OPINI
Kehidupan Sekuler-Kapitalis, Kriminal Makin Miris
Oleh. Q.Rosa
Kekerasan menjadi kabar yang terus berseliweran di media elektronik apalagi di media sosial. Masyarakat, khususnya generasi muda menjadi lepas kontrol. Setiap persoalan seringkali diselesaikan dengan kekerasan. Makin hari aksi kekerasan bukannya makin reda, tetapi sebaliknya makin banyak dan makin sadis.
Sebagaimana kasus di Sukabumi Jawa Barat, seorang pelajar SMP benasib tragis, dibacok oleh tiga orang rekannya. Mirisnya proses pembacokan tersebut ditayangkan secara live di salah satu IG pelaku, entah pikiran apa yang hinggap dibenak mereka, hingga mampu berbuat jahat seperti itu.
Contoh lain seperti serentetan kasus mutilasi di Sleman, Tangerang hingga Bekasi. Sungguh aksi mereka sangat sadis dan diluar nalar. Bahkan yang kasus di Sleman Yogyakarta tubuh korban dimutilasi menjadi 65 bagian menggunakan pisau hingga gergaji. Pikiran tak lagi terkendali, nyawa melayang tanpa ada arti dengan berbagai motif ekonomi hingga hubungan asmara.
Kasus lain yang populer di bulan Ramadan, yaitu aksi perang sarung. Perang sarung lebih tepatnya disebut tawuran menggunakan sarung, yang ujungnya diberi batu, bahkan ada sarung yang ujungnya diberi geer, hingga ditemukan juga clurit dan stik golf. Kasus tawuran ini marak hampir di seluruh kota di Jawa mulai di Jember, Banyuwangi, Surabaya, Solo, Purwokerto, Bogor, Sukabumi hingga di luar Jawa, Lampung Sumatera. Sungguh Ramadhan yang mestinya kita khusuk beribadah, kesuciannya dinodai oleh para generasi yang nalarnya tak terkendali.
Sekuler Kapitalis Membuat Naluri Tak Terkendali
Di era kecanggihan teknologi dan budaya berbasis IT, peradaban manusia bergeser lebih banyak berinteraksi di sosial media. Segala konten positif dan negatif ditawarkan menjadi informasi dan inspirasi bagi generasi dan masyarakat secara umum.
Sisi lain peradaban sistem kapitalis sekuler yang berorientasi pada materi, menawarkan kehidupan yang penuh dengan kesenangan dunia dan kebebasan. Model kehidupan yang jauh dari nilai agama (Islam). Karena agama hanya boleh digunakan pada ranah privasi hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara saat bicara tentang kehidupan dan memecahkan setiap persoalan yang terjadi akibat interaksi antar manusia harus dijauhkan dari nilai-nilai agama.
Maka wajar, jika makin kesini kerusakan mental makin menjadi. Pendidikan berkarakter yang digaungkan tak mampu memberikan solusi, karena pijakan dan fokus pemuda ada di dunia sosial media. Segala aplikasi yang menawarkan kemudahan untuk bisa menikmati food, fun, film, fashion, game serta konten-konten yang menawarkan kekerasan, pornografi dan pornoaksi menjadi figur dan inspirasi yang lekat mengisi waktu mereka setiap menitnya.
Pemuda yang jauh dari nilai agama, yang dijejali dengan konten-konten negatif akan mengembangkan perilaku imitatif, cepat atau lambat akan menjadi preferensi untuk bertindak menyelesaikan masalah mereka. Keinginan agar eksistensi diri dan kelompok mereka diakui, diekspresikan pada sosial media. Demi menunjukkan keakuannya meski melanggar etika bahkan melanggar hukum. Sebagaimana kelakuan tiga anak SMP di Sukabumi yang berbuat sadis membacok temannya kemudian ditayangkan live disalah satu IG mereka. Sungguh mereka telah kehilangan naluri.
Revolusi Mental Berbasis Islam
Melihat kriminalitas yang makin banyak dan sadis, tentu ini tak boleh kita biarkan. Harus ada upaya untuk menyelamatkan generasi dari pengaruh buruk sistem kapitalisme sekuler dan sosial media. Sebuah revolusi mental yang berbasis agama Islam, perlu dilirik dan digagas demi keselamatan generasi dan eksistensi negeri ini.
Islam tidak memisahkan agama dari kehidupan (sekulerisme). Islam agama yang sempurna yang menuntut setiap pemeluknya menjalani kehidupan dan menyelesaikan setiap masalahnya sesuai dengan perintah Allah. Islam mengharamkan pornografi, pornoaksi dan segala bentuk perbuatan yang mendzalimi dan menghilangkan nyawa orang lain.
Keimanan dan ketaqwaan adalah pilar pertama yang menjadi pondasi untuk dibangun, melalui edukasi baik secara formal, non formal, media elektronik, media sosial bahkan pada masyarakat secara umum. Kondisi ini akan menjadikan para pemuda, tidak hanya memburu kesenangan dunia, tetapi lebih berorientasi pada kehidupan akhirat.
Kontrol masyarakat yang kuat melalui amar makruf nahi munkar, menjadi pilar kedua agar mental pemuda terus terjaga, jauh dari pelanggaran etika bahkan pelanggaran hukum. Tentu hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat saat ini, mereka cuek bahkan tak peduli dengan kehidupan generasi.
Pilar ketiga adalah keberadaan negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah. Negara memberlakukan sistem sanksi Islam yang tegas, atas segala bentuk kriminalitas, menerapkan hukum yang mampu memberikan efek jera ditengah masyarakat. Negara juga mengontrol konten-konten unfaedah yang bisa merusak mental generasi disamping menjamin terselenggaranya pendidikan berkualitas bagi generasi.
Demikian jika tiga pilar tersebut terwujud ditengah masyarakat akan terjadi revolusi mental pada generasi. Dan terwujud negara yang aman adil dan makmur. Wallahu a' lam bish showab. [ry].
0 Comments: