ini disokong oleh pemerintah. Hasil panen tebu dari petani akan diserap oleh pabrik-pabrik milik negara sesuai kebutuhan nasional dan didistribusikan dengan harga yang terjangkau. Inilah konsep ketahanan pangan dalam Islam yang akan mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian pangan. Wa'allahu 'alam. [rn].

Baca juga:

0 Comments: